Cahaya di Antara Bayangan

***

Arka duduk di atas lantai batu yang dingin, pikirannya masih dipenuhi oleh apa yang baru saja ia alami. Tempat ini—ruang yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan lilin melayang—terasa akrab, meskipun ia yakin belum pernah melihatnya sebelumnya.

Nira berdiri di depan rak buku, mengamati deretan naskah kuno dengan tatapan tajam. Ia menarik sebuah buku tebal berwarna hitam dan meletakkannya di atas meja kayu yang sudah lapuk.

"Arka," katanya tanpa menoleh, "aku tahu ini banyak untuk kau cerna dalam waktu singkat. Tapi kita tidak punya banyak waktu. Kau harus mulai memahami siapa dirimu sebenarnya."

Arka menghela napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. "Jadi, aku adalah penjaga kunci, seperti yang kau bilang?"

Nira mengangguk. "Lebih dari itu. Kau bukan hanya penjaga, tetapi juga satu-satunya yang bisa membuka gerbang antara dunia ini dan dunia yang lebih tinggi."

Arka mengernyit. "Gerbang? Dunia lebih tinggi? Aku bahkan belum bisa mengendalikan kekuatanku sendiri."

Nira tersenyum tipis. "Itu sebabnya kau ada di sini. Di tempat ini, ingatanmu akan perlahan kembali, dan dengan itu, kekuatanmu juga akan bangkit."

Ia membuka buku yang tadi diambilnya, memperlihatkan simbol-simbol kuno yang berkilauan samar di bawah cahaya lilin. Arka menatap tulisan-tulisan itu dengan bingung.

"Apa ini?" tanyanya.

"Ini adalah bagian dari warisanmu," jawab Nira. "Bahasa kuno yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang memiliki hubungan dengan dunia yang lebih tinggi."

Arka menatap lebih lama, dan perlahan, sesuatu yang aneh terjadi. Simbol-simbol itu mulai berubah, bergeser, hingga akhirnya membentuk kata-kata yang bisa ia pahami.

"Ini… ini adalah bahasa yang pernah aku baca sebelumnya," gumamnya, hampir tak percaya.

Nira mengangguk puas. "Itu berarti kekuatanmu mulai bangkit."

Tapi sebelum Arka bisa bertanya lebih jauh, suara dentuman keras menggema di seluruh ruangan. Rak-rak buku bergetar, dan lilin-lilin melayang bergoyang seolah ada angin kencang yang menerpa.

Wajah Nira berubah serius. "Mereka menemukan kita."

Arka berdiri cepat. "Siapa?"

Nira menatapnya dengan penuh kewaspadaan. "Orang-orang yang mengejarmu tadi. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan kunci."

Jantung Arka berdetak lebih cepat. Ia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, tapi satu hal yang ia tahu—ia tidak akan menyerahkan sesuatu yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.

Nira berjalan ke salah satu dinding batu dan menekan sebuah simbol kecil. Seketika, bagian dinding itu bergeser, membuka sebuah lorong gelap yang tampak seperti terowongan bawah tanah.

"Kita harus pergi sekarang," katanya.

Arka menatap lorong itu, lalu kembali melihat ke arah pintu utama, yang kini mulai bergetar akibat pukulan keras dari luar. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Ayo."

Tanpa membuang waktu lagi, mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan, meninggalkan ruangan itu tepat sebelum pintu utama hancur dengan ledakan yang menggetarkan seluruh tempat perlindungan mereka.

Dan dengan itu, perjalanan Arka menuju takdirnya pun berlanjut.

Lorong itu terasa semakin sempit dan gelap saat mereka berjalan lebih dalam. Dindingnya terbuat dari batu tua yang lembap, dan suara langkah kaki mereka menggema samar. Arka bisa merasakan sesuatu di tempat ini—sebuah energi kuno yang seakan berbisik di telinganya.

"Ke mana lorong ini membawa kita?" tanya Arka, mencoba mengendalikan rasa cemasnya.

"Keluar dari kuil, menuju ke tempat yang lebih aman," jawab Nira tanpa memperlambat langkah. "Tapi kita harus bergerak cepat. Mereka pasti sudah mulai mencari jalan masuk."

Arka mengangguk, mempercepat langkahnya. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya. Ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengikuti mereka di kegelapan.

"Nira… aku rasa kita tidak sendirian."

Nira menghentikan langkahnya, matanya menyipit. Ia mengangkat tangannya, dan cahaya biru berpendar dari telapak tangannya, menerangi lorong sempit itu.

Untuk sesaat, tidak ada apa-apa—hanya bayangan yang menari di dinding. Tapi kemudian, dari kegelapan, sebuah sosok muncul.

Itu bukan manusia.

Arka menahan napas saat melihat makhluk itu: tinggi, dengan mata merah menyala, tubuhnya seperti bayangan yang berkabut, seolah tidak sepenuhnya nyata.

"Bayangan Pemburu…" gumam Nira, wajahnya menjadi semakin serius. "Mereka sudah memanggilnya."

Makhluk itu mengeluarkan suara mengerikan, seperti angin yang berdesir di antara pepohonan mati. Ia bergerak dengan cepat, melesat ke arah mereka seperti kabut yang tertiup angin.

Arka merasakan dadanya berdebar. Ia belum memahami sepenuhnya kekuatannya, tapi jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, mereka tidak akan bisa keluar hidup-hidup.

"Nira, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan suara gemetar.

Nira menatapnya, lalu berkata dengan nada tegas, "Gunakan cahaya itu, Arka. Percayalah pada dirimu sendiri."

Arka menggenggam liontinnya erat-erat. Cahaya keemasan mulai merembes keluar, menghangatkan tubuhnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak lagi merasa takut.

Ia menatap makhluk itu yang semakin dekat. Dan kali ini, ia siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.