Kunci yang Tersembunyi

***

Arka masih berdiri di tempatnya, menatap titik terakhir di mana pria berjubah hitam itu menghilang. Hatinya berdebar kencang, bukan hanya karena kejadian barusan, tetapi juga karena perasaan yang muncul di dalam dirinya.

Siapa pria itu? Mengapa suaranya terasa begitu akrab?

Nira menghela napas panjang sebelum menoleh ke arah Arka. "Aku tahu kau punya banyak pertanyaan, tapi kita tidak punya banyak waktu. Malam ini, kau telah menarik perhatian yang seharusnya belum mengetahui keberadaanmu."

Arka menoleh ke Nira, wajahnya masih dipenuhi kebingungan. "Siapa sebenarnya dia?"

Nira menatapnya dengan dalam, lalu menjawab dengan suara pelan, "Dia adalah seseorang yang telah mencarimu selama berabad-abad. Tapi dia bukan satu-satunya."

Kata-kata itu membuat Arka semakin gelisah.

"Jadi aku benar-benar bukan orang biasa?" gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.

Nira tersenyum tipis. "Tidak, Arka. Kau adalah seseorang yang telah hidup lebih dari yang bisa dihitung manusia biasa. Dan sekarang, waktunya telah tiba bagimu untuk mengingat semuanya."

Arka menarik napas dalam. Ia sudah tahu sejak awal bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, tetapi mendengar kenyataan ini secara langsung membuatnya semakin sulit untuk menerima.

"Apa langkah selanjutnya?" tanyanya akhirnya.

Nira berjalan mendekat dan meletakkan tangan di pundaknya. "Kau harus mencari kunci yang telah lama tersembunyi. Hanya dengan itu kau bisa mengingat kehidupanmu yang paling penting."

Arka mengernyit. "Kunci? Kunci apa?"

Nira tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke langit, seakan sedang mencari sesuatu di antara bintang-bintang. Lalu, dengan suara rendah, ia berkata, "Kunci itu adalah bagian dari dirimu, tetapi tersembunyi di suatu tempat yang harus kau temukan sendiri."

Arka menghela napas. "Jadi aku harus mencari sesuatu yang aku bahkan tidak tahu bentuknya?"

Nira tersenyum samar. "Kadang, jawaban sudah ada di depan mata. Kau hanya perlu membuka hatimu untuk melihatnya."

---

Malam itu, Arka tidak bisa tidur. Ia duduk di dalam kamarnya, menatap langit dari jendela kecilnya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak ada habisnya.

Ia mulai mengingat kembali semua perasaan aneh yang selama ini ia alami—mimpi-mimpi yang terasa seperti kenyataan, perasaan familiar terhadap tempat yang belum pernah ia kunjungi, dan sekarang, pertemuan dengan pria berjubah hitam yang seolah telah mengenalnya selama berabad-abad.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam hidupnya?

Ia menutup matanya, mencoba mengingat lebih dalam. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat sesuatu—sebuah ruangan batu besar, dengan ukiran kuno memenuhi dindingnya. Di tengah ruangan itu, ada sesuatu yang bersinar, seperti sebuah benda yang menunggu untuk ditemukan.

Namun, sebelum ia bisa melihat lebih jelas, suara keras menggema di pikirannya.

"Temukan kunci itu… sebelum mereka menemukannya lebih dulu."

Arka tersentak bangun, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Suara itu—bukan suara Nira, juga bukan suara pria berjubah hitam. Itu suara lain, suara yang asing, tapi entah kenapa terasa sangat dekat.

Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Jika ini adalah bagian dari masa lalunya yang mulai terungkap, maka ia harus menemukan kunci itu. Tetapi bagaimana caranya?

Ia mengingat kembali detail dalam visinya. Ruangan batu, ukiran kuno, dan benda bercahaya di tengahnya. Mungkinkah tempat itu benar-benar ada di dunia nyata?

Tanpa sadar, tangannya meraba liontin kecil yang selalu ia pakai sejak kecil. Itu satu-satunya peninggalan dari ibunya, satu benda yang selalu ia anggap sebagai jimat keberuntungan.

Namun, malam ini, ketika ia menggenggam liontin itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah getaran halus, hampir seperti denyut nadi yang hidup.

Arka menatap liontin itu dengan curiga.

Apakah mungkin… ini adalah kunci yang dimaksud?

---

Keesokan paginya, Arka segera menemui Nira di tempat pertemuan mereka. Ia masih belum yakin dengan hipotesisnya, tetapi ia perlu memastikan.

Saat ia menunjukkan liontin itu pada Nira, wanita tua itu langsung terdiam. Matanya melebar, dan wajahnya berubah serius.

"Dari mana kau mendapatkan ini?" tanyanya dengan nada mendesak.

Arka menelan ludah. "Ini milik ibuku. Aku selalu membawanya sejak kecil."

Nira mengambil liontin itu dengan hati-hati, seolah benda itu sangat rapuh. Ia menatapnya dengan penuh kekaguman dan ketakutan sekaligus.

"Arka… ini bukan sekadar liontin biasa," katanya pelan.

Arka menatapnya penuh tanda tanya. "Maksudmu?"

Nira menghela napas panjang. "Ini bukan hanya kunci bagi ingatanmu, tetapi juga bagi sesuatu yang lebih besar. Jika kau benar-benar ingin tahu siapa dirimu, maka kau harus menemukan cara untuk membuka kunci ini."

Arka semakin bingung. "Bagaimana caranya?"

Nira menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, "Ada seseorang yang bisa membantumu. Tapi perjalanannya tidak akan mudah."

Arka menggenggam liontin itu erat. Ia tahu, tidak ada jalan kembali.

Jika ini adalah kunci menuju kebenaran tentang dirinya, maka ia harus menemukannya.

Apapun risikonya.

***

Setelah percakapan itu, Nira membawa Arka ke sebuah tempat terpencil di luar kota. Perjalanan mereka memakan waktu berjam-jam, melalui jalan setapak yang hampir tertutup oleh lebatnya hutan.

Arka sempat ragu, tetapi ketika mereka tiba di sebuah kuil tua yang hampir terlupakan, ia merasakan sesuatu yang aneh—seperti dejavu.

Ia pernah berada di sini sebelumnya.

"Kuil ini…" Arka berbisik.

Nira mengangguk. "Ini bukan pertama kalinya kau datang ke sini, meski mungkin kau tidak mengingatnya."

Arka melangkah perlahan, merasakan energi kuat yang menyelimuti tempat itu. Seolah ada sesuatu yang sedang menunggunya.

Di tengah kuil, ada sebuah altar batu dengan ukiran yang mirip dengan yang ia lihat dalam visinya. Dan di tengah altar itu, ada celah kecil… berbentuk sama persis dengan liontin yang ia bawa.

Arka menelan ludah.

"Ini… pasti bukan kebetulan," katanya.

Nira hanya tersenyum tipis. "Tidak ada yang kebetulan dalam takdir, Arka. Sekarang, masukkan liontin itu."

Arka ragu sejenak, tetapi akhirnya ia melangkah maju. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menempatkan liontin itu ke dalam celah di altar.

Sejenak, tidak ada yang terjadi.

Tetapi kemudian, cahaya keemasan mulai menyelimuti ruangan. Udara bergetar, dan Arka merasakan sesuatu menarik jiwanya.

Tiba-tiba, gambaran-gambaran mulai muncul dalam benaknya—perang besar, istana kuno, dan seorang pria dengan wajah yang sama seperti dirinya… tetapi berpakaian seperti seorang raja.

Arka tersentak. Itu adalah dirinya—di kehidupan yang lain.

Tetapi sebelum ia bisa memahami semuanya, suara gemuruh terdengar dari luar kuil.

Seseorang telah menemukan mereka.

Nira menoleh dengan wajah tegang. "Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga."

Arka mengerti. Apa pun yang sedang ia hadapi, ia tidak sendirian.

Tetapi yang lebih penting…

Ia baru saja membuka gerbang menuju masa lalunya—dan mungkin juga, masa depannya.