Hujan turun deras di luar, menciptakan tirai air yang mengaburkan pandangan ke lapangan sekolah. Kantin dipenuhi oleh siswa-siswa yang berteduh, suara tawa dan obrolan bercampur dengan dentingan sendok mengenai mangkuk.
Aku mengunyah bakso dengan santai, membiarkan kehangatan kuahnya mengisi tubuhku. Aku menoleh ke samping dan melihat Lia.
Dia sedang menyuap baksonya dengan perlahan, matanya tertuju ke dalam mangkuk. Rambut panjangnya tergerai, beberapa helai jatuh ke depan menutupi sebagian wajahnya.
Tanpa sadar, tanganku bergerak sendiri. Aku meraih beberapa helai rambutnya dan menyibakkannya ke belakang telinga.
Aku tidak berpikir panjang. Itu hanya gerakan refleks.
Lia membeku seketika. Sumpit di tangannya berhenti di udara, dan aku baru menyadari apa yang baru saja aku lakukan.
Seluruh kantin terasa sunyi selama beberapa detik.
Aku mengangkat tangan dengan kaku, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "E-eh... rambutmu hampir kena kuah."
Lia menatapku dengan wajah merah padam. "A-aku bisa melakukannya sendiri..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.
Baru saja aku hendak meminta maaf, suara gaduh mulai terdengar di sekeliling kami.
"WOI! LIAT! LIAT! GILA, ROMANTIS ABIS!"
"INI APAAN!? DRAMA SEKOLAH!?"
"Aku nggak nyangka Danar tipe yang suka gerakan tiba-tiba gini!"
Aku tersedak. Lia juga langsung menunduk dalam-dalam, berusaha bersembunyi di balik mangkuk baksonya.
"BUKAN GITU, WOI!" Aku mencoba membela diri, tapi mereka justru semakin ribut.
Lia berdeham pelan. Aku menoleh dan melihat dia melirik ke arahku sebentar sebelum kembali menunduk, wajahnya masih sedikit merah.
"Aku nggak menyangka... kamu bakal melakukan itu," gumamnya.
Aku menggaruk kepala dengan canggung. "Aku juga nggak nyangka."
Kami kembali fokus pada bakso masing-masing, mencoba mengabaikan tatapan orang-orang di sekitar.
Hujan masih turun deras, dan untuk beberapa saat, aku hanya berharap petir tiba-tiba menggelegar supaya bisa mengalihkan perhatian semua orang dari kami.
oOo
Awan masih menunjukkan keramaiannya di atas langit. Tak jarang juga mereka saling bertabrakan dan menimbulkan suara gemuruh. Hanya saja, tak ada setetes pun air jatuh dari sana.
Aku menggosokkan kedua telapak tanganku dengan cepat. Kelihatannya sih kayak lalat yang hinggap di sampah, tapi setidaknya ini sedikit menghangatkanku.
"Hari ini dingin banget, ya?"
"Kenapa gak bawa jaket?"
"Aku kan udah bilang kalau aku lupa bawa.." bela ku sambil mengucek hidung yang mulai pilek.
Lia menatapku tidak percaya akan alasan yang kulontarkan. Aku mendengar dia bergumam, namun ketika aku bertanya, dia tidak menjawabnya. Kenapa jadi dia yang marah, sih?
Greb! Sesuatu yang halus berbenturan dengan lengan milikku. Saat ini aku merasakan kehangatan di telapak tanganku yang kiri, semua sela-sela jari ku dipenuhi oleh sesuatu. Ketika aku melihat tangan kami yang sedang bertautan, wajahku juga mulai terasa hangat.
"Lain kali jangan lupa." Nadanya datar, tapi entah kenapa di telingaku terdengar seperti omelan.
"I-iya, terima kasih, ya.."
Sore itu, perjalanan pulang ini terasa seperti yang paling menyenangkan bagiku. Aku menggenggam tangannya yang kecil. Aku ingin menatapnya, tapi rasa malu membuatku mengalihkan pandangan.
Apakah ini yang disebut romantis, ya?
oOo
Kalau nanti Della kembali lagi, apa yang akan aku lakukan? Apakah aku senang? Sedih? Atau bahkan marah? Kurasa yang paling masuk akal itu bukanlah sebuah masalah. Karena sejak awal mengembalikan Della adalah tujuan awal ku.
Lalu, bagaimana denganku? Apa aku ingin Lia menghilang? Ku akui bahwa aku lumayan dekat dengannya akhir-akhir ini. Tapi, jika Lia menghilang—apakah aku akan senang? atau bahkan Puas?
Dari lubuk hati ku terdalam, mungkin aku mulai menyukainya.
Terkadang aku terbayang senyumnya yang polos, cara kedua matanya menatap ku, suaranya ketika ia menyebut nama ku. Tapi apa ini bisa disebut Cinta? Aku sama sekali tak ada sedikit pun pengalaman tentang perasaanku saat ini.
"Udah nunggu lama, Nar?" aku tersontak mendengar suara Lia.
"Ah, enggak, kok!"
Aku menggelengkan kepalaku menjawab kekhawatirannya. Sebenarnya, aku juga tak tahu apa aku sudah menunggu lama atau belum.
Dihadapanku saat ini, Lia memakai kemeja putih dilapisi blus berwarna biru dengan sentuhan rok selutut berwarna hitam. Apa dia suka sekali warna biru ya?
Hari ini, aku mengajak Lia jalan-jalan ke Taman Ria di pinggir kota ini. Jadi, kami harus pergi dulu ke Terminal bus yang menuju tempat itu.
Aku dengar bahwa taman tersebut cukup besar. Banyak orang yang membicarakannya, dan juga tak sedikit dari mereka yang menyerukan kata puas dan bahagia sepulang dari sana.
Terminal Bus disini, tak lah jauh untuk ditempuh dengan kaki. Jadi, tak terasa kami sudah sampai disana. Aku membeli tiket, lalu naik ke bus yang nomornya sama persis dengan tiket di tanganku.
"Disini, Lia duduknya.."
"Iya."aku memanggil Lia, menunjukkan bangku kami.
Bangku nya membuat sebagian besar tubuh kami bersentuhan. Aku merasa gugup, padahal aku sudah sering sedekat ini dengan Della.
Disertai kegugupan dan kecanggungan, bus Ini akhirnya pun berangkat. Lia duduk sangat dekat. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyentuh lenganku. Otakku sudah mulai berpikiran mesum, sial!
Saat bus mulai melaju, aku melirik Lia di sebelahku.
Dia diam. Seperti biasa. Matanya menatap ke luar jendela, mengikuti lampu-lampu jalan yang bergerak mundur. Seakan pikirannya sedang berkelana ke tempat yang lebih jauh daripada sekadar perjalanan ke taman ria.
Aku heran. Aku sudah sering jalan bareng Della—tapi bukan Della yang ini. Dulu, dia selalu ngobrol, selalu ada bahan buat dibahas. Tapi Lia? Diamnya justru seperti labirin yang sulit kutembus.
Apa dia menikmati perjalanan ini? Apa dia suka tempat yang akan kita datangi? Apa dia nyaman duduk di sebelahku?
Biasanya aku nggak pernah sepeduli ini sama apa yang dipikirkan cewek. Aku lebih sering berusaha kabur dari drama mereka. Tapi Lia beda. Aku ingin tahu. Aku ingin paham.
Aku ingin dia tersenyum.
Aku meliriknya. Jari-jarinya saling menggenggam di pangkuannya, wajahnya tetap mengarah ke luar jendela. Angin dari celah jendela meniup beberapa helai rambutnya, dan aku... entah kenapa, ingin merapikannya.
Aku mengerjap. Hei, kenapa aku sampai mikir begitu? Ini udah kedua kalinya aku kepikiran buat ngerapiin rambutnya. Yang pertama di kantin, dan sekarang di bus? ayolah.
Aku menghela napas, lalu berdeham, mencoba memecah keheningan. "Lia, kamu nggak bosan duduk diam aja?"
Lia menoleh sedikit. "Nggak, kok." Jawabannya singkat.
Oh.
Itu saja? Tidak ada keluhan? Tidak ada komentar sarkas? Tidak ada cerita tentang kucing tetangganya yang tiba-tiba hobi makan roti? Aku terbiasa mendengar cewek bicara tanpa henti, tapi dengan Lia, diamnya justru yang membuatku penasaran.
"Hmm," gumamku sambil menatap ke depan. "Kalau gitu, aku yang bosan."
Lia menatapku sekilas, lalu kembali menatap jendela.
Aku menenggelamkan diri dalam pikiranku lagi. Ini pertama kalinya aku memikirkan seorang cewek lebih dari sekadar "Ya udah." Dan aku nggak tahu apakah ini hal yang bagus atau malah berbahaya.
oOo
Aku menurunkan kaki kananku terlebih dahulu, saat itu juga sebuah lagu ceria menyambut kami.
'Wah' adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan tempat ini. Aku tidak tahu bahwa di kota ini memiliki tempat hiburan bisa dikatakan besar seperti ini.
Aku melirik ke samping dan melihat Lia melongo. Matanya berbinar, mulutnya sedikit terbuka. Manis sekali.
"Ayo, Lia!" aku mengajak Lia untuk mulai berjalan dan memasuki tempat ini.
"Ayo!" Lia kelihatan bersemangat.
Kami berjalan ke loket dan membayar tiketnya dan memasuki gerbang.
"Kira-kira kita naik wahana apa duluan?"
Aku merasa pilihanku bukanlah yang terbaik disini, jadi aku menanyakannya pada Lia. Benar-benar lelaki yang tak bisa diandalkan.
Lia memegang dagunya dan memasang wajah serius. Hei, ini bukan pemilihan kepala daerah, santai saja.
Sebuah suara gemuruh mengejutkan kami, aku mendongak mencari asal suara dan melihat wahana roller coaster sedang mengebut di atas sana. Jeritan dari penumpangnya seperti menjadi nada histeria antara takut dan senang.
Yah, kalau ini aku pikir Lia tidak akan mau—
"Yang ini aja, yuk!" Lia mengembangkan senyumannya.
oOo
Delapan kali.
DE-LA-PAN KALI, saudara-saudara sekalian!
Aku tidak tahu siapa insinyur gila yang menciptakan wahana ini, tapi aku bersumpah, aku ingin berdiskusi dengannya tentang batas kewarasan manusia.
"WHUUUEEEKK!!"
Lambungku resmi mengajukan pengunduran diri.
Lia menepuk-nepuk punggungku, ekspresinya antara iba dan bingung. "Danar, kamu kenapa nggak bilang kalau nggak kuat?"
Ah, pertanyaan yang bagus, Lia! Kenapa aku nggak bilang? Karena aku terlalu sibuk menikmati ekspresi sumringahmu, yang membuatku berpikir, "Ya Tuhan, aku harus melindungi senyuman ini!" Tapi sekarang, siapa yang melindungi kehormatanku yang sudah terkuras habis di depan anak-anak SD yang menatapku dengan jijik?
"A-aah, nggak apa-apa koOOOOEEEEKH!!!"
Mati aku.
Aku mengambil tisu yang Lia berikan dan menatapnya penuh keputusasaan. "Lia," suaraku bergetar. "Kamu ini apa? Alien? Kok nggak ada efek gravitasi di perutmu?"
Lia menatapku datar "Danar,"
"Lebay deh.."
Lebay? Lebay?! Perjuangan hidup dan mati ini kau sebut drama?! Sungguh, aku ingin menuntut taman ria ini atas penderitaan emosional yang mereka sebabkan.
oOo
Matahari mulai tenggelam, menyisakan langit jingga yang perlahan tertelan gelap. Kami menghabiskan minuman kami dan mulai menuju pusat Wahana Taman Ria.
Saat kami berjalan menuju tempat diadakannya Parade nanti, aku sudah melihat banyak orang yang berkumpul dari jauh.
"Wah, ramai banget!" Teriaku dengan nada sarkas.
Aku nggak suka keramaian, tapi entah kenapa kali ini rasanya berbeda.
Langit malam dipenuhi cahaya warna-warni. Parade berjalan, marching band mengiringi penari yang melenggok anggun. Suara tawa anak-anak menyatu dengan riuhnya kerumunan, tapi bagiku, hanya ada aku dan Lia di tengah semua itu.
Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya diterangi cahaya lentera dari kendaraan hias yang melintas, menciptakan bayangan lembut di kulitnya. Di matanya, kilau cahaya itu terpantul—redup tapi hidup, seperti bintang yang tenggelam dalam lautan gelap.
Aku jatuh cinta pada Lia.
Sekeras apa pun aku mencoba menghindar, ini adalah perasaan yang nyata dan tak bisa kupungkiri.
Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh, tapi malam ini, di tengah keramaian yang seakan memudar di latar belakang, semuanya menjadi jelas.
Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatan di antara jari-jari kami. Ia menoleh, sedikit terkejut.
"Lia..." Suaraku bergetar. "Aku..."
Aku menarik napas dalam. Kata-kata ini terasa begitu besar, begitu penting. Aku ingin mengatakan ini dengan benar, dengan sejelas mungkin—sebelum aku kehilangan keberanian.
"Aku jatuh cin—"
"Jangan!"
Suara Lia melesat tajam, menghantamku lebih keras dari yang seharusnya.
Aku terdiam.
"Kumohon..." Suaranya melemah, seakan menahan sesuatu. "Jangan katakan itu, Danar."
Bahuku merosot, kehilangan tenaga. Jadi ini yang dirasakan Kak Andi saat ditolak Della, ya?
Dadaku seolah diremas dari dalam, menciptakan lubang kosong yang perlahan melebar. Aku terpaku. Udara mendadak terasa berat. Parade di sekitar kami terus berjalan, musik masih berdentum, lampu warna-warni masih bersinar. Tapi semuanya menjadi buram.
Kemudian aku melihat air mata mengalir di pipi Lia. Dia tersenyum di antara isakannya, entah karena lega atau karena sesuatu yang lain.
Aku mendengar suaranya lirih di tengah kebisingan malam ini.
"Terima kasih, Nar... Sepertinya permintaanku terkabul."
Dan lalu, tubuhnya melemas.
"Lia? Lia!? LIA!?"
xXx