Setelah kembali dari Glenford, Annette tidak melihat Heiner selama hampir seminggu.
Itu bukan masalah besar. Mereka hampir tidak pernah bertemu, bahkan sebelum Annette menuntut cerai.
Rumah dinas mereka terlalu luas, dengan lingkup aktivitas yang berbeda, sehingga mereka menjalani kehidupan masing-masing kecuali salah satu dari mereka sengaja mencari yang lain.
Setelah revolusi, biasanya Annette yang mencari Heiner lebih dulu. Namun, keadaan sedikit berubah sejak ia mengajukan perceraian.
Bagi Annette, tidak ada alasan untuk menemuinya lebih dulu, kecuali jika itu tentang perceraian.
Burung-burung berkicau nyaring di luar jendela.
Annette memasukkan dokumen berisi rincian donasi ke dalam map, lalu membuka brankas di dalam lemari.
Setelah menaruh dokumen di dalamnya, ia mengambil sebuah kotak perhiasan. Memasukkan perhiasan yang ada di dalamnya ke dalam kantong kertas, ia menekan tombol pemanggil. Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk ke kamar.
"Nona Ritzburg, aku ingin meminta tolong. Pergilah ke toko perhiasan terdekat…"
"Baik, Nyonya."
"...."
"Silakan, Nyonya."
Saat Annette tidak melanjutkan perkataannya, pelayan itu menatapnya dengan bingung. Setelah berpikir sejenak, Annette tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.
"Tidak, aku akan pergi sendiri."
"Jika Nyonya ingin membeli perhiasan, saya memiliki katalog—"
"Aku ingin melihatnya langsung di toko. Bisa tolong siapkan sopir?"
"Baik, Nyonya."
Begitu pelayan itu pergi, senyum di wajah Annette lenyap. Ia mengganti pakaiannya dengan busana luar dan mengenakan topi berkerudung.
Setelah memakai sarung tangan, ia membawa kantong kertas dan meninggalkan bangunan itu. Seorang pelayan mengikutinya secara alami dan membukakan pintu mobil. Setelah masuk ke dalam, Annette bertanya kepada sopir.
"Apakah ada toko perhiasan terdekat yang tidak terlalu ramai?"
"Oh... bagaimana dengan Huffine Jewelers? Tapi toko itu ada di gang kecil, jadi saya harus memarkir mobil di jalan utama. Nyonya harus berjalan sedikit."
"Tidak masalah. Tolong antar ke sana."
Karena sang sopir adalah seorang ksatria yang biasa mengantar wanita-wanita bangsawan, ia cukup mengenal berbagai toko perhiasan. Dengan cekatan, ia memutar kemudi dan menuju jalan yang dimaksud.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di salah satu sisi jalan raya. Annette melangkah masuk ke gang yang dipenuhi toko-toko. Sesampainya di depan Huffine Jewelers, pelayan yang mengikutinya berkata, "Saya akan menunggu di luar, Nyonya."
Itu adalah kata-kata yang menyenangkan untuk didengar. Annette mengangguk kecil dan masuk ke dalam toko.
"Selamat datang."
Sambutan sang pemilik toko terdengar agak datar. Annette meletakkan kantong kertasnya di atas meja pajangan.
"Saya ingin menjual semuanya."
"Apakah sebelumnya sudah dilakukan penilaian di tempat lain?"
"Belum."
Si pemilik toko melirik ke dalam kantong kertas, lalu mengenakan kacamatanya.
"Silakan tunggu sebentar."
Jumlah perhiasannya tidak banyak. Semua aset keluarga Rosenberg telah disita dan Annette—sebagai bagian dari Valdemar—dipaksa untuk menyumbangkan sebagian besar hartanya karena tekanan opini publik.
Alasan ia tiba-tiba ingin menjual dana darurat dan perhiasannya sederhana: untuk mencegah kemungkinan bahwa, suatu hari setelah kematiannya, perhiasan itu akan muncul di surat kabar atau dilelang dengan nama "Perhiasan milik putri Dietrich."
Sementara sang pemilik toko menilai perhiasan itu, Annette melihat-lihat pajangan di etalase.
Dulu, ia selalu menyukai perhiasan. Bukan karena harganya mahal, tetapi karena kilaunya yang indah.
Heiner tahu betul seleranya terhadap benda-benda semacam itu. Saat masih berkencan, setiap kali mereka pergi bersama, Heiner selalu membelikannya sesuatu yang berkilauan—entah itu perhiasan, manik-manik, atau kerajinan kaca—dan meletakkannya di tangannya.
"Kau tahu? Semua yang ada di kamarku adalah pemberian darimu. Aku akan mati bersama mereka."
"Tidak sebanyak itu."
"Apakah ini—rencana besarmu untuk menghancurkanku sampai mati?"
"Kurang lebih seperti itu. Kau akan hidup dikelilingi oleh segala macam benda berkilauan."
"Haha, kau tidak sedang melamarku, bukan?"
"Mari kita buat lamaran pernikahan yang lebih mengesankan daripada ini."
Pernah ada masa ketika dunia terasa sedikit lebih terang saat ia berada di sisinya.
Annette menempelkan tangannya ringan di meja pajangan, menatap ke dalam dengan sorot mata hampa. Segala sesuatu di tempat itu berkilauan, memancarkan cahaya yang indah, namun kini tak ada lagi ketertarikan yang timbul dalam dirinya.
"Kami sudah selesai, Nyonya. Silakan periksa tanda terima ini."
Sang pemilik toko yang telah menyelesaikan penilaian dengan cepat, menyodorkan daftar harga untuk setiap perhiasan.
"Keseluruhan, saya bisa menawarkan dua ribu tiga ratus pound. Apakah ada pertanyaan?"
"Silakan jual semuanya."
"Ah, baik. Saya mengerti."
Nada suara pemilik toko terdengar sedikit enggan, namun Annette menarik pandangannya dari meja dengan ketidaktertarikan yang kentara.
Harga itu tak berarti baginya. Bahkan, semakin rendah nilainya, semakin baik.
Tatapannya tiba-tiba tertuju pada cincin berlian yang masih melingkar di jari manisnya. Berlian itu jauh lebih besar dan lebih indah daripada semua permata yang dipajang di etalase. Itu adalah cincin pernikahan yang diberikan Heiner padanya saat ia melamar.
Perlahan, Annette melepaskan cincin itu dan menyerahkannya kepada pemilik toko.
"Mungkin Anda bisa memberi tahu saya berapa nilai cincin berlian ini? Saya ingin menjualnya sekaligus."
"Menjualnya?"
Pemilik toko memeriksa cincin itu dengan teliti, lalu berseru, tampak terkejut.
"Hm. Cincin ini saja bernilai lebih dari tujuh ribu pound. Maaf, tetapi kami tidak memiliki kapasitas untuk membayarnya. Saya rasa Anda harus pergi ke toko perhiasan yang lebih besar."
"Begitu…"
Setelah beberapa saat berpikir, Annette menerima kembali cincin itu dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Pemilik toko menghitung cek dan menyerahkan sebuah amplop berisi pembayaran. Annette menerimanya tanpa sekalipun mengecek jumlahnya, lalu berbalik meninggalkan toko.
Pelayan yang menunggunya di depan pintu segera mengikuti di belakangnya. Dengan langkah tenang, Annette melangkah keluar dari gang sempit itu.
Dua ribu tiga ratus pound. Itu bukan jumlah yang kecil. Meski permata-permata yang dijualnya tidak besar, semuanya memiliki kualitas terbaik, jadi harga tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Tapi cincin ini bernilai tujuh ribu pound…?
Bahkan saat masih lajang, ia tak pernah memiliki perhiasan semahal ini. Apakah Heiner mengira ia bisa puas hanya dengan lamaran yang dihiasi cincin mewah?
Betapa mudahnya memahami bagaimana pria itu memandangnya.
Seorang wanita bodoh, lahir dalam keluarga yang berkuasa yang tak tahu apa-apa tentang dunia. Seorang wanita dangkal yang tumbuh tanpa pernah kekurangan sesuatu pun, menikmati segala hal yang ia inginkan dan dambakan.
Dan itu tidak sepenuhnya salah.
Annette membatin seraya melangkah ke jalan utama. Pandangannya menyapu sekitar, menemukan mobil yang terparkir di tepi jalan. Namun, saat ia hendak mengalihkan tatapannya, matanya bertemu dengan sepasang mata asing.
Seorang pria berdiri di bawah lampu jalan. Usianya tampak tak lebih dari awal dua puluhan dan ia menatap lurus ke arah Annette. Tatapan mereka bertemu, tetapi pria itu tidak menghindar.
'Apakah dia melihat ke arahku?'
Seketika, Annette merasa waspada. Mungkinkah pria itu mengenalnya? Dengan cepat, ia menarik topinya lebih dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya. Namun, tatapan pria itu tetap terpancang padanya—penuh dengan sesuatu yang aneh dan intens.
Mata itu.
Seketika, bulu kuduknya meremang.
Ketakutan menjalar di sekujur tubuhnya, membuatnya tanpa sadar mundur selangkah. Nalurinya berteriak agar ia lari. Saat itulah pria itu menggerakkan tangannya, menarik sesuatu dari pinggangnya.
Di bawah cahaya matahari, kilauan perak berbentuk salib itu terlihat jelas. Cahaya itu mengarah tepat ke arahnya.
Waktu seakan melambat.
Annette reflek menoleh ke arah pengawalnya. Wajah pria itu berubah terkejut. Namun sebelum ia sempat bereaksi—
Bang!
Sebuah tembakan menggema di udara. Sang pengawal buru-buru meraih bahunya.
Bang!
Nyeri panas menembus sisi tubuhnya. Annette membeku, napasnya tersengal. Sang pengawal dengan sigap menariknya ke belakang tubuhnya, kemudian mengeluarkan pistol.
Bang! Bang!
Suara tembakan bersahut-sahutan di jalanan yang ramai. Pengawalnya yang terlibat baku tembak dengan si penyerang, mendorong Annette ke arah kendaraan. Langkahnya yang terhuyung akhirnya menyerah pada gravitasi, membuatnya jatuh berlutut.
"Tetap berlindung!"
Annette berjongkok di balik mobil, napasnya tersengal. Rasa dingin merayap dari tanah, menggigit kulitnya. Bahunya bergetar tak terkendali.
"Nyonya! Anda baik-baik saja?"
Sang pengemudi keluar dari mobil, tergesa-gesa menghampirinya. Tatapannya tertuju ke bawah, lalu matanya melebar.
"Ya Tuhan, Nyonya!"
Bibir Annette bergetar hebat. Perlahan, ia mengangkat tangannya yang menekan sisi tubuhnya. Warna merah pekat mengalir dari telapak tangannya, menetes ke jalan berbatu.
Seketika, rasa sakit tajam menusuk perut bawahnya. Seolah ada sesuatu yang menghantamnya dengan kekuatan luar biasa. Annette gemetar, tangannya semakin erat mencengkeram perutnya.
"Nyonya… saat ini juga… kita harus ke rumah sakit…"
Suara sang pengemudi bergetar, naik turun seperti fonograf yang rusak—terputus-putus di tengah jalan. Pandangan Annette mulai kabur. Kepalanya terasa berat, tenggelam dalam kabut yang pekat, seakan ditarik perlahan ke dalam air yang dalam.
Annette bersandar pada bodi mobil dengan dukungan sang pengemudi. Ketika akhirnya ia mendongak, langit biru pekat memenuhi pandangannya.
Cahaya itu menyilaukan.
Sang pengemudi di sampingnya mengucapkan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak lagi berarti. Annette menghela napas tipis, pikirannya melayang jauh.
'Seandainya peluru itu mengenai kepalaku…'
Mungkin segalanya akan berakhir seketika, tanpa rasa sakit.
Kelopak matanya berkedip lemah. Aneh. Luka tembak seharusnya berada di sisi tubuhnya, tetapi nyeri mengerikan meluas hingga menyesakkan seluruh dada bawahnya, seakan tubuhnya remuk dalam genggaman yang tak terlihat.
Jadi seperti inikah rasanya ditembak?
Annette tidak pernah tahu. Selama ini, tubuhnya tak pernah mengalami luka sedalam ini. Jemarinya yang tergeletak di atas tanah bergerak samar, gemetar tanpa kendali.
"...! Nyonya!"
Kelopak matanya terasa begitu berat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Suara tembakan yang tadinya menghujani udara kini perlahan meredup, menjauh dari telinganya.
Heiner pernah berkata bahwa ia mengalami banyak luka saat menjalankan misi. Tiga di antaranya adalah luka tembak.
Apakah rasa sakitnya seburuk ini?
Apakah ia telah merasakan kepedihan yang sama berkali-kali hingga rasa sakit Annette ini tak ada artinya dibandingkan penderitaannya?
Tetapi—
Pikirannya tidak sempat menyelesaikan kalimat itu. Annette menyerah untuk mempertahankan kesadarannya. Cahaya yang berkelip di matanya akhirnya memudar menjadi kegelapan pekat.
Dari batas kesadarannya yang semakin surut, sebuah bayangan muncul—seperti potongan film yang diputar kembali.
Wajah pria itu.
Pria yang menembaknya.
Matanya, saat ia mengangkat pistol tanpa ragu-ragu. Sorot emosinya yang terang benderang.
Bukan kemarahan. Bukan ketakutan.
Itu adalah kebencian yang jelas.