BAB 8: KEHENINGAN YANG MENYAKITKAN
Kyra tidak langsung menangis. Tidak juga menghapus chat itu atau melempar ponselnya ke kasur seperti yang mungkin ia lakukan di masa lalu. Ia hanya diam, membiarkan kata-kata Varez menggantung di udara seperti debu yang enggan turun.
Tangannya menggenggam ponsel erat, seolah berharap ada notifikasi lain yang masuk—sesuatu yang bisa meredakan kekacauan di dalam dadanya. Tapi tidak ada. Hanya keheningan yang memanjang, lebih menyakitkan dari kata-kata yang baru saja ia baca.
Matanya terasa panas, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Mungkin hatinya sudah terlalu lelah untuk menangis lagi.
Ia menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan dari Varez. "Aku udah ada seseorang sekarang."
Begitu sederhana, tapi menghancurkan.
Lalu, untuk apa semesta mempertemukan mereka lagi kalau akhirnya begini? Untuk apa membiarkan harapan tumbuh hanya untuk dihancurkan dalam satu kalimat singkat?
Kyra menggigit bibirnya. Tidak, dia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan yang sama seperti dulu.
Jari-jarinya akhirnya bergerak, membalas pesan Varez.
"Baik."
Hanya satu kata. Tanpa tanya. Tanpa protes.
Karena apa pun yang ia katakan sekarang, kenyataan tetaplah kenyataan. Varez bukan lagi miliknya, dan kali ini, ia harus benar-benar menerima.
Kyra menatap layar ponselnya lebih lama dari yang seharusnya, seolah berharap pesannya akan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kata baik. Tapi tak ada yang terjadi. Tidak ada keajaiban. Tidak ada kata tambahan dari Varez. Hanya keheningan yang terus menggerogoti dadanya.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredam gelombang emosi yang perlahan naik ke tenggorokannya. Tangan kirinya meremas seprai, sementara tangan kanannya masih menggenggam ponsel dengan erat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menghapus percakapan itu, menghilangkan bukti bahwa percakapan ini pernah ada. Tapi ada bagian lain yang tahu bahwa menghapusnya tidak akan mengubah apa pun. Rasa sakitnya tetap tinggal.
Pikirannya berkelana kembali ke masa lalu, ke hari-hari ketika Varez adalah seseorang yang selalu ada. Orang pertama yang ingin dia beri kabar tentang hal-hal kecil, yang selalu tahu caranya membuatnya tertawa bahkan di hari-hari terburuk. Kenangan itu sekarang hanya seperti potongan film usang—sesuatu yang dulu nyata, tapi kini terasa jauh.
Kyra mendesah pelan, menekan layar ponselnya hingga mati. Keheningan masih menyelimuti kamarnya, tapi kali ini, ia memilih untuk tidak melawan. Mungkin, inilah saatnya ia benar-benar belajar untuk membiarkan sesuatu pergi.
Dan meskipun hatinya masih berat, ia tahu satu hal pasti—besok pagi, matahari tetap akan terbit. Dengan atau tanpa Varez di sisinya.
____
BAB 9: LANGKAH TANPA BAYANGAN
Pagi datang tanpa perubahan besar. Matahari tetap menyinari kamarnya melalui celah tirai, alarm tetap berbunyi di jam yang sama, dan pesan dari Varez tetap tidak bertambah. Tidak ada "maaf" atau penjelasan lain. Tidak ada keajaiban yang semalam ia harapkan diam-diam.
Kyra bangun dengan kepala yang masih berat. Bukan karena kurang tidur, tapi karena pikirannya terus berputar-putar di sekitar satu kenyataan: Varez telah melangkah lebih dulu. Dan kini, ia harus belajar berjalan tanpa bayangan orang itu di sisinya.
Saat ia melihat pantulan dirinya di cermin, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi mencari-cari alasan untuk bertahan dalam harapan yang rapuh. Tidak ada air mata yang menggantung di sudut matanya. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar sadar bahwa beberapa hal memang harus dibiarkan berlalu.
Hari ini, ia memutuskan untuk melangkah. Bukan untuk melupakan, tapi untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa baik-baik saja. Dengan atau tanpa Varez.
____
BAB 10: MENERIMA YANG TAK TERBALASKAN
Kyra pikir, setelah memutuskan untuk melangkah, segalanya akan menjadi lebih mudah. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada saat-saat di mana ia masih ingin membuka chat lama, membaca percakapan mereka yang dulu penuh tawa. Ada momen di mana namanya masih ingin ia sebut dalam doa, meskipun kini tanpa harapan.
Tapi hari-hari terus berjalan, dan Kyra belajar sesuatu: perasaan tidak selalu butuh balasan untuk bisa tetap ada.
Varez mungkin sudah menemukan seseorang yang baru, tapi itu tidak membuat semua yang pernah mereka jalani menjadi tidak berarti. Ia tidak perlu membenci atau berpura-pura tidak peduli hanya untuk terlihat kuat.
Jadi, ketika tanpa sengaja ia melihat Varez di seberang jalan—bersama seseorang yang mungkin adalah "seseorang" yang ia maksud—dadanya memang sedikit sesak, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Tidak ada dorongan untuk berbalik arah atau menghindar.
Ia hanya berdiri di sana, menghela napas pelan, lalu melanjutkan langkahnya.
Karena kali ini, ia benar-benar menerima.
____