Hari ini cuaca agak mendung. Kulitku menggigil akibat suhu yang menurun di ruangan kamar ini. Hal-hal seperti itulah yang membuat aku malas untuk mandi pagi.
Sesudah memakai kan dasi di leherku, aku keluar dari kamar dan berniat untuk sarapan.
Sesampainya di meja makan, aku melihat ibu sedang menyiapkan sarapan untukku, sepertinya Ayah sudah berangkat duluan.
Ketika aku membukakan pintu rumah untuk mulai berangkat sekolah, angin yang sangat dingin menerpa wajahku.
"Apa lebih baik aku pura-pura sakit aja ya.." itulah kalimat yang keluar dari seorang pengangguran dimasa depan nanti.
Namun entah darimana datangnya, kemauanku untuk mengecap pendidikan naik lagi, sehingga aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah ku di belakang.
Tak lama aku berjalan, aku melihat sosok Lia di depan ku. Langsung saja aku menyapanya.
"Hei,"
"Ah, Danar.." dia tersadar saat aku menyapanya.
"Kamu nunggu aku?"
"I-iya.." aku terdiam.
Percakapan ini memberi suasana canggung. Aku-- baru kali ini ada perempuan yang menunggu ku seperti ini. Bukannya cuaca saat ini dingin sekali?
"Emangnya ada apa?"
Aku tahu! ini merupakan momen romantis, saat dimana aku harus memberi jaket ke bahunya agar dia merasa hangat, kan? Sudahlah, lagipula aku sendiri tidak bawa jaket.
"Anu, kamu bisa temani aku ke suatu tempat, pulang sekolah nanti?"
oOo
Optik Bening. Seperti itulah yang terpampang di depan toko ini. Dari luar, terlihat barisan kaca mata berbagai bentuk dan warna terpajang di balik jendela.
"Kaca mata ini udah agak kekecilan, selain itu aku juga mau cek kesehatan mata ku, nar."
Memang sih, dari yang kulihat kaca mata yang dipakai Lia saat ini terlihat sudah tua. Warna frame nya juga sudah memudar dan juga kaca mata itu seperti menjepit kepala dia.
"Yaudah kalau gitu, ayo, masuk!"
"Um." Lia mengangguk.
Ketika kami memasuki toko tersebut, sang pegawai toko menyambut kami. Aku mengatakan padanya keluhan Lia. Pegawai tersebut, dengan senyuman yang ramah mendengarkan ku.
Sepertinya toko ini bagus, pikirku. Saat aku memalingkan wajah, aku melihat Lia sedang memandangi kaca mata yang terpajang. Dia sangat antusias.
Aku tersenyum melihatnya seperti anak kecil yang sedang memilih mainan.
"Kamu suka yang mana?" sembari mendekatinya aku bertanya.
"Semuanya bagus-bagus.."
"Ya, kalau gak bagus, gak mungkin di pajang kan?"
Lia menaruh jari telunjuk di dagunya, alis matanya saling bertautan. Dia lucu sekali.
"Eh,coba lihat deh.."
"Hm?"
"Ini kelihatannya cocok banget sama kamu!"
Tangan kecilnya menangkaikan frame kacamata tersebut di telinga ku. Kemudian menunjukan cermin kehadapanku, kaca mata itu berbentuk bulat dengan frame tipis berwarna hitam.
"Wingardium Leviosa!" teriak ku sesaat setelah melihat penampilan ku di cermin.
"Ahahahahah-"
Lia tertawa.
Pipi nya merona dengan indah. Senyum yang terpatri diwajahnya pun terkesan lega, tidak kaku seperti biasanya. Dan saat dia mencoba menahan tawa dengan telapak tangannya, dia terlihat sangat imut.
"Memangnya kamu ini penyihir? Ahahahah-"
"Kamu manis kalau seperti ini, tau gak.."
"..."
Apa-apaan yang ku katakan itu!? Memangnya aku ini lagi ada di film romantis apa!? Lagipula darimana datangnya kata-kata itu! Ah, sial! Kenapa kamu juga diam aja Lia!?
"Ma-makasih-" jangan malu-malu gitu dong!
"Mas, silahkan pacarnya suruh masuk dulu kesini."
Aku tarik kembali kata-kata ku tadi, toko ini tidak sebaik yang kubayangkan.
oOo
Kali ini kelas ku terasa sangat berisik, semuanya sedang membicarakan tentang wahana rumah hantu yang sedang buka di supermall kota ini.
Simpelnya rumah hantu itu benar-benar buat aku mengernyit pahit. Maksudku, kalian memasuki wahana yang kalian tahu palsu, rela membayarnya untuk di buat takut, dan tetap merasa takut saat di sana!
Manusia pada puncaknya, benar-benar konyol.
"Oy, Nar!" aku tersentak saat mendengar namaku dipanggil.
"Ah, iya? Apa?"
"Ikut, yuk! Hari ini kelas kita mau ke rumah hantu baru itu, loh!" dia nyengir.
Jarang sekali ya, aku di ajak. Ada apa ini?
"Ajak juga Della! Oke?"
Sudah kuduga.
Tapi-
"Oke." aku cuma jawab dengan singkat, padat dan jelas.
oOo
Awalnya memang Lia enggan untuk ku ajak ke sini. Tapi pada akhirnya, sekarang kami sudah ada di Rumah hantu ini.
Saat ini 3 teman kelas ku sedang berjalan di depan ku, sedangkan aku berdua di belakang mereka bersama Lia.
Tema rumah hantu ini adalah rumah sakit berhantu. Jadi saat ini kami berada di koridor rumah sakit yang gelap dan berhiaskan cipratan darah dimana-mana.
Aku rasa, untuk membuat atmosfer horror, tidak cuma butuh kesan visual tapi juga audio. Jadi, saat ini gendang telingaku sangat sakit mendengar suara tangisan bayi, tawa kuntilanak dan teriakan histeris.
Trio cewek didepan ku sedang saling berpelukan karena ketakutan akan suasana disini. Tapi sepertinya Lia baik-baik saja.
Memalingkan kepala ku kearah Lia, wajahnya putih pucat dan kakinya terlihat gemetaran. Dia tidak baik-baik saja.
"L-lia, kalau memang gak sanggup, jangan maksa.." aku khawatir melihat keadaannya.
Tapi dia mengacungkan jari jempol.
"Wajahmu pucat, loh.." ini cewek mengkhawatirkan sekali. Sumpah.
Tiba-tiba aku melihat tangan Lia di pegang oleh tangan asing yang berwarna hitam kusam. Mataku menyusuri asal tangan tersebut, dan melihat seorang berpakaian suster berlumuran darah sambil terduduk miring di belakang Lia.
Kembali lagi, mataku tertuju pada Lia.
Dia nangis.
Sudah kubilang.
Kalau begini, kan, aku jadi merasa bersalah karena mengajaknya.
"Uwwwaaaaahhhh"
Aku menariknya tangannya, dan berlari keluar dari tempat itu sekencang-kencangnya tanpa melihat kiri dan kanan, melewati trio tadi itu dan akhirnya sampai diluar.
Meski sudah di luar, Lia masih terisak pelan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak sembab, dan bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.
Aku menggaruk kepala, merasa canggung. "Iya-iya, deh. Aku minta maaf..."
Dia tidak langsung menjawab, hanya menatapku sejenak, lalu menunduk sambil mengusap matanya. "Bener?"
"Iya. Sumpah."
Perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil, lalu tiba-tiba dia terkikik. "Hihihihihi."
Aku melongo. "Hah? Kamu ketakutan banget barusan, tapi sekarang malah ketawa?"
Lia menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar. "Ya... aku takut, sih. Tapi ada kamu di sana."
Kata-katanya membuat dadaku berdesir aneh. Tapi sebelum aku bisa bereaksi lebih jauh, dia tiba-tiba menarik tanganku.
"Kalau gitu, belikan aku Ice Cream, ya!"
xXx