Cahaya dalam Kegelapan

Langit malam di kota kecil itu tampak lebih gelap dari biasanya. Tidak ada bintang yang bersinar, hanya ada remang-remang lampu jalan yang berkedip lemah, seakan-akan ikut merasakan kehampaan yang menguasai suasana. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang pria bernama Arka duduk di depan meja kayunya, menatap secarik kertas kosong yang sudah lama menantinya.

Sudah bertahun-tahun ia dihantui oleh mimpi-mimpi aneh—mimpi yang terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar telah mengalami kehidupan lain. Dalam tidurnya, ia melihat dirinya sebagai seorang ksatria di medan perang, seorang wanita yang menangis dalam balutan kimono, bahkan seorang anak kecil yang berlari di tengah desa terbakar. Setiap kali ia terbangun, ia merasa lelah, seakan-akan pikirannya baru saja menjelajahi dunia lain.

Malam itu, mimpi yang dialaminya terasa lebih jelas daripada sebelumnya. Ia berdiri di tengah padang luas yang diselimuti kabut tipis. Di hadapannya, sebuah gerbang batu besar menjulang tinggi, dihiasi ukiran-ukiran kuno yang seolah hidup. Dari balik gerbang itu, terdengar suara—suara yang familiar, tetapi ia tidak tahu dari mana asalnya.

"Arka… waktumu telah tiba."

Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara tersebut. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Tiba-tiba, gerbang batu itu terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Arka mencoba melangkah mendekat, tapi sebelum ia sempat mencapai gerbang itu, ia terbangun dengan napas terengah-engah.

Jantungnya masih berdetak kencang saat ia menatap sekeliling kamarnya. Semua tampak seperti biasa—dinding putih, meja kayu dengan tumpukan buku, dan jendela kecil yang sedikit terbuka, membiarkan udara malam masuk. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil buku catatan di samping tempat tidurnya. Ini bukan pertama kalinya ia mencatat mimpi-mimpinya. Sejak kecil, ia sudah sering mengalami kejadian seperti ini, dan mencatat semuanya dalam buku harian adalah satu-satunya cara untuk tidak merasa gila.

"Mimpi yang sama lagi. Gerbang batu. Cahaya emas. Suara memanggil namaku."

Ia berhenti menulis dan menatap kalimat-kalimat yang baru saja ia torehkan di atas kertas. Apakah semua ini hanya imajinasi? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang mencoba menyampaikan pesan?

Pikirannya teralihkan ketika tiba-tiba ada ketukan di pintu. Arka melirik jam di dinding—tepat tengah malam. Siapa yang mengetuk di jam segini? Dengan sedikit ragu, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.

Ketika ia membukanya, seorang wanita tua berdiri di sana, mengenakan jubah hitam panjang dengan tudung yang hampir menutupi seluruh wajahnya.

"Kau akhirnya bangun," katanya dengan suara parau.

Arka mengernyit. "Maaf, Anda siapa?"

Wanita itu tidak menjawab. Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah liontin emas berbentuk lingkaran dengan simbol aneh di tengahnya. Arka merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya saat melihat benda itu. Kepalanya tiba-tiba terasa berat, dan bayangan-bayangan dari mimpi-mimpinya melintas di depan matanya—gerbang batu, cahaya emas, suara yang memanggil.

"Liontin ini…," bisiknya tanpa sadar.

Wanita itu mengangguk pelan. "Kau sudah cukup lama menghindari takdirmu, Arka. Tapi sekarang, waktunya telah tiba."

Arka melangkah mundur, mencoba memahami situasi. "Apa maksud Anda? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda!"

Wanita itu menghela napas, lalu membuka tudungnya. Wajahnya penuh dengan garis-garis usia, tapi mata hitamnya masih tajam dan penuh kebijaksanaan. "Namaku Nira. Aku adalah penjaga Gerbang Jiwa. Dan kau, Arka, adalah seseorang yang telah berjalan di antara kehidupan lebih dari yang bisa kau hitung."

Kata-katanya membuat Arka merasakan gemuruh di dalam dadanya. "Gerbang Jiwa?"

"Tempat di mana semua kehidupan bermula dan berakhir. Tempat di mana rohmu telah melewati ratusan kehidupan, dan sekarang, kau akhirnya siap untuk mengetahui kebenaran."

Arka ingin menyangkalnya. Ia ingin mengatakan bahwa semua ini hanyalah kebetulan, bahwa mimpinya hanyalah hasil dari stres dan imajinasi yang berlebihan. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang dikatakan wanita itu benar.

"Jadi… apa yang harus aku lakukan?" tanyanya pelan.

Nira tersenyum tipis. "Ikut denganku. Kau akan melihat sendiri apa yang selama ini tersembunyi di balik tirai kehidupanmu."

Meskipun ragu, Arka tahu bahwa ia tidak bisa lagi lari dari semua ini. Dengan langkah berat, ia mengambil jaketnya dan mengikuti wanita tua itu keluar ke dalam kegelapan malam.

Dan di sanalah perjalanannya dimulai—perjalanan yang akan membawanya ke dalam jejak seribu kehidupan yang telah ia jalani.