Pintu Menuju Masalalu

***

Langkah Arka terasa berat saat ia mengikuti Nira menembus gelapnya malam. Jalanan sepi, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Ia tak tahu ke mana wanita tua itu membawanya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia harus terus berjalan.

"Apa sebenarnya tempat yang kita tuju?" Arka akhirnya bertanya setelah beberapa menit berjalan dalam diam.

"Gerbang Jiwa," jawab Nira tanpa menoleh. "Tempat di mana kau bisa melihat siapa dirimu yang sebenarnya."

Arka menelan ludah. Sejak kecil, ia sering merasakan perasaan aneh, seolah-olah ia bukan hanya dirinya yang sekarang. Mimpi-mimpi itu, rasa familiar pada tempat yang belum pernah ia kunjungi—apakah semua itu ada hubungannya dengan yang disebut Gerbang Jiwa?

Mereka tiba di depan sebuah bangunan tua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon. Dindingnya ditutupi lumut, dan pintunya terbuat dari kayu tebal yang terlihat sudah sangat tua.

Nira mengulurkan tangan dan menempelkan liontin emasnya pada pintu. Seberkas cahaya lembut menyebar, lalu terdengar suara gemuruh halus. Perlahan, pintu itu terbuka dengan sendirinya.

"Masuklah," kata Nira.

Arka menahan napas sebelum melangkah ke dalam. Begitu melewati ambang pintu, ia merasakan udara di sekitarnya berubah—lebih dingin, lebih berat, seolah-olah ia baru saja memasuki tempat yang berada di luar waktu.

Ruangan itu luas dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya biru keunguan yang melayang di udara. Di tengahnya berdiri sebuah lingkaran batu, dengan simbol-simbol aneh yang berpendar samar.

"Di sinilah semuanya akan dimulai," kata Nira, berdiri di tepi lingkaran itu. "Duduklah di tengah."

Arka ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Saat ia duduk, Nira mulai melantunkan sesuatu dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Lambat laun, simbol-simbol di sekelilingnya mulai bersinar lebih terang.

Tiba-tiba, kepala Arka terasa berat. Matanya berkunang-kunang, dan suara Nira semakin jauh. Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, tubuhnya terasa tertarik ke dalam pusaran cahaya yang menyelimuti dirinya.

Lalu semuanya menghilang.

Ketika Arka membuka matanya, ia bukan lagi di dalam ruangan itu. Ia berdiri di sebuah padang luas di bawah langit oranye yang aneh. Di kejauhan, terlihat barisan tenda dan derap langkah pasukan bersenjata.

Ia melihat ke bawah—pakaian yang ia kenakan bukan lagi jaket dan celana jeansnya. Sebaliknya, ia mengenakan baju zirah ringan dan pedang tergantung di pinggangnya.

Sebelum ia sempat bertanya-tanya, suara teriakan perang menggema di udara. Pasukan mulai bergerak, dan tanpa sadar, Arka pun ikut melangkah maju.

Ia tidak tahu siapa dirinya saat ini, tetapi sesuatu dalam dirinya berkata: Kau pernah berada di sini sebelumnya.

Arka mencoba menghentikan langkahnya, tapi tubuhnya bergerak seolah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Napasnya memburu saat ia melihat ke sekeliling—pasukan berbaju besi, bendera berkibar di kejauhan, dan suara dentingan senjata yang menggema di udara.

"Apa yang terjadi?" gumamnya, tapi tidak ada yang menjawab.

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Arka menoleh dan melihat seorang pria bertubuh kekar dengan wajah berlumuran debu.

"Jangan melamun, Rendra! Ini saatnya kita bertarung!" serunya dengan nada penuh semangat.

Rendra? Nama itu terdengar asing, tetapi anehnya terasa begitu akrab.

Sebelum Arka sempat menjawab, suara tanduk perang menggema. Pasukan lawan mulai menyerbu, dan tanpa sadar, Arka menghunus pedangnya. Tangannya bergerak dengan lincah, seolah-olah ia telah bertarung selama bertahun-tahun.

Ia menangkis serangan musuh, mengayunkan pedangnya dengan keahlian yang bahkan ia sendiri tidak tahu pernah ia miliki. Setiap gerakan terasa alami, seperti sebuah tarian yang sudah ia lakukan berkali-kali.

Darah bercipratan ke tanah. Teriakan kesakitan memenuhi udara. Arka terus bertarung, tetapi pikirannya dipenuhi kebingungan.

Bagaimana aku bisa melakukan ini?

Di sela pertarungan, Arka menangkap bayangan seseorang di seberang medan perang. Seorang pria berjubah hitam berdiri diam, mengamati pertempuran tanpa ekspresi.

Tatapan pria itu bertemu dengan Arka, dan seketika, ingatan lain menyeruak ke dalam benaknya—bayangan seorang raja yang duduk di singgasana, seorang wanita yang menangis di balik tirai, dan dirinya sendiri, mengenakan mahkota yang berat di kepalanya.

Arka tersentak. Seolah-olah tirai yang selama ini menutupi ingatannya mulai tersingkap sedikit demi sedikit.

Sebuah suara berbisik di kepalanya.

"Inilah awal dari perjalananmu, Arka. Kau harus mengingat semuanya."

Tanpa peringatan, cahaya keemasan menyelimuti tubuhnya. Pandangannya menjadi kabur, dan detik berikutnya, ia terhempas kembali ke dalam pusaran waktu.

Ketika Arka membuka matanya lagi, ia sudah kembali di ruangan batu bersama Nira. Napasnya terengah-engah, keringat mengalir di pelipisnya.

Nira menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau lihat?"

Arka menelan ludah, masih berusaha memproses semuanya. "Aku… aku berada di medan perang. Aku bertarung. Dan aku bukan diriku sendiri."

Nira tersenyum tipis. "Itu bukan sekadar mimpi, Arka. Itu adalah kehidupanmu yang lain."

Arka menatap tangannya, masih bisa merasakan dinginnya pedang yang tadi ia genggam.

Mimpi-mimpinya selama ini bukan sekadar bunga tidur.

Ia benar-benar telah hidup di kehidupan lain.