Bayangan dari Masa Lalu

***

Arka masih duduk di tengah lingkaran batu, napasnya belum kembali normal setelah pengalaman barusan. Hatinya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, tetapi karena kenyataan yang baru saja ia alami. Ia bukan sekadar melihat mimpi—ia mengalaminya.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Arka, suaranya hampir berbisik.

Nira tetap tenang, menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman. "Kau baru saja mengakses salah satu kehidupanmu di masa lalu. Ingatan itu tidak menghilang, hanya terkunci dalam jiwamu. Dan kini, kunci itu mulai terbuka."

Arka menggeleng, mencoba mencerna semuanya. "Aku… aku merasa seperti orang lain. Mereka memanggilku Rendra."

"Rendra adalah salah satu dirimu di kehidupan sebelumnya," Nira menjelaskan. "Kau seorang pejuang, seorang prajurit di zaman yang telah lama berlalu. Tapi ini baru permulaan, Arka. Masih banyak kehidupan yang harus kau ingat."

Arka menggigit bibirnya. Jika itu memang benar, berarti selama ini ia telah hidup berkali-kali. Ia bukan hanya Arka yang hidup di zaman sekarang, tetapi juga orang lain yang pernah ada di masa lalu.

Tapi mengapa sekarang? Mengapa ia baru mulai mengingat semuanya?

Seolah membaca pikirannya, Nira berkata, "Jiwa yang telah bereinkarnasi ribuan kali akan mulai bangkit ketika saatnya tiba. Kau dipilih, Arka. Ada sesuatu yang harus kau temukan dari kehidupan-kehidupanmu yang lalu."

Arka menatap Nira dengan penuh kebingungan. "Dipilih? Untuk apa?"

Nira menghela napas. "Itulah yang harus kita cari tahu."

Malam semakin larut saat Arka meninggalkan bangunan tua itu bersama Nira. Udara dingin menyentuh kulitnya, tetapi pikirannya masih terasa panas oleh banyaknya pertanyaan.

Langkah mereka terhenti di sebuah danau kecil yang permukaannya memantulkan cahaya bulan. Nira berhenti di tepi danau, menatap pantulan dirinya di permukaan air.

"Ada sesuatu yang harus kau ketahui, Arka," katanya, suaranya lebih pelan. "Tidak semua kehidupanmu di masa lalu akan membantumu. Beberapa justru bisa menjadi ancaman."

Arka mengerutkan kening. "Maksudmu?"

Nira menoleh padanya, sorot matanya tajam. "Pernahkah kau merasa ada sesuatu yang selalu mengikutimu? Sebuah bayangan yang kau rasakan, tetapi tak pernah bisa kau lihat?"

Arka terdiam. Kata-kata Nira itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya—sebuah perasaan yang selama ini ia abaikan. Kadang-kadang, ia memang merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya. Sejak kecil, ia sering merasa waspada tanpa alasan.

"Kau bukan satu-satunya yang bereinkarnasi, Arka," lanjut Nira. "Ada seseorang yang selalu mengikutimu dari kehidupan ke kehidupan. Ia telah mencarimu selama berabad-abad."

Arka menelan ludah. "Siapa dia?"

Nira menggeleng. "Belum saatnya kau tahu. Tapi percayalah, ia semakin dekat."

Hawa di sekeliling mereka terasa lebih dingin. Arka menatap danau, dan untuk sesaat, ia merasa melihat bayangan seseorang di balik pantulan air.

Seseorang yang berdiri di kejauhan, mengawasinya.

Ia berkedip—dan bayangan itu menghilang.

Tapi Arka tahu, ini bukan sekadar imajinasinya.

Seseorang benar-benar sedang mengawasinya.

Arka mencoba mengabaikan perasaan aneh itu, tetapi tubuhnya terasa tegang. Ia kembali menatap Nira, berharap mendapatkan lebih banyak jawaban.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya.

Nira terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kau harus menggali lebih dalam. Semakin banyak yang kau ingat, semakin cepat kita bisa memahami alasan di balik semua ini."

Arka mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah siap menghadapi ingatan-ingatan masa lalunya, tetapi ia sadar bahwa tidak ada jalan untuk kembali.

Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan di sekitar mereka. Arka langsung menoleh, jantungnya berdebar.

"Kita tidak sendirian," bisik Nira.

Arka merasakan bulu kuduknya meremang. Ia mengamati sekeliling, tetapi hanya kegelapan yang menyambutnya. Namun, nalurinya berkata bahwa ada sesuatu di luar sana, sesuatu yang sedang mengintai mereka.

"Nira…" Arka mulai berbicara, tetapi sebelum ia bisa melanjutkan, bayangan hitam melesat keluar dari pepohonan.

Refleks, Arka mundur selangkah, tetapi sosok itu bergerak terlalu cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah berdiri di hadapan mereka.

Seorang pria berjubah hitam dengan wajah setengah tertutup kain berdiri di sana. Tatapannya tajam dan dingin, seakan bisa menembus ke dalam jiwa Arka.

"Jadi, akhirnya kau mulai mengingat," katanya dengan suara yang rendah namun mengandung ancaman.

Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak mengenali pria itu, tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang familiar dalam suaranya.

"Siapa kau?" Arka bertanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

Pria itu menyeringai tipis. "Aku? Aku adalah seseorang yang telah mencarimu selama berabad-abad."

Arka menelan ludah. Kata-kata Nira terngiang kembali di kepalanya.

"Ada seseorang yang selalu mengikutimu dari kehidupan ke kehidupan."

Pria itu melangkah lebih dekat, tetapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, Nira berdiri di antara mereka.

"Cukup," kata Nira tegas. "Ini bukan waktunya."

Pria itu tertawa pelan. "Kau tidak bisa melindunginya selamanya, Nira. Cepat atau lambat, dia akan tahu siapa dirinya sebenarnya. Dan saat itu tiba, dia akan datang kepadaku sendiri."

Sebelum Arka bisa mengatakan apa pun, pria itu mengangkat tangannya dan dalam sekejap, tubuhnya menghilang menjadi kabut hitam, lenyap di antara pepohonan.

Keheningan kembali menyelimuti malam.

Arka menoleh ke arah Nira, mencoba mencari jawaban, tetapi wanita tua itu hanya menghela napas panjang.

"Kita harus segera bersiap," katanya. "Karena ini baru permulaan."

Arka tidak tahu apa yang menantinya, tetapi satu hal yang pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.