Annette tengah menikmati makan malam yang terlambat ketika Heiner melangkah masuk ke ruang makan. Rambutnya masih basah, pertanda bahwa ia baru saja mandi selepas bekerja.
Melihat keberadaan Annette, Heiner mengangkat alisnya sedikit, sorot matanya menyiratkan keterkejutan yang samar.
"Di jam seperti ini?"
Annette hanya mengangguk ringan tanpa menjawab. Sepanjang hari ia tak memiliki selera makan, dan baru merasa lapar saat malam telah larut.
Heiner menarik kursinya dan duduk. Seorang pelayan segera datang, menyajikan semangkuk sup dan segelas minuman di hadapannya. Sementara itu, Annette melanjutkan makannya dalam keheningan.
Untuk beberapa waktu, hanya suara dentingan peralatan makan yang terdengar di ruangan itu.
"Annette, kudengar Ansgar Stetter berkunjung ke kediaman resmi hari ini."
Snap.
Gerakan tangan Annette yang tengah memegang garpu terhenti sesaat. Ia mengangkat kepalanya, menatap Heiner yang kini menunjukkan ekspresi yang sulit diterka.
Di hadapan Heiner, tersaji hidangan yang sama seperti milik Annette—bebek Muscovy yang diisi dengan campuran jamur, telur, dan roti.
Dengan satu gerakan tangannya, Heiner memberi isyarat agar seluruh pelayan meninggalkan ruangan.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Bukankah kau sudah mendengar segalanya?"
"Tetap saja, mendengarnya langsung dari pihak yang bersangkutan tentu berbeda, bukan?"
Annette terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara tenang.
"Ia memintaku pergi ke Prancis bersamanya setelah perceraian. Itu saja."
Senyum tipis, nyaris menyerupai ejekan, terukir di bibir Heiner.
"Apakah kau berencana menikah dengannya?"
"Apakah itu alasanmu menginginkan perceraian? Agar kau bisa menikah dengannya?"
"Ini kali pertama aku bertemu Ansgar dalam empat tahun."
"Siapa yang tahu? Bisa saja kalian tetap berhubungan di belakangku. Seperti saat kau diam-diam menyelidiki masa laluku."
Bahkan jika mereka memang saling berkirim pesan, mengapa itu harus menjadi hal yang layak disorot oleh Heiner? Pertanyaan itu mengemuka dalam benaknya, tetapi Annette menahannya, enggan mengutarakan pikirannya dengan sia-sia.
Suara berat Heiner yang penuh ketegasan tiba-tiba memenuhi ruangan.
"Kau tidak akan menggenggam tangannya."
Suaranya bergema, seolah mematri suatu keputusan yang tak terbantahkan.
"Kau tidak akan pernah meninggalkan tempat ini."
Tatapan kelam dan tak tergoyahkan tertuju padanya, membuat Annette terdiam. Ia menundukkan kepala, memandangi asparagus yang baru saja dipotongnya, dan berpikir.
Jika Ansgar benar bahwa dirinya adalah sosok yang diharapkan menjadi kekuatan restorasi monarki, maka sudah tentu Heiner takkan rela menyerahkannya begitu saja. Ini bukan sekadar perkara emosi—ada kepentingan yang jauh lebih besar.
Mungkin inilah alasan Heiner begitu menolak perceraian. Selama mereka masih terikat secara hukum, mengekangnya akan jauh lebih mudah.
Namun, jika demikian…
"Mengapa para penasihat Heiner justru menentang keputusannya untuk mempertahankan pernikahan ini?"
Ia tak mampu menemukan jawaban yang tepat. Sejujurnya, Annette sadar bahwa dirinya bukanlah orang yang cerdik. Meski sudah berusaha menganalisisnya dengan nalar, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa.
Ia memilih untuk berhenti berpikir lebih jauh. Perlahan, kekuatan menghilang dari tangannya. Garpu yang dipegangnya terlepas, menimbulkan suara nyaring saat menghantam piring.
Tatapan Heiner bergerak ke arah jemari Annette yang tampak rapuh dan kurus.
***
Pagi-pagi sekali, Annette mengenakan pakaian untuk bepergian. Di dalam tasnya, ia menyimpan sejumlah uang, obat sakit kepala, dan sapu tangan.
Sebagai sentuhan akhir, ia menurunkan kerudung hitam dari topinya, menutupi wajahnya dengan lembut.
"Aku akan pergi ke gereja. Aku tidak butuh pengawal."
"Tapi, Nyonya—"
"Aku ingin berdoa. Aku tidak ingin diganggu."
"Jika Anda ingin keluar sendirian, Anda harus mendapat izin dari Komandan terlebih dahulu."
Annette terdiam. Ia tahu betul bahwa Heiner takkan pernah mengizinkannya. Bahkan, ia mempertanyakan sendiri mengapa ia harus meminta izin untuk sesuatu yang begitu sepele. Namun, pelayan itu bersikeras. Pada akhirnya, Annette menyerah dan membiarkan pelayan menemaninya.
Ia berangkat menuju gereja terdekat. Dulu, ia adalah seorang yang taat beragama, tetapi sudah lama ia tak menghadiri kebaktian. Berbeda dengan Heiner yang meskipun seorang penganut agama yang taat, tetap menjalankan ibadahnya dengan rutin.
Saat siang menjelang, gereja itu kosong. Annette memasukkan beberapa koin ke dalam kotak persembahan, lalu duduk di barisan paling depan. Sebuah salib besar tergantung di atas mimbar.
Dengan tatapan kosong, ia memandang salib itu. Tanpa menutup mata, tanpa menyatukan kedua telapak tangannya, ia mulai berdoa dalam hati.
"Ampunilah dosaku. Ampunilah semua dosa yang telah kulakukan. Ampunilah dosa-dosaku yang tersisa. Tolong selamatkan aku."
Namun, tak ada jawaban.
Sepanjang hidupnya, ia telah mendengar banyak orang mengaku mendapat balasan dari Tuhan. Tetapi Annette sendiri tak pernah merasakan hal yang sama.
Ia mengepalkan tangannya dengan getir.
"Mengapa Kau tak mengampuniku? Mengapa Kau membuangku ke dalam lumpur? Mengapa Kau membuatku menderita begini? Mengapa aku…?"
Di tengah keluh kesahnya, Annette tiba-tiba berhenti. Apa gunanya? Tak ada jawaban, tak ada harapan.
Ia meraih tasnya, lalu berdiri. Ketika sampai di pintu masuk gereja, ia menyerahkan sepucuk surat kepada pelayan yang menunggunya.
"Pergilah ke gerbang belakang. Kau akan menemukan seorang lelaki tua di sana. Berikan ini padanya. Ia memiliki cacat fisik, jadi mungkin akan datang terlambat."
"Bolehkah saya memeriksa isinya?"
Annette mengangkat bahu dengan acuh.
"Silakan lakukan sesukamu."
Pelayan itu membuka amplop, membaca isi suratnya dengan saksama. Setelah memastikan bahwa tak ada yang mencurigakan, ia menutupnya kembali.
Begitu pelayan itu berlalu, Annette buru-buru keluar dari gereja. Ia menyetop sebuah hansom cab—kereta kuda beroda dua dengan kursi untuk dua orang—dan segera naik ke dalamnya.
"Pergilah ke stasiun kereta."
Saat kereta mulai melaju, Annette menoleh ke belakang.
Tak ada siapa pun yang mengikutinya.
Tak pernah ada lelaki tua yang menunggu di gerbang belakang. Annette hanya membutuhkan alasan agar pelayannya pergi.
Kereta kuda itu semakin mempercepat lajunya. Annette bersandar dan memejamkan mata. Jantungnya berdetak begitu kencang, seolah berusaha menerobos keluar dari sangkarnya.
Beberapa hari lalu, ia bermimpi tentang lautan di Glenford. Ia ingin melihatnya secara langsung.
***
Masih ada cukup waktu sebelum kereta berangkat. Tiket untuk perjalanan terdekat telah habis terjual. Annette duduk di ruang tunggu, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Mereka semua tampak begitu sibuk. Apa yang mereka lakukan hingga sebegitu tergesa-gesa? Matanya tertuju pada seorang bocah yang bersusah payah menarik koper sebesar tubuhnya.
Ke mana mereka pergi? Apa yang mereka kejar dengan begitu tekun?
Meskipun wajar bagi setiap orang untuk memiliki kehidupannya masing-masing, Annette merasa seolah baru menyadari hal itu. Betapa menakjubkan melihat semua orang menemukan jalannya sendiri, tanpa tersesat.
Dunia terus berputar dengan cepat—kecuali Annette. Ia seorang diri, terdiam di tengah arus waktu yang berlalu.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kereta yang ditunggunya tiba. Annette berdiri di depan gerbong dengan tiket di tangan, merasa sedikit bingung.
"D200, G-12..."
Ini pertama kalinya ia harus mencari tempat duduk sendiri. Sudah terlalu lama sejak terakhir kali ia naik kereta, dan dulu selalu ada petugas yang membimbingnya ke kursi khusus.
Pada akhirnya, Annette meminta bantuan seorang petugas.
"Permisi, bisakah Anda membantu saya memeriksa tiket ini? Di mana saya harus naik?"
"Oh, tunggu sebentar... Ah, Anda harus naik di gerbong berikutnya. Ada denah tempat duduk di atas, Anda bisa melihatnya lalu duduk sesuai nomor."
Begitu naik ke dalam gerbong, Annette beruntung menemukan tempat duduk dengan segera. Bangku di dalamnya disusun berhadapan untuk empat orang. Sempit dan tak begitu nyaman.
Para penumpang sibuk membaca koran, seolah menjadikannya perisai. Annette menekan topinya lebih dalam. Ia takut jika surat kabar itu memuat berita tentang dirinya.
Perjalanan ke Glenford akan memakan waktu sekitar tujuh jam. Setelah beberapa saat, bosan mulai menyergapnya. Ia melayangkan pandangan ke luar jendela, lalu membeli sebuah majalah dari penjual di dalam kereta. Namun, belum lama membaca, ia menutupnya kembali. Kepalanya terasa pening.
"Nona."
Suara seorang wanita tua dari kursi di depannya tiba-tiba memanggil.
"Ya?"
"Apakah majalah itu sudah selesai kau baca?"
"Oh... belum sepenuhnya, tapi saya rasa saya akan berhenti membaca sekarang. Apa Anda ingin membacanya?"
"Aku akan sangat berterima kasih."
Annette terdiam sejenak. Kata-kata lelaki tua itu menggantung di udara, menunggu jawaban.
"Tidak ada," jawabnya lirih.
Wanita tua itu mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu. Ia melahap sisa sandwich dengan tenang sebelum kembali berbicara.
"Kalau begitu, kau melakukan hal yang benar dengan pergi," katanya. "Tak ada gunanya bertahan dalam sesuatu yang membuatmu tidak bahagia."
Annette menatapnya. Kalimat itu terdengar begitu sederhana, begitu masuk akal, namun bagi Annette, kenyataannya jauh lebih rumit.
"Tapi dunia tidak sesederhana itu," gumamnya. "Kadang kita terikat oleh sesuatu yang tidak bisa kita lepaskan begitu saja."
Wanita tua itu tertawa kecil. "Memang benar. Tapi, Nak, dunia juga tidak sekejam itu. Jika kau punya keberanian untuk pergi, pasti ada jalan."
Annette menggenggam jemarinya sendiri, memikirkan kata-kata itu. Seandainya semudah itu.
Di luar jendela, langit berwarna kelabu, awan tebal menggantung di cakrawala. Kereta terus melaju, membawa Annette semakin jauh dari kehidupannya yang dulu—dan semakin dekat ke sesuatu yang belum pasti.
Ia hanya berharap, di ujung perjalanan ini, ia bisa menemukan sesuatu yang menyerupai kebebasan.