Heiner tampak bingung, seperti seseorang yang meragukan pendengarannya sendiri. Annette, dengan jemarinya yang menggenggam erat di pangkuan, kembali membuka suara.
"Kau pasti menganggapku benar-benar gila."
Namun, entah mengapa, ia justru merasa hampa. Dalam situasi seperti ini, seharusnya ia mengguncang bahunya, melontarkan kata-kata penuh kebencian.
Annette menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya kembali.
"Tentu saja begitu. Jika kau berpura-pura mencintai seorang wanita yang kau benci dan kau anggap menjijikkan… Maka wanita itu adalah orang bodoh karena mencintaimu juga. Kau bisa menertawakannya karena telah melakukan itu."
Ia tertawa kecil, seakan benar-benar menganggapnya lucu. Namun, tawa itu segera lenyap. Raut wajahnya kembali datar, seolah kehilangan cahayanya.
"Tapi jika memang demikian… Akan kukatakan padamu apa yang kukatakan tiga tahun lalu. Akan kukatakan padamu saat kau telah mencapai tujuanmu dan tak lagi perlu menipuku. Aku bahkan tidak tahu bahwa—"
Suara Annette tercekat oleh emosinya sendiri. Namun, tak ada air mata yang jatuh. Hanya suara lirih yang mengalir dari lubuk terdalamnya.
"Selama tiga tahun… aku justru mencintaimu lebih dalam."
Sejenak, tatapan Heiner tampak bergetar. Atau mungkin hanya penglihatan Annette yang kabur. Ia menundukkan kepala dengan tenang.
Tiga tahun lamanya, cintanya telah hancur berkali-kali, hingga sulit dikenali bentuk aslinya.
Dan setiap kali hancur, ia membangunnya kembali.
Tiga tahun…
Ia pasti akan kembali. Ia akan tersenyum lagi. Ia akan berubah pikiran. Ia akan membisikkan kata-kata manis. Ia akan mencintaiku lagi.
Berapa kali lagi semua itu harus terulang?
"Bahkan sekarang."
Heiner akhirnya memecah keheningan. Suaranya terdengar retak, seolah pecah di tepinya.
"Bahkan sekarang… apakah kau masih mencintaiku?"
Annette mengira kata-kata itu adalah ejekan atau sindiran. Nada suaranya memang tidak menunjukkan demikian, namun di telinganya, tetap terasa seperti itu.
Ia mengulas senyum pahit, kemudian bergumam.
"Jika aku menjawab iya… betapa menyedihkannya aku?"
Perlahan, kehangatan dari tungku menyelimuti ruangan dalam kesunyian. Annette menatap seprai tempat tidur dengan pandangan kosong sebelum kembali bersuara.
"Aku pun tidak tahu pasti. Aku mencintaimu sebagaimana kau berpura-pura mencintaiku. Segala sesuatu yang kucintai darimu ternyata adalah kebohongan… Jadi bukankah itu berarti cintaku juga sebuah kebohongan?"
Di lantai, tangan Heiner mengepal erat, urat-uratnya tampak menegang.
Annette teringat bagaimana dulu ia kerap menyandarkan pipinya pada tangan itu.
"Sekarang, apa gunanya semua itu… Aku hanya tidak bisa menyalahkan segalanya pada cinta, karena keadaan yang kuhadapi pun tidak terlalu baik."
Mungkinkah ini benar-benar pertama kalinya, setelah sekian lama, perasaannya hancur dan terbentuk kembali? Annette sendiri tak yakin.
Sejujurnya, rasanya itu pun tak lagi penting.
"Hatiku pun tak ada gunanya."
Ia mengangkat wajahnya, kali ini dengan ekspresi yang damai. Seolah-olah masa lalunya tak pernah ada.
"Apakah aku mencintaimu atau tidak… tidak ada yang akan berubah."
Tatapannya tenang, tanpa getir ataupun harapan.
"Itu tidak akan pernah terjadi lagi."
"...."
"Tidak akan pernah lagi."
***
Seperti yang telah ia duga sejak mereka pertama kali melangkah masuk ke hotel ini, tampaknya Heiner memang berencana menghabiskan malam di tempat ini.
Para pelayan Heiner telah membawa barang-barangnya, termasuk pakaian ganti, sepatu, dan perlengkapan mandi. Sementara itu, Annette mandi dengan air panas yang telah disiapkan oleh pelayan penginapan.
Ketika ia keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian, langkahnya terhenti. Heiner, yang ia pikir akan menginap di kamar lain, justru duduk di meja sambil membalik-balik surat kabar.
"…Kau juga akan menginap di sini?"
"Kenapa? Jika aku menginap di tempat lain, apakah kau akan melarikan diri lagi sendirian?"
"Bukan itu maksudku."
"Ini tentang ketidaktahuan."
Heiner menjawab singkat, lalu berdiri. Saat ia hendak masuk ke kamar mandi dengan membawa pakaiannya, Annette buru-buru berkata.
"Tunggu sebentar, mintalah pelayan untuk menyiapkan air hangat."
"Tak perlu."
Ia hampir menutup pintu ketika kembali menoleh, suaranya terdengar dingin melalui celah pintu yang belum sepenuhnya tertutup.
"Jangan berpikir untuk pergi. Kecuali kau ingin ditangkap dan diseret kembali oleh para pelayan."
Pintu tertutup rapat, meninggalkan Annette yang berdiri terpaku di tempatnya. Ia merasa sedikit bingung. Seperti kata-kata tajamnya sebelumnya, Heiner tampak benar-benar marah.
Ia mendengarkan suara air yang mengalir dari kamar mandi untuk beberapa saat sebelum melangkah menjauh. Duduk di meja rias, ia menekan rambutnya yang basah dengan handuk.
Pada permukaan cermin, pantulan seorang wanita dengan mata kosong terpampang jelas. Tak ada secercah kehidupan dalam tatapannya. Annette mengusap kaca itu sekali, meninggalkan bekas telapak tangan di atas pantulan wajahnya sendiri.
Saat rambutnya telah kering dan ia berbaring di tempat tidur, Heiner akhirnya keluar dari kamar mandi. Annette menarik selimut, menggulung tubuhnya dalam kehangatan kain.
Heiner memadamkan lampu utama, lalu menyalakan satu lampu gas di atas meja. Cahaya kuningnya samar-samar menerangi sudut ruangan. Ia mengambil sebuah amplop dokumen dari kopernya dan duduk di kursi.
Annette menutup matanya dan mencoba tidur, tetapi kantuk tak kunjung datang. Sesekali, suara lembaran kertas yang dibalik terdengar di tengah kesunyian.
Kenapa dia repot-repot datang sejauh ini, padahal ia begitu sibuk?
Bahkan setelah mendengar semua perkataan Heiner, ia masih tidak bisa memahami tindakannya.
Heiner bertindak seolah ia tak ingin melihatnya—tetapi di saat yang sama, seakan ingin tetap berada di sisinya selamanya.
Bagaimanapun, hubungan mereka kini setipis es yang membeku di perairan dangkal—bisa retak kapan saja.
Heiner terus bekerja hingga larut malam.
Annette melirik ke arahnya. Suara pena yang berderak di atas kertas, jemarinya yang sesekali menelusuri dokumen, napasnya yang rendah dan teratur…
Butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya Heiner memadamkan lampu gas dan bangkit berdiri. Saat ia berjalan menuju tempat tidur, Annette beringsut ke tepi, menjauh darinya.
Kening Heiner berkerut melihat reaksinya.
"Belum tidur?"
"...Aku tidak bisa tidur..."
Heiner naik ke tempat tidur dengan ekspresi yang menunjukkan ketidakpuasan. Kasur terasa sedikit tenggelam di bawah berat tubuhnya.
Annette bangkit perlahan, menuangkan air ke dalam gelas di meja samping, lalu membungkuk untuk mengambil tas tangannya yang tergeletak di bawah tempat tidur. Ia mengeluarkan kantong obat dari dalamnya dan hendak membukanya, tetapi Heiner tiba-tiba menangkap pergelangan tangannya.
"Apa itu?"
"Obat."
"Pil tidur? Kenapa?"
"Aku tidak bisa tidur."
"Jadi setiap kali kau tidak bisa tidur, kau akan minum pil tidur? Kau pikir itu baik untukmu?"
"Bukan karena aku menyukainya."
Heiner mendesah kesal dan merampas obat itu dari tangannya. Annette hanya bisa menatapnya dengan pasrah, tangannya masih terangkat di udara.
Ia tidak mengerti bagian mana dari dirinya yang kembali membuat Heiner marah. Apa hubungannya minum obat dengan dirinya?
"Jangan minum ini lagi. Kau ingin menjadi ketergantungan?"
"Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Membiarkanmu melakukan sesukamu dan ini yang kau sebut menjaga diri sendiri?"
Annette memalingkan wajah, menghindari tatapannya.
Setiap kali berbicara dengan Heiner, hasilnya selalu sama. Tak ada yang dilakukannya yang berkenan di hatinya. Mungkin, bahkan keberadaannya sendiri sudah cukup untuk mengganggunya.
'...Aku tidak seperti ini dulu.'
Meski ia tahu tak ada gunanya mengenang masa lalu, pikirannya tetap sering kembali ke sana.
Dulu, dalam percakapan mereka selalu ada kasih sayang. Kadang-kadang mereka bertengkar, tetapi itu hanyalah perselisihan kecil, sebagaimana pasangan pada umumnya.
Setelah bertengkar, Heiner selalu menjadi orang pertama yang meminta maaf dan berusaha berdamai. Setelah berbaikan, ia selalu memeluk Annette dan mencium kening serta pipinya.
Tapi jika kupikir kembali… mungkin semua itu hanya bagian dari rencananya.
Untuk menjadi bagian dari lingkaran Marquis, ia pasti harus memastikan pernikahannya dengan putri Marquis berjalan lancar. Ia pasti berpura-pura bahagia dan berpura-pura mencintainya.
Perutnya terasa mual meski ia belum makan apa pun. Annette membalikkan tubuhnya, mencoba berbaring dengan nyaman. Namun, suara Heiner yang kembali berdiri membuatnya menoleh lagi.
Heiner menaruh teko di atas kompor dan memilih daun teh yang disediakan oleh hotel. Suara air mendidih mengisi keheningan. Tak lama kemudian, aroma teh yang lembut menyebar di dalam ruangan.
"Minumlah."
Heiner mengulurkan secangkir teh. Annette menatapnya dengan mata membelalak sebelum perlahan mengangkat wajah. Heiner menggerakkan cangkir sedikit lebih dekat, mendesaknya.
"Minum."
Dengan ragu, Annette mengangkat tubuhnya dan menerima cangkir teh yang masih hangat. Kehangatan itu merambat ke telapak tangannya, membawa sedikit kenyamanan.
"Seharusnya bisa membantu tidurmu."
"...Apa ini?"
"Chamomile."
Nada suara Heiner tetap dingin dan terdengar seolah-olah ia sedang tidak senang.
Annette menyesap tehnya, mencermati ekspresinya. Tatapannya tetap tajam, dan ia menganggukkan dagu.
"Berikan tasmu."
"Tas... kenapa?"
"Untuk kulihat."
Melihat apa?
Menelan protesnya, Annette mengambil tasnya dengan ragu-ragu. Namun, Heiner langsung menyambarnya dan duduk di tepi ranjang. Dengan tenang, ia mulai mengeluarkan isi tasnya satu per satu, meletakkannya di atas tempat tidur.
"Ini pil tidur?"
"Bukan, ini pil tidurnya..."
"Lalu ini apa?"
"Obat sakit kepala."
"Dan ini?"
"Obat pencernaan."
Melihat ekspresi Heiner yang semakin mengeras, Annette buru-buru menambahkan, seolah ingin memberi alasan.
"Karena perutku sering sakit."
"Apa kata dokter?"
"Hanya..."
Annette ragu sejenak, lalu memilih menjawab dengan jujur.
"... Katanya aku terlalu sensitif."
Bagaimanapun juga, Heiner bisa mengetahuinya jika bertanya pada Arnold. Tak ada gunanya berbohong demi harga dirinya.
Heiner menggenggam kantong obat itu dalam diam. Lalu, ia menatap ke dalam tasnya tanpa berkata apa pun.
Ekspresinya seakan berkata, "Tentu saja."
Annette menggigit bibir bawahnya.
Setelah mengeluarkan hampir semua barang, Heiner mengambil sesuatu dari dasar tas.
Secarik kertas putih.
Annette langsung menyadari apa itu—wajahnya menegang.
Itu adalah kartu nama Ansgar Stetter.