Setelah menatap kartu nama itu selama beberapa saat, Heiner, secara mengejutkan, tidak menunjukkan reaksi khusus. Ia hanya memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celananya, bukan kembali ke dalam tas Annette.
Keheningan yang tidak nyaman menyelimuti ruangan. Annette yang sedari tadi memainkan cangkir tehnya, akhirnya membuka mulut dengan ragu.
"Itu dari Ans."
Gerakan tangan Heiner terhenti sejenak saat ia tengah memasukkan barang-barang kembali ke dalam tas Annette. Ia menatapnya dalam diam, lalu menutup tas itu dengan gerakan yang tampak alami.
"Jika aku mengikutinya..."
Annette menutup matanya, lalu melanjutkan.
"Apakah itu pilihan terbaik yang tersisa untukku? Aku tidak mengatakan bahwa aku akan mengikutinya. Aku hanya bertanya-tanya."
"Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang kau harapkan dariku."
"Apakah ada faksi Restorasi di Prancis?"
Mata Heiner menyipit sedikit mendengar pertanyaan lugas itu.
"Heiner, kau tahu, kan?"
"Apakah Ansgar Stetter mengatakan hal seperti itu? Bahwa ada kekuatan untuk mengembalikan monarki di Prancis dan kau harus bergabung dengan mereka?"
"Tidak. Aku hanya terpikirkan hal itu sendiri. Yang Ansgar inginkan hanyalah agar aku pergi bersamanya."
"Kalau begitu kenapa kau bertanya padaku, jika kau sudah memiliki pemikiran itu sendiri?"
"Aku hanya memberitahumu. Agar kau tahu bahwa aku tidak menyembunyikan apa pun darimu dan aku tidak akan diam-diam mengikuti Ansgar."
Nada suaranya tidak terdengar putus asa, meskipun ia menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Wajah Heiner tetap tanpa ekspresi saat mendengarkannya.
"...Begitu, ya. Bisa saja terjadi."
Ia mengucapkan kata-kata itu tanpa emosi, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Karena dulu, Ansgar Stetter menyukaimu, dan sekarang kau lajang. Selain itu, jika memang ada kekuatan restorasi monarki di Prancis seperti yang kau pikirkan, mereka mungkin akan memperlakukanmu dengan baik. Tapi aku tidak bisa memastikan itu. Reputasimu di Padania begitu buruk hingga kau mungkin mengira dirimu tidak berguna lagi."
Heiner berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis tanpa kehangatan.
"Kau bilang tidak ada tempat bagimu untuk bahagia, tapi ternyata kau menemukan tempat yang bisa menerimamu. Walaupun, itu hanya asumsi yang tidak berguna."
"Seperti yang sudah kukatakan, aku tidak akan pergi dengan Ansgar. Bisa saja dugaanku salah, hanya saja..."
Annette melanjutkan dengan nada hati-hati.
"Aku hanya ingin memberitahumu... kalau kau belum tahu. Jadi, aku ingin kau menyadari kemungkinan keberadaan kekuatan restorasi di Prancis. Tentu saja, mungkin kau sudah mengetahuinya..."
"Kau tidak akan mendapatkan apa pun dengan memberitahuku ini."
Mata abu-abu itu, seperti mata seorang pengintai, perlahan menyusuri tubuhnya sebelum kembali menatap wajahnya. Ujung rambut Heiner tampak kekuningan di bawah cahaya.
Annette tertawa pahit.
"Kupikir kau berusaha menjadikan dunia tempat yang lebih baik."
Apakah dunia saat ini lebih baik dari sebelumnya? Annette tidak merasakannya. Karena dunia yang telah berubah itu terlalu kejam padanya.
Namun, orang-orang berkata, "Dunia sekarang jauh lebih baik dan akan menjadi lebih baik di masa depan."
Maka, mereka pasti benar. Karena dirinya hanyalah wanita bodoh dan tak bijaksana.
Ia tak pernah membuat penilaiannya sendiri dan bahkan jika melakukannya sekarang, pasti akan salah.
Kata-katanya kepada Annelie Engels juga tulus. Annette menghormati perjuangan orang-orang yang mencoba mengubah dunia. Sekalipun perjuangan itu sangat kejam terhadapnya.
Sekalipun ia tidak bisa merasakan hal yang sama.
Perasaan seperti dendam dan kebencian telah lama menghilang. Seperti abu yang terbakar, semuanya hanya meninggalkan bekas luka lama.
Dalam keheningan, ia bisa mendengar napas Heiner. Napas yang kuat dan teratur, seperti wataknya.
"...Aku tidak pernah meminta simpati darimu."
Setelah hening sejenak, Heiner meletakkan tangannya di atas selimut. Kemudian, ia menurunkan tubuhnya mendekati Annette. Bahunya menegang saat wajah dingin itu semakin dekat.
Suara serak terdengar di udara.
"Jangan berpikir, Annette. Ikuti saja arus."
"...."
"Kau pandai melakukannya, bukan?"
Ia pasti sedang diejek, tetapi entah mengapa, Heiner tampak terluka. Namun, ekspresi itu segera ia hapus dan kembali berbicara dengan wajah dingin.
"Aku lebih tahu darimu bahwa Ansgar Stetter menginginkanmu. Jika kau tidak menikah denganku, suamimu pasti dia. Aku tidak percaya sepatah kata pun darimu."
"Aku tidak pernah mencintainya."
"Sejak kapan pernikahan para bangsawan didasarkan pada cinta?"
Perkataan Heiner tidaklah salah. Pernikahan mereka adalah kasus unik karena mereka saling mencintai dan menikah setelah berpacaran.
Meskipun, sebenarnya ia berbohong.
Teh dalam cangkir telah menjadi dingin. Annette berbisik pelan.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, percaya atau tidak."
Jika mengikuti Ansgar adalah pilihan terbaik berikutnya, maka ia sudah tahu apa pilihan terbaiknya.
Dua pasang mata yang sendu saling bertemu. Annette mengambil satu tegukan teh lagi, lalu meletakkan cangkirnya di meja samping.
"Aku lelah. Aku ingin tidur."
Heiner menatap wajahnya, seolah berusaha memastikan apakah perkataannya benar. Saat Annette membuang muka, ia akhirnya mengangkat tubuhnya.
Ketika Annette membalikkan badan, Heiner mematikan lampu gas, dan kegelapan segera menyelimuti ruangan.
Ada suara gemerisik di belakangnya saat Heiner naik ke tempat tidur. Annette menutup matanya dan mencoba tidur.
Dua tubuh yang tak saling bersentuhan perlahan mendingin, seperti air teh yang dibiarkan begitu saja.
***
Saat fajar menyingsing, Heiner bangun dari tempat tidur. Cahaya yang merembes melalui tirai yang tak sepenuhnya tertutup membasahi ranjang dengan warna pucat.
Tanpa suara, ia menarik selimut dan menatap wanita yang berbaring membelakanginya. Annette yang sepertinya baru bisa tidur larut malam, kini terlelap dengan damai.
Wajahnya terkubur di balik selimut, tubuhnya meringkuk kecil. Selimut putih itu naik dan turun dalam gerakan kecil yang teratur.
Tanpa sadar, Heiner mendekat. Pipinya yang lembut terlihat di antara helaian rambut dan selimut.
Ia hampir saja mengulurkan tangan untuk menyentuhnya—namun langsung menghentikan gerakannya. Tangannya yang ditarik kembali kemudian mengusap wajahnya sendiri dengan getir.
'Merepotkan. Harusnya aku memesan kamar terpisah saja…'
Sudah lama sejak terakhir kali ia berbagi ranjang dengan Annette. Awalnya, ia memang berniat memesan kamar lain, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang.
Apa yang sebenarnya membuatnya gelisah, Heiner sendiri tidak tahu. Ia mencoba mengusir bayangan wanita di laut dari pikirannya.
Pelan-pelan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju gantungan pakaian. Saat menarik cerutu dari saku mantel, pandangannya tiba-tiba terpaku pada satu titik.
Kantung kardigan Annette yang tergantung di sebelahnya tampak menggembung. Dengan rasa ingin tahu, ia mengambil isinya dan mengamatinya. Ada sesuatu yang berkilauan dalam kegelapan.
Awalnya ia mengira itu perhiasan, tapi setelah diperiksa lebih dekat, ternyata hanya pecahan-pecahan benda yang tak berguna.
'Apa saja ini? Sampah?'
Ia sempat bertanya-tanya apa yang begitu penting bagi Annette hingga ia repot-repot mengumpulkannya, tapi ternyata hanya barang-barang ini. Entah kenapa, hal itu membuat Heiner merasa tak nyaman.
Ia melemparkan benda-benda itu ke tempat sampah, lalu berjalan keluar ke balkon. Napasnya terasa lebih lega di udara terbuka.
Ia tidak bisa berlama-lama di ruangan gelap dan tertutup. Keadaannya memang sudah lebih baik sekarang, tidak separah dulu, tapi rasa terpojok secara mental masih sering muncul.
Semua ini berasal dari ingatannya tentang ruang penyiksaan. Hanya psikiaternya yang mengetahui fakta ini. Semua orang lain yang seharusnya tahu sudah lama mati.
Rambutnya berayun dalam angin malam yang sejuk. Dengan cerutu yang tak dinyalakan di tangannya, Heiner menatap laut gelap di kejauhan.
Suara ombak yang menghantam pantai terdengar samar. Ia bukan seorang perokok.
Sudah lama sejak ia berhenti merokok, tapi saat pikirannya kacau, menggigit cerutu di mulutnya terasa bisa sedikit membius pikirannya—meskipun hanya sesaat. Bahkan tanpa menyalakannya, itu tetap terasa membantu.
'Mungkin ini hanya efek psikologis.'
Heiner sering menemui fenomena psikologis semacam ini: orang-orang yang masih merasa sakit di kaki yang telah diamputasi bertahun-tahun lalu (phantom pain), atau mereka yang tertipu dengan obat palsu di masa perang dan benar-benar merasa kondisinya membaik karena percaya itu obat sungguhan.
Dia menurunkan pandangannya dan melihat cerutu di tangannya. Sebatang stik kecoklatan keputihan tampak di depan mata.
Ia sudah berhenti merokok enam tahun lalu. Saat itulah ia dan Annette mulai berkencan.
Annette sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan asap atau baunya, tapi Heiner memilih berhenti sendiri.
Kini, ia tidak lagi perlu tampil baik di hadapan siapa pun, jadi ia juga tidak perlu menahan diri untuk tidak merokok. Namun, anehnya, ia tetap tidak bisa kembali merokok. Karena…
Saat pikirannya melayang ke titik itu, Heiner mengerutkan kening samar-samar. Ia mendecakkan lidahnya, lalu menyandarkan lengan ke pagar balkon.
"Kau pasti berpikir aku benar-benar gila."
Kalau memang begitu, seharusnya ia tidak merasa sekotor ini.
Apakah itu masalahnya atau masalah Annette?
Tidak peduli seberapa dalam ia menyeret dan menginjak-injak wanita itu, Annette tetap terlihat begitu... suci.
Heiner tersenyum pahit. Ia sudah merenungkan hal ini sejak lama, tapi tetap tidak menemukan jawabannya.
Annette Valdemar.
Kau menyentuh bagian terdalam dan terlemah dalam diriku.
Membuatku merasa begitu tak berdaya.
Setidaknya, ini adalah masalahmu. Ini kesalahanmu.
Heiner menarik cerutu dari bibirnya dan menegakkan tubuh. Ia berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar. Setelah menyimpan cerutu itu kembali ke saku mantelnya, ia menatap tempat sampah untuk beberapa saat.
Benda-benda yang Annette pungut tadi malam kini kehilangan kilauannya, teronggok begitu saja dalam kegelapan.
"Hatiku tidak terlalu berguna."
Hatimu memang tidak berguna.
Heiner menggigit bibirnya tanpa suara.
Ia ingin Annette merasakan keputusasaan karena tidak mendapat balasan.
Ia ingin dia tersiksa oleh kenyataan yang tak bisa ia capai.
Ia ingin hatinya remuk dan menderita.
Seperti dirinya dulu.
Jadi, setidaknya, Heiner butuh hati Annette.
Ia mengangkat wajahnya dengan ekspresi muram. Setelah memastikan Annette masih tertidur, ia berjalan pelan menuju kamar mandi.
Ia menyalakan keran dan air dingin mengalir deras. Heiner diam sesaat, membiarkan ujung jarinya menyentuh air yang mengalir.
Namun, suara gemericik itu terasa seperti bunyi kepingan benda-benda tak berguna yang Annette pungut di pantai, berputar dan beradu di dalam dirinya.