Suasana ruangan kelas yang tenang, memberikan rasa damai tersendiri bagiku. Di depan kelas, saat ini guru sedang berusaha menyampaikan materi belajar, meski tak semuanya mendengarkan.
Begitu juga dengan diriku. Pikiranku berkecamuk akan hal yang terjadi tadi malam.
Saudara kembar? Sudah meninggal? Urgh, semua itu terlalu besar untuk otakku yang kecil ini.
Saat bergumul dengan pikiranku, bel istirahat pun berbunyi dan menggema di seluruh sekolah. Semua murid keluar dari kelas mereka masing-masing, seperti zombi. Ya, sekolah memanglah berat.
Saat sedang membereskan pulpen dan buku catatanku yang tak terisi apa pun ini, aku melihat sesosok orang yang mengintip dari pintu kelas.
"Della?" Butuh beberapa waktu untukku sadar kalau itu adalah Della.
Aku langsung mendatanginya. Dia terlihat pucat dan berkeringat. Apa dia sakit?
Membenarkan posisi kacamatanya saat ini, dia terlihat gugup. Aku dapat merasakan aura kekhawatiran dari dirinya. Tapi, tetap saja itu tak mengubah fakta bahwa dia adalah gadis tercantik di sekolah ini.
"Kamu kenapa?"
"Anu..." dia terlihat kikuk.
"Hm?"
Aku melihat dia menoleh pada kerumunan teman di depan kelasnya. Kenapa dia seperti terganggu oleh teman-temannya sendiri?
"Ak-aku... anu..." Della sedang menggenggam rok selutut yang dipakainya sambil tertunduk.
Ada sesuatu yang terasa tidak wajar. Cara dia bergerak, cara dia berbicara... seperti bukan Della yang biasanya. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meski aku sendiri tak bisa menjelaskan apa itu.
Ah, Lia. Aku hampir lupa. Dia pasti merasa asing dengan semua ini. Bayangkan jika aku tiba-tiba harus pergi ke sekolah yang aku tidak tahu dan bertemu teman-teman yang tidak aku kenal.
Kelas kami memang bersebelahan, tapi aku tak begitu sering bermain ke kelas Della. Aku lebih suka cari tempat sepi dan makan jajanan ku dengan tenang.
Aku tak mau dikira numpang tenar karena bergaul dengan artis sekolah seperti Della. Aku cuma mau hidup tenang dan damai, tidak terganggu dan mengganggu.
Menatap seorang gadis di hadapanku ini, aku tak tahu harus menganggap dia ini Della atau Lia. Atau bagaimana aku harus berbicara padanya, aku merasa takut lancang namun yang kulihat, dia ini sahabatku.
Aku tak tahu sedang melihat botol gula yang berisi racun atau botol racun berisi gula. Aku merasa aneh. Perasaan asing ini sangat menggangguku.
oOo
Saat ini aku berada di kamar yang memberikan suasana manis. Dengan wallpaper dindingnya yang berpola hati berwarna merah muda, di mejanya pun berhiaskan boneka-boneka kecil yang imut.
Ada boneka kuda unicorn, ada boneka monyet, ada juga boneka—aku tak tahu makhluk apa itu. Bentuknya seperti gorila tapi memiliki sayap dan ekor (?), apa itu sejenis hewan yang bermutasi?
Kemudian seseorang masuk dari pintu kamar dan membawa nampan berisikan dua cangkir dan ketel. Dari sana tercium wangi teh yang nikmat. Lia meletakkan nampan tersebut di meja yang ada di hadapanku lalu menuangkan teh tersebut di cangkir kami masing-masing.
Saat aku mengamati ruangan ini lebih jauh, mataku tertuju pada rak buku yang tersusun rapi di sudut kamar. Aku mengernyit heran.
Masalahnya di rak itu hanya ada satu buku. Apa cuma biar kelihatan pintar kalau teman-temannya berkunjung?
"..Aku masih tak mengerti." Sejenak bisu di kamar ini aku ubah.
Tanpa basa-basi aku mengatakannya.
"Ibumu memang sudah cerita semalam, tapi—jujur saja aku masih belum mengerti..."
"Kamu Lia, saudara kembar Della. Tapi anehnya kamu udah meninggal..." Aku memijat kepalaku dengan keras mencoba mencari logika dari fakta-fakta yang kuterima.
"Aku masih belum percaya."
"Apa-apaan itu..." aku menggertakkan gigiku kuat-kuat.
Dari jendela kamar ini cahaya menembus gorden tipisnya dan memaksa masuk ke kamar ini.
"Aku... juga tak mengerti kenapa ini terjadi lagi..."
"...lagi?"
Dia mengangguk, tapi tak berani menatap wajahku.
"Dulu waktu berumur 4 tahun, aku untuk pertama kalinya masuk ke tubuh Della..."
"...Yang kuingat, aku berada di rumah sakit dan Ibu sedang memelukku dengan erat."
"Meskipun begitu, Della memiliki kehidupannya sendiri. Kamu tak bisa seenaknya saja masuk ke tubuhnya!"
"Aku juga tak ingin! Aku juga sadar kalau aku ini sudah mati!" Nada suaranya bangkit. Aku sedikit terkejut.
Sial.
"Maaf..."
"..."
Aku dan mulutku yang lancang. Tadi itu pasti sangat menyakiti hatinya. Namun, tetap saja, aku tak bisa mengabaikan bahwa aku sangat terganggu melihat keadaan Della saat ini. Aku yang merasa asing akan dirinya, tidak terima.
Aku masih belum mengerti apa tujuan Lia kembali, dan bagaimana caranya agar Della kembali? Apakah ini kepribadian ganda atau kerasukan?
"Jika memang dulu pernah terjadi? Bagaimana caranya Della kembali?" Aku dengan rasa antusias yang aneh bertanya.
"Saat itu, Ayah memberi aku hadiah. Itu adalah gaun yang sangat kuinginkan dulu. Setelah itu, aku tak sadarkan diri... Kurasa..."
Lia tampak mengerutkan kening mencoba keras untuk mengingat masa lalunya.
"Itu dia!"
"A-apanya?" Lia terkejut melihatku bangkit berdiri secara tiba-tiba.
"Aku akan mengabulkan keinginanmu!"
Saat ini ekspresiku berbinar dengan senyum seperti ilmuwan yang menemukan gagasan baru. Sedangkan Lia hanya menatap raut wajahku saat ini begitu menjijikkan.
"Tapi aku tidak tau apa yang kuinginkan saat ini." Lia mencoba menjelaskan kalau hal ini tidak sesederhana itu.
Aku memberikan jempol terbaik ku "Kita coba aja semuanya!"
oOo
"Lia!"
Suaraku bergema di kelas XI IPA 1. Tak memperdulikan tatapan semua orang yang ada di situ, aku dengan liar menggerakkan mataku ke sana-kemari mencari si empunya nama.
Itu dia! Pikirku saat melihat gadis berkacamata.
Aku langsung saja menghampirinya, wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, aku cuma bisa tertawa. Ya mau bagaimana lagi coba? Sesaat jam istirahat berbunyi, aku langsung saja menyongsong koridor sekolah untuk sampai ke sini.
"Makan siang bareng, yuk!" kataku sambil mengedipkan mata.
"Ha?"
"Udah lah, ayo!" Aku langsung saja menarik tangannya.
Sesampainya di kantin, kami langsung mencari tempat duduk. Untung saja masih ada yang kosong, kalau tidak, mana mungkin kami makan sambil berdiri! Nanti malah guru yang kencing berlari, ahahahahah! Aku sudah mulai gila.
"Kamu pesan apa? Aku yang bayarin, deh!"
"A-ah, nggak perlu kok!"
"Udah, deh! Beneran!" Meski Lia mencoba menolak, aku tetap memaksa.
Akhirnya, aku belikan dia bakso sama sepertiku. Ya, sebenarnya aku yang menyarankannya. Di sini baksonya paling enak! Dia pasti suka.
Dia menyeduh kuahnya. Bibirnya berwarna merah muda. Apa yang kulihat, sih?
"Enak!" Itulah yang Lia katakan padaku saat mengecap kuah kaldu bakso tersebut.
Tanpa sadar, aku menunjukkan cengiran konyolku pada Lia.
xXx