Cahaya yang Terbangun

***

Arka berdiri tegak, merasakan aliran energi hangat dari liontinnya. Cahaya keemasan itu semakin bersinar, menyelimuti tubuhnya dengan pancaran yang begitu kuat. Di hadapannya, Bayangan Pemburu melayang dengan mata merah yang berkilat, seolah mengamati gerakan Arka dengan penuh kehati-hatian.

Nira mengambil posisi bertahan di sampingnya, tangannya sudah siap untuk melancarkan sihir pertahanan. "Bayangan Pemburu tidak bisa dikalahkan dengan serangan biasa," katanya. "Mereka adalah entitas yang diciptakan dari kegelapan. Satu-satunya cara menghancurkan mereka adalah dengan cahaya—cahaya dari dalam dirimu."

Arka menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana cara mengendalikan kekuatan ini, tetapi ia juga tidak bisa hanya berdiri diam. Bayangan Pemburu itu bergerak cepat, seperti kabut hitam yang melesat dalam keheningan, mencoba menerkamnya.

Secara refleks, Arka mengangkat tangannya, dan cahaya dari liontinnya tiba-tiba meledak, menciptakan kilatan terang yang membuat lorong itu bergetar. Bayangan Pemburu berhenti di udara, tubuhnya bergetar hebat, seolah cahaya itu melukai keberadaannya.

Melihat reaksi makhluk itu, Nira berteriak, "Arka! Fokuskan energimu! Bayangkan cahaya itu sebagai bagian dari dirimu, lalu lepaskan!"

Arka menutup matanya sejenak, mencoba merasakan aliran energi dalam tubuhnya. Cahaya keemasan dari liontin semakin menguat, mengalir melalui nadinya, mengisi setiap serat tubuhnya dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ketika ia membuka matanya, ia mengayunkan tangannya ke depan, dan seketika, cahaya itu berubah menjadi gelombang energi yang melesat ke arah Bayangan Pemburu.

Makhluk itu berteriak dalam suara yang mengerikan. Tubuhnya mulai terkoyak, seolah larut dalam cahaya yang membakar keberadaannya. Dalam hitungan detik, Bayangan Pemburu menghilang, menyisakan keheningan yang hanya diisi oleh napas terengah-engah Arka.

Ia menatap tangannya dengan mata membelalak. "Aku… aku baru saja melakukannya?"

Nira tersenyum kecil. "Ya. Dan itu baru awal."

---

Setelah memastikan bahwa Bayangan Pemburu benar-benar lenyap, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri lorong. Cahaya dari liontin Arka perlahan meredup, tetapi ia masih bisa merasakan sisa energi yang berdenyut di dalam dirinya.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya mencapai ujung lorong, di mana sebuah pintu batu besar berdiri kokoh. Nira menempelkan tangannya pada permukaannya, menggumamkan mantra dalam bahasa kuno. Cahaya biru samar muncul di sekitar pintu, dan perlahan-lahan, batu itu bergeser, membuka jalan keluar menuju hutan yang diterangi sinar bulan.

Arka melangkah keluar, menghirup udara malam yang segar. Tapi sebelum ia bisa merasa lega, Nira menyentuh lengannya.

"Kita belum aman," bisiknya.

Arka mengernyit. "Apa maksudmu?"

Nira menatap ke dalam hutan dengan tatapan tajam. "Bayangan Pemburu hanyalah awal. Mereka mengirimnya untuk menguji kekuatanmu. Dan sekarang, mereka tahu bahwa kau sudah mulai membangkitkan cahaya itu."

Jantung Arka berdegup lebih kencang. Jika itu benar, maka orang-orang yang mengejarnya pasti akan lebih agresif.

"Jadi, apa langkah kita selanjutnya?" tanyanya.

Nira menatap langit malam yang penuh bintang. "Kita harus menemukan jawaban sebelum mereka menemukan kita lebih dulu. Dan itu berarti kita harus pergi ke tempat di mana semua ini bermula."

Arka menatapnya dengan kebingungan. "Tempat di mana semua ini bermula?"

Nira mengangguk. "Ya. Tempat di mana kau pertama kali hidup sebelum semua ini dimulai—sebelum reinkarnasimu yang pertama."

Arka merasakan hawa dingin menjalar di tulang punggungnya. Jika tempat itu benar-benar ada, maka mungkin, akhirnya ia bisa mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Dan yang lebih penting—apa takdir yang menantinya.