Aku sangat panik dan langsung menghubungi Ibu-nya saat dia pingsan. Pada akhirnya, di sinilah kami—di kamar Della.
Di depanku, Lia tertidur pulas. Setidaknya begitu kata dokter yang memeriksanya tadi. Hanya saja, kekhawatiranku menahanku di kamar ini. Aku tak bisa keluar begitu saja.
Menatap wajahnya dalam diam, pikiranku kacau. Kejadian di taman ria tadi terlalu cepat, terlalu banyak hal yang tak kuduga. Aku bahkan belum sempat benar-benar memikirkannya.
Saat mencoba bangkit dari kursi di samping tempat tidur, mataku menangkap sebuah buku di rak milik Della.
Warnanya coklat muda, tampak menonjol ya karena tidak ada buku lain disana. Sampulnya bertuliskan The Vanishing Half karya Brit Bennett.
Della baca Novel?
Aku mengulurkan tangan, rasa penasaran menggerakkanku untuk mengambil buku itu. Tapi begitu jari-jariku menyentuh sampulnya—
"Ungh..."
Aku tersentak. Jantungku seolah berhenti berdetak sejenak. Refleks, aku merapatkan buku itu ke dadaku sebelum buru-buru menyembunyikannya di belakang punggung. Tanganku mencengkeram sampulnya erat, hampir meremasnya.
Aku menelan ludah, tubuhku tegang seketika. Napasku tercekat di tenggorokan saat suara serak itu kembali terdengar.
"E-eh, Lia!"
Lia mengerjapkan mata, lalu mengusap kepalanya yang mungkin masih terasa pusing.
"Danar? Ngapain di sini?" tanyanya dengan suara serak.
Tapi... ada sesuatu yang aneh.
Aku menatapnya lekat. Ada yang salah.
"Nar?" Lia menatapku heran.
Tatapan itu.
"Kamu kok diam gitu sih?"
Nada ceria itu.
"...D-Della?" Suaraku bergetar.
"Iya?" Della mengerutkan kening. "Ini kan kamar aku? Kamu ngapain di sini?"
Dunia seakan runtuh.
Aku mengerjap, tetapi pandanganku terasa kosong. Napasku tercekat, tubuhku membeku di tempat.
Della mencoba turun dari tempat tidur, matanya penuh kebingungan. Ia melangkah mendekat, tapi aku mundur, seolah dia adalah sesuatu yang harus kuhindari.
"Danar, kamu kenapa?"
Aku tak bisa. Aku tak bisa!
Aku berbalik dan berlari.
Kakiku menghentak lantai dengan kekuatan penuh. Napasku tersengal, pandanganku kabur. Air mata jatuh tanpa bisa kucegah, tapi aku terus mengusapnya, berharap semua ini hanya mimpi.
Aku berlari meninggalkan rumah Della, menembus malam menuju rumahku sendiri
Setibanya di rumah, aku nyaris menabrak ayahku yang memanggil namaku dengan khawatir. Tapi aku tak peduli. Aku naik ke kamarku, membanting pintu, lalu melempar tubuhku ke atas tempat tidur.
"Affph! AAAAAFFFFPPHHH!"
Aku menenggelamkan wajahku ke bantal, berteriak sekuat tenaga.
Dada ini... sesak.
Aku tak bisa berhenti menangis. Ini perasaan yang sama seperti saat aku harus berpisah dengan sahabatku dulu—saat aku dipaksa pindah rumah dan meninggalkan semuanya.
Tapi bukankah aku yang ingin ini terjadi? Bukankah aku yang berharap Lia pergi?
Aku jijik pada diriku sendiri. Munafik!
Malam itu, aku hanya bisa menangis, menyesali semuanya.
oOo
Bel istirahat menggema di seluruh sekolah. Koridor yang tadi sunyi kini penuh dengan siswa yang keluar dari kelas masing-masing.
Aku duduk diam di kursiku. Pagi tadi aku melewatkan sarapan, dan sekarang sudah jam makan siang, tapi perutku sama sekali tak merasa lapar. Aku hanya menyandarkan kepala di meja, seolah tak punya alasan untuk bergerak.
"Mau ngapain ya?"
Aku bangkit dan berjalan menuju pintu kelas, niatku hanya satu—keluar dari ruangan ini. Namun, tepat saat aku sampai di ambang pintu, seseorang menghadang jalanku.
"Danar—"
Aku tak menggubrisnya. Aku tetap berjalan melewatinya, seolah tak mendengar suara itu.
Tapi langkahku tertahan.
Seragamku ditarik.
Aku menoleh.
Della.
Jari-jarinya mencengkeram ujung bajuku dengan ragu. Tatapannya dipenuhi sesuatu yang sulit kugambarkan—seakan ada pertanyaan, harapan, sekaligus luka di sana. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dia menggigit bibirnya, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin dia katakan, atau mungkin sesuatu yang ingin dia tahan agar tak tumpah keluar—air matanya.
Aku menggertakkan gigi, menghindari tatapannya. Beberapa minggu ini aku berusaha menghindar darinya. Aku tak berani bertemu matanya. Aku tak mau menghadapi rasa bersalah yang membakar dadaku setiap kali melihatnya.
"Danar..."
Suaranya lirih, bergetar.
Aku masih tak menatapnya.
"Tahun baru ini, aku akan menunggumu di tempat kita dulu."
Setelah berkata demikian, genggamannya melemah. Jari-jarinya perlahan terlepas dari bajuku, seakan kehilangan tenaga. Dia menunduk sebentar, sebelum akhirnya berbalik dan berlari pergi.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, langkahnya tergesa, tapi bahunya sedikit bergetar.
Dan aku tetap di tempat.
Rasa bersalah ini... membunuhku perlahan.
"...Maaf, Della."
Tapi aku tetap melangkah pergi.
oOo
Televisi penuh dengan berita tentang tahun baru. Alun-alun kota sudah dipenuhi orang yang menunggu hitung mundur pergantian tahun, kembang api siap menghiasi langit malam.
Aku menghela napas, lalu melempar ponselku ke atas bantal.
Tatapanku teralihkan ke meja belajar. Lebih tepatnya, ke benda yang tergeletak di sana.
Sebuah buku.
Aku mengambilnya dengan ragu. Saat membukanya, sesuatu jatuh dari sela-sela halaman.
Secarik kertas merah muda.
"...?"
Kertas itu terlipat rapi. Ada tulisan di atasnya.
Aku membuka lipatannya, lalu mulai membaca.
oOo
Disebuah bukit, rumput menjulang tinggi di setiap sudutnya. Ketika terik matahari mendominasi wilayah itu, sebuah pohon besar menjadi pusat keteduhan. Angin yang berhembus sesekali membuat dedaunan pohon tersebut seakan sedang menari.
Di bawah pohon itu, seorang anak kecil membenamkan wajahnya di lengan, bahunya terguncang oleh isakan yang tertahan. Sesekali, ia menyusut hidung dengan lengan bajunya, tapi air matanya terus mengalir.
"Lia... hiks, hiks..."
"Hey!"
Anak perempuan itu mendongak, matanya merah dan bengkak. Di depannya, seorang anak laki-laki berdiri dengan kepala sedikit miring, ekspresinya bingung tapi penasaran. Pipinya tertempel plester luka, rambutnya dipotong sangat pendek. Ia hanya mengenakan singlet dan celana pendek warna krim, sementara di tangannya tergenggam sebuah jaring.
"Kenapa nangis? Kamu sakit perut?" tanyanya polos.
Anak perempuan itu tidak menjawab, hanya menunduk lebih dalam. Bahunya sedikit bergetar, menunjukkan bahwa tangisnya belum sepenuhnya reda.
Anak laki-laki itu menggaruk kepalanya. Ia merasa tidak enak, tapi juga tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada yang pernah mengajarkannya cara menghibur seseorang. Jadi, pada akhirnya, ia hanya duduk di sebelahnya, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka.
Beberapa menit berlalu. Angin menerpa lembut, membawa aroma rumput yang mulai mengering. Perlahan-lahan, isakan anak perempuan itu mereda. Ia tidak menangis lagi, meski sisa air mata masih menggantung di sudut matanya.
"Kamu mau ikut nyari capung nggak?" Anak laki-laki itu akhirnya membuka suara. "Asik, loh!"
Ia merogoh kantong plastik dan mengeluarkan seekor capung. Capung itu mengepakkan sayapnya panik, tapi tidak bisa terbang karena ekornya diikat benang tipis.
"Hebat, kan?" Anak laki-laki itu mengangkat capung itu lebih tinggi, berusaha membuat anak perempuan itu tertarik.
Dan ternyata berhasil. Anak perempuan itu akhirnya mengangkat wajahnya sedikit, menatap capung itu dengan dahi mengernyit.
"Jahat banget, sih..." suaranya lirih, tetapi kali ini tidak bergetar karena tangisan.
Sebelum anak laki-laki itu bisa menjawab, anak perempuan itu meraih ujung benangnya dan melepaskan ikatannya.
"OY!"
Terlambat. Capung itu sudah terbang bebas, meninggalkan mereka berdua.
"AAAAAAAA— CASTANYOOOOO...!!"
Anak laki-laki itu menurunkan bahunya lesu. Sementara itu, anak perempuan di sebelahnya—yang tadinya menangis tersedu—sekarang sedang menahan tawa.
"Castanyo? Hihihi..."
"Memangnya kenapa? Nama itu keren, kan!"
"Hihihi, nggak banget... hahaha!"
Tawanya jernih, tanpa beban. Anak laki-laki itu tertegun, lalu tanpa sadar ikut tersenyum kecil.
Lalu, tiba-tiba—
"Lia..." Anak perempuan itu menghela napas, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. "Adikku meninggal..."
Anak laki-laki itu membeku. Ia tidak benar-benar mengerti arti kehilangan, tetapi melihat ekspresi anak perempuan itu, ia tahu satu hal: kesedihan itu nyata.
Perlahan, ia mengulurkan tangan, menepuk kepala anak perempuan itu dengan ragu. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan, jadi ia hanya diam.
Sentuhan hangat itu membuat anak perempuan itu tertegun. Dadanya masih sesak, tetapi entah kenapa, hatinya terasa sedikit lebih ringan.
"Aku nggak ngerti rasanya punya adik..." gumam anak laki-laki itu, masih menepuk pelan kepala anak perempuan itu. "Tapi aku ngerti rasanya kesepian."
Mata mereka bertemu. Sejenak, tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan.
Lalu, dengan suara lebih tenang, anak laki-laki itu berkata, "Namaku Danar."
Anak perempuan itu mengusap sisa air matanya dengan punggung tangan.
"Na-namaku Della."
xXx