BAB 11: SEPERTI MATAHARI PAGI
Kyra tidak pernah membayangkan bahwa menerima berarti membebaskan dirinya sendiri. Selama ini, ia berpikir bahwa melupakan adalah satu-satunya jalan untuk tidak lagi merasakan sakit. Tapi ternyata, yang ia butuhkan bukan melupakan—melainkan merelakan tanpa merasa kehilangan.
Hari-hari berlalu, dan meskipun ada saat-saat hatinya masih terasa berat, ia tidak lagi membiarkan kenangan menghambat langkahnya. Ia mulai menemukan hal-hal kecil yang membuatnya bahagia tanpa bergantung pada siapa pun. Ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya, menekuni hobi yang sempat ia lupakan, dan membangun mimpinya kembali.
Namun, hidup memang suka memberikan kejutan.
Satu sore di kedai kopi favoritnya, Kyra sedang membaca ketika suara yang sangat familiar terdengar dari belakangnya.
"Kyra?"
Ia mengenali suara itu bahkan sebelum menoleh. Dan saat ia mendongak, matanya bertemu dengan sosok yang sudah lama berusaha ia lupakan. Varez berdiri di sana—tanpa genggaman tangan orang lain, tanpa senyum yang terpaksa. Hanya dia, dengan tatapan yang entah kenapa terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
Kyra tersenyum tipis. Tidak ada lagi debaran tak menentu atau sesak yang menyiksa. Ia sudah menerima segalanya. Dan mungkin, inilah cara semesta menunjukkan bahwa terkadang, yang pergi tidak selalu hilang selamanya.
Varez duduk di hadapannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka berbicara tanpa bayangan masa lalu yang membayangi.
Mungkin, inilah babak baru yang sebenarnya.
Mungkin, akhir yang bahagia bukan berarti kembali bersama—tetapi berdamai dengan segalanya.
____
BAB 12: BABAK BARU YANG TAK TERDUGA
Percakapan itu dimulai dengan sederhana—tentang kopi yang dipesan, tentang cuaca sore itu, tentang hal-hal kecil yang biasanya tidak berarti. Tapi bagi Kyra, percakapan ini lebih dari sekadar obrolan biasa. Ini adalah bukti bahwa ia sudah benar-benar berdamai dengan semuanya.
Varez tidak banyak berubah, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang kini terasa berbeda. Tatapannya lebih lembut, caranya berbicara lebih hati-hati, seolah menyadari bahwa apa yang pernah mereka lalui bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," kata Varez, memainkan cangkir kopinya.
Kyra mengangkat bahu ringan. "Mungkin semesta memang suka bercanda."
Mereka tertawa kecil. Tidak ada ketegangan, tidak ada luka lama yang terbuka. Hanya dua orang yang pernah saling berarti, bertemu lagi di persimpangan takdir.
Lalu, setelah jeda sejenak, Varez akhirnya berkata, "Aku minta maaf, Ky."
Bukan karena ia ingin kembali, bukan karena ingin memperbaiki sesuatu yang sudah retak, tapi karena ia tahu Kyra pantas mendapatkan itu.
Dan untuk pertama kalinya, Kyra tidak lagi membutuhkan kata-kata itu untuk bisa melangkah. Ia hanya tersenyum, menyesap kopinya, lalu berkata, "Aku juga minta maaf. Tapi aku baik-baik saja sekarang."
Varez mengangguk, seolah mengerti bahwa kalimat itu punya makna yang lebih dalam dari yang terdengar.
Mereka berbicara lebih lama dari yang Kyra perkirakan. Tentang kehidupan, tentang rencana masing-masing, tentang betapa lucunya cara dunia bekerja.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Kyra tidak merasa kehilangan. Tidak ada air mata, tidak ada penyesalan. Hanya ada rasa lega—karena ia tahu, akhirnya ia telah melewati semuanya.
Dan mungkin, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah saat kita bisa melihat ke belakang tanpa merasa ingin kembali.
____
BAB 13: TAKDIR SELALU PUNYA JAWABANNYA
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Varez berjalan seperti biasa, tetapi ada sesuatu dalam diri Kyra yang terasa lebih ringan. Tidak ada lagi pertanyaan "kenapa" atau "bagaimana jika." Ia telah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri, sesuatu yang selama ini sulit ia dapatkan.
Namun, takdir memang selalu punya cara untuk mengejutkan.
Suatu hari, di tengah kesibukannya mengejar mimpi, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari seseorang yang sama sekali tidak ia duga.
Varez: Kyra, aku bisa ketemu kamu lagi?
Kyra menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Ini bukan tentang berharap atau ingin kembali ke masa lalu, tapi lebih ke pertanyaan: apa yang sebenarnya ia inginkan sekarang?
Dulu, mungkin ia akan langsung membalas dengan antusias, mencari-cari alasan untuk tetap terhubung dengan Varez. Tapi kini, ia tidak ingin terburu-buru. Ia telah belajar bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang siapa yang menemani, tapi tentang bagaimana ia menerima dan mencintai dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit berpikir, Kyra akhirnya mengetik balasannya.
Kyra: Untuk apa, Varez?
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi.
Varez: Aku nggak tahu, Ky. Aku cuma merasa… aku belum benar-benar selesai dengan kamu.
Kyra menghela napas pelan. Ia tahu ini bukan tentang mengulang cerita yang sama. Jika ia bertemu Varez lagi, itu bukan karena ia masih menggantungkan kebahagiaannya pada orang itu.
Tapi mungkin, ini adalah kesempatan untuk memahami satu hal—bahwa tidak semua pertemuan kembali harus berakhir dengan bersama.
Sambil tersenyum kecil, Kyra akhirnya membalas.
Kyra: Baik. Tapi kali ini, kita bicara sebagai dua orang yang sudah berdamai dengan masa lalu.
Ia tidak tahu ke mana ini akan membawanya. Tapi satu hal yang pasti: apa pun yang terjadi, ia tidak akan kehilangan dirinya sendiri lagi.
____
BAB 14: PERCINTAAN YANG TUMBUH DENGAN WAKTU
Pertemuan kali ini berbeda. Tidak ada lagi ketegangan yang menggantung, tidak ada lagi kata-kata yang terasa menyakitkan. Kyra dan Varez duduk berhadapan di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi, tetapi kali ini, mereka bukan lagi dua orang yang saling menggenggam erat karena takut kehilangan. Mereka adalah dua orang yang telah tumbuh, yang telah belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki.
"Apa yang sebenarnya kamu rasakan, Varez?" tanya Kyra, langsung ke inti percakapan. Ia tidak ingin berputar-putar dalam ketidakpastian lagi.
Varez terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas. "Aku pikir aku sudah benar-benar melangkah. Aku pikir, setelah aku memilih jalan lain, aku bisa melupakan semuanya. Tapi ternyata tidak semudah itu."
Kyra tersenyum kecil. "Melupakan memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan."
"Aku sadar, selama ini aku mencoba menekan perasaanku sendiri. Aku pikir, jika aku menjauh, semuanya akan lebih baik. Tapi yang ada, aku justru merasa ada yang kurang," lanjut Varez. "Dan sekarang, aku hanya ingin jujur."
Kyra menatapnya, mencoba mencari kebohongan di mata itu—tapi ia tidak menemukannya. Hanya ada ketulusan, sesuatu yang dulu selalu ia harapkan dari Varez.
"Tapi aku juga tidak ingin kita kembali hanya karena kamu merasa kehilangan," kata Kyra tegas. "Aku ingin kita berjalan dengan cara yang benar, bukan karena rasa takut atau penyesalan."
Varez mengangguk. "Aku tahu. Dan aku nggak ingin buru-buru. Aku cuma ingin kita mulai lagi... dari awal, sebagai dua orang yang benar-benar mengenal satu sama lain tanpa beban masa lalu."
Kata-kata itu membuat hati Kyra menghangat. Dulu, mungkin ia akan langsung menerima tanpa berpikir panjang, hanya karena ia takut kehilangan lagi. Tapi sekarang, ia tahu bahwa cinta yang tumbuh perlahan jauh lebih kuat daripada cinta yang dipaksakan karena takut sendirian.
Jadi, ia tersenyum dan berkata, "Baik. Kita coba lagi. Tapi kali ini, kita pastikan bahwa kita benar-benar saling memilih, bukan sekadar saling membutuhkan."
Varez tersenyum. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kyra merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih dewasa, lebih nyata, dan lebih siap untuk bertahan.
____
BAB 15: BUKAN SEKADAR KEMBALI
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda. Kyra dan Varez memang sepakat untuk memulai kembali, tapi tidak seperti dulu. Tidak ada janji manis yang terburu-buru, tidak ada ketakutan akan kehilangan yang memaksa mereka untuk berpegang erat tanpa arah.
Mereka berbicara lebih sering, tapi tanpa tekanan. Sekadar bertukar cerita tentang hari masing-masing, tentang mimpi yang ingin dicapai, tentang hal-hal kecil yang dulu mungkin terabaikan.
"Jadi, kamu akhirnya mau lanjut kuliah di kota ini?" tanya Varez suatu hari.
Kyra mengangguk. "Aku pikir, ini yang terbaik. Aku ingin dekat dengan keluargaku, dan aku juga ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa sukses di sini."
Varez tersenyum. "Aku bangga sama kamu, Ky."
Dulu, kata-kata seperti itu mungkin akan membuat Kyra terbuai. Tapi sekarang, ia menerimanya sebagai sebuah bentuk apresiasi, bukan sesuatu yang harus ia jadikan pegangan untuk tetap bersama Varez.
Yang membuatnya semakin yakin bahwa kali ini berbeda adalah bagaimana mereka menghadapi konflik. Tidak ada lagi sikap menghindar, tidak ada lagi kata-kata yang menggantung di udara tanpa jawaban. Ketika Varez merasa ragu atau sibuk, ia mengatakannya. Ketika Kyra merasa butuh ruang, ia juga mengatakannya.
Suatu malam, ketika mereka sedang berbicara melalui telepon, Kyra bertanya, "Kenapa kamu benar-benar ingin kita mulai lagi, Varez? Setelah semuanya?"
Varez terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Karena aku sadar, yang aku butuhkan bukan sekadar seseorang yang ada. Tapi seseorang yang bisa membuatku ingin menjadi lebih baik. Dan itu selalu kamu."
Kyra tidak langsung menjawab. Ia membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam hatinya, merasakan ketulusan di baliknya.
"Kalau begitu, kita coba. Tapi tidak ada janji yang terburu-buru, tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi," kata Kyra pelan.
"Setuju," jawab Varez.
Mereka sama-sama tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mulus. Akan ada tantangan, akan ada ragu, akan ada saat-saat di mana mereka harus kembali memastikan bahwa mereka benar-benar memilih satu sama lain.
Tapi kali ini, mereka tidak lagi sekadar kembali. Mereka memulai dengan kesadaran penuh bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang tumbuh bersama.
____
BAB 16: CINTA YANG TIDAK TERBURU-BURU
Hari-hari terus berjalan, dan Kyra mulai merasakan perbedaan besar dalam dirinya. Ia tidak lagi menjadikan Varez sebagai pusat dunianya, tetapi juga tidak menyangkal bahwa kehadiran laki-laki itu membawa kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Mereka masih sering bertemu, masih berbicara seperti dulu, tetapi ada batas yang sama-sama mereka jaga. Tidak ada janji-janji berlebihan, tidak ada ketergesa-gesaan untuk memberi label pada hubungan mereka.
Suatu hari, di sebuah taman kota yang teduh, mereka duduk berdampingan, menikmati sore tanpa perlu banyak bicara.
"Menurutmu, kita ini apa sekarang?" tanya Varez tiba-tiba, memecah kesunyian.
Kyra menghela napas, menatap langit yang mulai berubah warna. "Aku nggak tahu, Rez. Aku cuma tahu kalau aku nyaman kayak gini. Aku nggak mau terburu-buru lagi, dan aku nggak mau kehilangan diriku sendiri seperti dulu."
Varez tersenyum tipis. "Aku juga. Aku cuma nggak mau bikin kesalahan yang sama."
Kyra menoleh, menatap laki-laki di sampingnya itu. Dulu, mungkin ia akan langsung meminta kepastian. Tapi sekarang, ia tahu bahwa cinta yang tumbuh dengan waktu lebih kuat daripada cinta yang dipaksakan.
"Kita jalani aja," kata Kyra akhirnya. "Kalau memang kita ditakdirkan, kita nggak perlu terburu-buru, kan?"
Varez menatapnya, lalu mengangguk pelan. "Iya. Kita jalani aja."
Dan dengan itu, mereka melanjutkan sore itu dengan tenang. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi. Hanya dua orang yang menikmati kebersamaan mereka, membiarkan waktu yang akan menjawab ke mana hati mereka akan berlabuh.
___
BAB 17: SEBUAH RAHASIA TERUNGKAP
Hubungan Kyra dan Varez berjalan dengan tenang. Tidak ada drama besar, tidak ada pertengkaran yang membuat segalanya berantakan. Mereka saling menghargai ruang masing-masing dan menikmati kebersamaan tanpa terburu-buru.
Namun, hidup selalu punya cara untuk menguji ketenangan itu.
Suatu malam, Kyra sedang sibuk menyelesaikan tugasnya di laptop ketika sebuah pesan tak terduga masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Pesan: Kyra, ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang Varez. Jangan percaya semuanya begitu saja.
Jantung Kyra berdegup lebih kencang. Ia mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan pesan itu.
"Siapa ini?" balasnya.
Namun, tidak ada jawaban.
Pikiran Kyra mulai dipenuhi tanda tanya. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa maksudnya? Ia mencoba mengabaikan, berpikir mungkin itu hanya orang iseng. Tapi, pesan itu tetap mengganggu pikirannya.
Beberapa hari kemudian, ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Dan yang ia temukan—membuat dunianya kembali goyah.
Varez memiliki seorang tunangan.
Bukan sekadar pacar, tetapi tunangan resmi.
Kyra menemukan kebenaran itu secara tidak sengaja. Saat sedang berada di sebuah kafe dengan teman-temannya, ia melihat seorang gadis duduk di sudut, berbicara dengan seseorang di telepon.
"Aku capek, Rez. Kita ini tunangan, tapi kenapa kamu masih belum bisa serius sama aku?" suara gadis itu terdengar jelas di telinga Kyra.
Darahnya terasa membeku. "Rez?" Tidak mungkin. Itu hanya kebetulan, kan?
Tapi kemudian, gadis itu melanjutkan, "Aku tahu kamu masih dekat sama Kyra. Kamu pikir aku nggak tahu?"
Seketika, perut Kyra terasa mual. Ini tidak mungkin benar. Tidak mungkin.
Dengan tangan gemetar, Kyra segera pergi dari kafe itu, mencari udara segar. Hatinya berdebar kencang, mencoba menyangkal apa yang baru saja ia dengar. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu—ini bukan kebetulan.
Varez menyembunyikan sesuatu darinya. Sesuatu yang bisa menghancurkan kepercayaan yang susah payah ia bangun kembali.
Saat itulah, ia sadar… mungkin Varez tidak pernah benar-benar berubah.
____
BAB 18: KEBENARAN YANG MENYAKITKAN
Kyra tidak langsung menghadapi Varez. Ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya, untuk memastikan bahwa ia tidak akan terbawa emosi saat menanyakan hal ini.
Namun, semakin ia mencoba berpikir jernih, semakin sakit rasanya. Jika Varez memang sudah bertunangan, lalu apa arti semua ini? Kenapa ia masih mencoba membangun kembali hubungan dengan Kyra?
Akhirnya, malam itu, Kyra mengirim pesan pada Varez.
Kyra: Kita bisa ketemu? Ada yang mau aku tanyakan.
Varez membalas cepat.
Varez: Tentu. Besok sore di taman biasa, ya?
Kyra menatap layar ponselnya dengan hati berdebar. Besok, ia akan mendengar langsung dari mulut Varez.
---
Sore itu, Kyra duduk di bangku taman dengan perasaan yang campur aduk. Tidak lama kemudian, Varez datang dengan senyum seperti biasa.
"Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu? Ada apa, Ky?" tanyanya ringan.
Kyra menatapnya lekat-lekat, mencoba menemukan kebohongan di matanya. "Aku mau tanya sesuatu, dan aku ingin kamu jawab dengan jujur."
Varez mengangguk. "Tanya aja."
Kyra menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, "Kamu punya tunangan, Varez?"
Sekilas, ekspresi Varez berubah. Ia tidak langsung menjawab. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat hati Kyra hancur.
"Aku…" Varez akhirnya membuka suara, tapi terdengar ragu. "Kyra, aku bisa jelasin."
Kyra tersenyum pahit. "Jadi itu benar? Kamu memang sudah bertunangan?"
Varez menundukkan kepala. "Iya."
Kyra tertawa kecil, meski air matanya mulai menggenang. "Jadi apa yang kita lakukan selama ini? Apa arti semua ini buat kamu?"
Varez menatapnya, terlihat penuh penyesalan. "Aku nggak pernah berniat menyakitimu, Ky. Aku cuma… aku bingung. Aku pikir aku bisa menjalani semuanya tanpa menyakiti siapa pun."
"Tanpa menyakiti siapa pun?" Kyra mengulang kata-kata itu dengan getir. "Varez, kamu menyakitiku. Kamu menyakiti tunanganmu juga. Kamu pikir kamu bisa mencintai dua orang sekaligus tanpa ada yang terluka?"
Varez terdiam. Ia tidak punya jawaban.
Kyra mengusap matanya yang mulai panas. "Aku bodoh karena percaya kalau kita bisa mulai lagi dengan cara yang benar. Tapi ternyata, kamu tetap orang yang sama. Orang yang nggak bisa memilih."
Varez mencoba meraih tangannya, tapi Kyra mundur. "Aku nggak bisa, Rez. Aku nggak mau jadi bagian dari kebohongan ini."
Varez menghela napas panjang. "Aku nggak pernah ingin kehilanganmu, Ky."
Kyra menatapnya dengan mata yang kini penuh ketegasan. "Tapi kamu juga nggak pernah benar-benar memilihku, kan?"
Dan dengan itu, Kyra berdiri. Ia tidak menunggu jawaban dari Varez. Tidak ada gunanya lagi.
Untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri. Dan kali ini, ia tidak akan menoleh ke belakang.
____
BAB 19: MEMILIH DIRI SENDIRI
Langkah Kyra terasa berat saat meninggalkan taman itu. Hatinya masih berdebar, pikirannya masih penuh dengan suara Varez yang mencoba menjelaskan, tapi ia tahu—tidak ada lagi yang perlu ia dengar.
Malam itu, Kyra duduk di kamarnya, memandangi layar ponselnya yang penuh dengan pesan dari Varez.
Varez: Ky, tolong angkat teleponku.
Varez: Aku nggak mau kehilangan kamu, aku serius…
Varez: Aku butuh bicara sama kamu. Tolong, Ky…
Tangannya gemetar saat ia membaca pesan-pesan itu. Ada bagian dari dirinya yang ingin membalas, ingin mendengar lebih banyak penjelasan. Tapi, untuk apa?
Ia tahu, jika ia menjawab, ia hanya akan terseret kembali ke dalam lingkaran yang sama—lingkaran penuh harapan yang selalu berujung pada kekecewaan.
Jadi, untuk pertama kalinya, Kyra memilih untuk tidak membalas. Ia mematikan ponselnya dan menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang kali ini tidak lagi menyakitkan, tapi membebaskan.
---
Hari-hari berlalu, dan meskipun ada saat-saat di mana rasa sakit itu kembali menyelinap, Kyra mulai belajar untuk menerima.
Ia kembali fokus pada impian dan rencananya. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya, menemukan kebahagiaan di hal-hal kecil yang selama ini ia abaikan karena terlalu sibuk memikirkan Varez.
Namun, takdir punya caranya sendiri untuk menguji keteguhan hati.
Suatu siang, ketika ia sedang duduk di kafe favoritnya, seseorang tiba-tiba duduk di depannya.
"Kyra."
Kyra mengangkat wajahnya, dan jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
Bukan Varez.
Melainkan tunangan Varez.
Seorang perempuan dengan tatapan tajam dan senyum tipis di wajahnya.
"Aku ingin bicara sebentar," kata perempuan itu, suaranya tenang tapi penuh makna.
Kyra menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia tahu satu hal: ini belum benar-benar berakhir.
____
BAB 20: PENGAKUAN YANG MENGGUNCANG
Kyra mencoba menjaga ketenangannya. Ia menatap perempuan di depannya, berusaha menebak apa yang akan dikatakannya.
"Namaku Aluna," perempuan itu memperkenalkan diri, suaranya tenang tapi tegas. "Aku tunangannya Varez."
Kyra menegakkan bahunya, mencoba terlihat tidak terpengaruh, meskipun di dalam hatinya, rasa cemas mulai muncul.
"Aku tahu soal kamu dan Varez," lanjut Aluna. "Dan aku di sini bukan untuk marah atau menyalahkanmu."
Kyra mengerutkan kening. "Lalu, kenapa kamu di sini?"
Aluna menarik napas dalam. "Karena aku ingin kamu tahu sesuatu yang mungkin belum pernah Varez ceritakan padamu."
Kyra diam, menunggu.
"Aku dan Varez… kami dijodohkan," kata Aluna akhirnya. "Ini bukan hubungan yang kami pilih sendiri."
Jantung Kyra mencelos. "Apa?"
"Ayahku dan ayah Varez adalah sahabat lama," lanjut Aluna. "Dari kecil, keluarga kami sudah menentukan kalau suatu hari kami akan menikah. Kami nggak pernah benar-benar punya pilihan."
Kyra masih terdiam, mencoba mencerna semuanya.
"Aku tahu Varez nggak pernah mencintaiku seperti dia mencintaimu," Aluna tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. "Aku tahu dia selalu kembali ke kamu, meskipun dia berusaha menghindarinya."
Kyra menelan ludah. "Lalu… kenapa kamu tetap bertahan?"
Aluna menghela napas. "Karena aku juga nggak punya pilihan, Kyra. Aku harus menikah dengannya, atau aku mengecewakan keluargaku."
Kyra meremas jemarinya sendiri di bawah meja. Ini lebih rumit dari yang ia kira.
"Aku di sini bukan untuk memintamu menjauh atau untuk menyalahkan siapa pun," kata Aluna lagi. "Aku cuma ingin kamu tahu… Varez mungkin tidak bisa memilih, bukan karena dia tidak mau, tapi karena dia tidak bisa."
Kyra merasa dadanya sesak.
"Aku akan tetap menikah dengannya," Aluna melanjutkan. "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa k