Lee-yeon sedang mendaki gunung sambil membawa tas kunjungan untuk memeriksa pohon-pohon yang sebelumnya dibantu melalui operasi. Lee-yeon, yang sudah terbiasa berjalan di tanah yang tidak rata, dengan sigap menembus semak lebat dan mengikuti jalan setapak yang berkelok.
"Lee-yeon."
Kwon Chae-woo dengan keras kepala terus mengikutinya sampai ke gunung, meski berkali-kali ia memintanya untuk pulang. Saat itu juga, pria itu meraih tas kunjungan dari tangan Lee-yeon.
"Tunggu."
"Kenapa?" Lee-yeon, yang terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, terpaksa berhenti. Wajahnya setegas patung.
"Kau terlihat tidak baik-baik saja."
"...."
"Apa kau merasa tidak enak badan? Atau kau marah padaku?" Mata tajamnya meneliti wajah Lee-yeon.
"Bukan, bukan itu—" Lee-yeon tak menyelesaikan ucapannya dan malah menghela napas. Meneruskan alasan buatannya terasa sia-sia karena Kwon Chae-woo bisa membaca dirinya seperti buku terbuka. Berbeda dari penyangkalannya, wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia memang tidak baik-baik saja.
Tatapan tajam Kwon Chae-woo memperlihatkan tekadnya untuk mencari tahu penyebab dari ketidakbahagiaan Lee-yeon. Baru saat itulah ekspresi murungnya sejak keluar dari rumah sakit mulai melunak.
"Karena aku mendengar sesuatu yang mengejutkan."
"Dari siapa?"
Lee-yeon tak bisa mengeluarkan jawaban.
"Dari dokter?"
Melihat alis Kwon Chae-woo mengerut, Lee-yeon cepat-cepat melambaikan tangan. "Bukan, bukan. Dari aku! Aku sendiri!" Ia terkejut dengan nada panik yang keluar dari suaranya.
Jika semua perilaku aneh pria itu berasal dari gejala penyakit, bukan dari kebutaan yang diciptakan oleh kebohongan Lee-yeon, maka artinya ia memiliki jalan keluar lain. Namun, entah mengapa, ia merasa lebih seperti ditertawakan daripada lega. Beban berat terasa menekan pundaknya.
"Sepertinya aku memang lahir di bawah bintang sial." katanya sambil menghela napas.
"Apa?"
"Aku meremehkan betapa berantakannya hidupku…." gumam Lee-yeon sambil menepuk dahinya sendiri.
"Sudah." Kwon Chae-woo menutupi dahinya dengan telapak tangannya.
Daun-daun di atas kepala mereka bergoyang diterpa angin, seperti ketenangan semu dari Lee-yeon di hadapan Kwon Chae-woo. Namun pria itu tidak tahu bahwa di dalam, Lee-yeon sedang bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia benar-benar kacau.
"Mm… Masih banyak pohon yang harus kuperiksa. Bukankah lebih baik kalau kau pulang sekarang?"
"Artinya kau ingin sendirian?"
Lee-yeon menghindari tatapannya dan menggaruk kepalanya. Pria itu mengangkat alis, seolah mencoba membaca pikirannya, tapi akhirnya ia mengalihkan pandangan dan mundur selangkah.
"Kalau begitu, aku akan mengikutimu dari belakang saja."
"Itu menggangguku."
"Aku tidak tahu jalan pulang. Dan naik bus masih terlalu sulit untukku. Ini semua karena kepalaku hanya berisi dirimu."
'Dia selalu pura-pura sakit dan lemah hanya di saat-saat seperti ini.'
Seolah membenarkan pikirannya, mata Kwon Chae-woo tampak berkilat seperti kucing liar, tak cocok dengan bibirnya yang sedikit mengerucut.
Saat itu juga, ia tiba-tiba menolehkan kepalanya.
"…!"
Tatapan matanya berubah tajam, dan garis lehernya dari bawah telinga hingga tulang selangka menegang seperti tali yang ditarik kencang. Lee-yeon menelan ludah karena perubahan suasana yang tiba-tiba itu.
Kerutan dalam terbentuk di dahinya. Wajahnya, yang kini terfokus pada sesuatu selain dirinya, terlihat begitu serius hingga Lee-yeon merasa seolah keberadaannya dilupakan sejenak.
"Ada apa―"
"Jika aku memberi isyarat, jangan menoleh ke belakang dan langsung lari secepat yang kau bisa."
"Apa?"
Kwon Chae-woo meraih pergelangan tangan Lee-yeon dan menariknya ke arahnya. "Kau jago memanjat pohon, kan? Bisa naik ke pohon ini dan tetap di atas sebentar?"
Dalam kebingungan yang singkat, Kwon Chae-woo mendorongnya ke belakang. Kuat. Tangan pria itu terasa sangat panas hingga membuat Lee-yeon tersentak kaget.
Kwaeeeee―!
Tanah bergetar. Suara geraman yang mengerikan membuat bulu kuduknya meremang. Saat menoleh ke arah suara itu, ia melihat seekor babi hutan besar berlari turun dari atas bukit.
"Kwon Chae-woo!"
"Naik, Lee-yeon! Sekarang!"
Suaranya terdengar galak. Ketakutan melihat tatapan tegas itu, Lee-yeon memanjat pohon seperti anak kecil yang menurut. Kakinya terpeleset dan tangannya gemetar.
Kwon Chae-woo membuka tas kunjungan miliknya, lalu tanpa ragu mengambil kapak kecil dan beberapa pasak.
"Ah…! Kwon Chae-woo, jangan nekat! Itu untuk menebang pohon, bukan untuk lawan hewan liar! Aku akan menghubungi pusat penyelamatan, jadi kau naik saja dulu!"
Lee-yeon memegang cabang pohon dan mengulurkan satu tangan. Tapi pria itu tak menggubris. Dengan bibir gemetar, ia buru-buru menyalakan ponselnya.
Sementara itu, Kwon Chae-woo mulai menebang pohon. Waktu yang dihabiskannya untuk menghantam batang pohon puluhan kali hanya berlangsung beberapa detik. Setelah beberapa pukulan lagi, ia berhasil membuat lekukan pada batang pohon itu.
"Kwon Chae-woo, apa yang kau lakukan?! Lari!"
Babi hutan itu semakin mendekat, tapi pria itu masih terus mengayunkan kapaknya.
"Berhenti! Letakkan itu!"
Ia tetap tidak menggubris dan terus melakukan apa yang ia niatkan.
"Aku bilang letakkan itu!"
"Diam saja di situ."
"Apa kau sengaja mau mati?!"
"Haha." Kwon Chae-woo tertawa meski tak ada yang lucu dalam situasi itu. "Anjing cuma membalikkan badan karena satu alasan."
Dengan reaksinya yang begitu tenang terhadap ancaman babi hutan, Lee-yeon hanya bisa terdiam. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi di kepala pria itu.