Della,
Ketika kamu membacanya, berarti kamu sudah kembali.
Maafkan aku, seharusnya aku tidak pernah ada di sini. Kamu pasti marah kepadaku. Aku pun marah pada diriku sendiri. Aku tidak seharusnya mengambil tempatmu. Aku tidak seharusnya kembali ke dalam tubuh yang bukan milikku.
Namun aku tahu sesuatu yang lain, Della. Aku tahu perasaanmu. Aku bisa merasakannya. Aku bisa melihatnya dalam potongan-potongan ingatan yang kau tinggalkan. Aku tahu bagaimana kau memandangnya, bagaimana tawanya membuatmu lupa pada hal-hal lain, bagaimana satu tatapan darinya bisa mengubah harimu. Aku tahu kamu jatuh cinta pada Danar. Aku bisa merasakannya begitu kuat, seakan-akan perasaan itu ada dalam diriku.
Tapi apakah ini benar-benar milikku? Atau hanya milikmu yang tersisa di tubuh ini?
Aku ingin tahu rasanya jatuh cinta, seperti yang kau rasakan. Aku ingin tahu apakah ketika aku melihat Danar, aku melihatnya karena aku menginginkannya... atau karena kau yang menginginkannya. Aku ingin tahu apakah jantungku berdegup karena aku sendiri, atau karena kenangan yang kamu tinggalkan.
Terima kasih, Della, karena telah membiarkan aku merasakan ini—walaupun hanya sebentar.
Sampaikan salamku untuk Ibu ya, tanpa pengertiannya, aku tak mungkin bisa bertahan dalam keadaan seperti ini.
Salam cintaku untuk kalian.
Adelia Amriza
oOo
Aku berlari.
Udara malam yang dingin menyapu wajahku, tapi aku tidak peduli. Kaki-kakiku melangkah tanpa henti, melewati jalanan yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang temaram. Nafasku memburu, tapi aku tak memperlambat langkah. Aku harus sampai di sana sebelum semuanya terlambat.
Di tempat pertama kali aku bertemu dengannya.
Tanganku masih menggenggam erat secarik kertas yang tadi kutemukan. Surat yang Lia tinggalkan di dalam buku di kamar Della. Aku sudah membacanya berulang kali di sepanjang perjalanan, tapi kata-kata di dalamnya masih menusuk ke dalam dada.
Aku menahan napas. Jemariku secara refleks meremas kertas itu, seolah-olah aku bisa menangkap sisa-sisa kehadirannya di sana. Mataku membaca ulang bagian yang sama berulang kali, berharap ada kata-kata tersembunyi yang bisa memberiku jawaban.
Lia... Apa yang sebenarnya kau rasakan?
Aku tiba di taman itu. Masih sama seperti dulu. Bangku besi tua yang berkarat, lampu-lampu kecil yang menggantung di pepohonan, dan suasana lengang yang terasa menenangkan sekaligus menyakitkan. Tapi ada satu hal yang berbeda.
Della ada di sana.
Dia berdiri di tengah lapangan terbuka, menatap ke atas seolah menunggu sesuatu. Aku melangkah mendekat, tapi dia menyadari kehadiranku sebelum aku sempat memanggil namanya.
Aku terdiam. Ada ribuan pertanyaan yang ingin kutanyakan, tapi semuanya mengendap di tenggorokan. Jadi aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berteriak.
"Aku mencintaimu, Lia!"
Suaraku menggema di udara malam. Kata-kata yang selama ini tertahan akhirnya terucap. Aku tidak peduli siapa yang mendengar, tidak peduli jika semuanya sudah terlambat. Aku hanya ingin dia tahu.
Tapi tepat saat itu, langit malam meledak dengan cahaya.
Kembang api tahun baru menyala di atas kepala kami, menciptakan warna-warna cerah yang memenuhi langit. Suara ledakannya memekakkan telinga, menelan teriakanku dalam hiruk-pikuk perayaan. Aku tidak tahu apakah Della mendengarnya atau tidak. Aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas di bawah cahaya yang berkedip-kedip.
Namun saat aku menatapnya, ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang hangat. Sesuatu yang membuat dadaku sesak.
Della tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatapku, lama, dengan sorot mata yang sulit diartikan. Aku menunggu, berharap ada jawaban, berharap ada sesuatu yang bisa meyakinkanku bahwa perasaanku telah sampai padanya.
Meskipun saat ini yang berdiri di depanku adalah Della, apakah Lia bisa mendengarnya?
Aku tersenyum, membiarkan cahaya kembang api menyelimuti kami, membiarkan perasaanku melayang di antara suara ledakan dan gemuruh perayaan. Malam ini, akhirnya aku bisa mengatakannya. Akhirnya aku bisa melepaskan perasaan ini.
Aku tidak tahu apakah segalanya akan berubah setelah ini.
Tapi untuk saat ini, itu cukup.
oOo
Angin Sore berembus lembut, menerpa wajahku saat aku duduk di bangku taman sekolah. Di sini, di tempat yang dulu penuh dengan tawa dan cerita-cerita konyol, semuanya terasa berbeda. Tidak ada lagi pertanyaan yang menggantung di udara, tapi juga tidak ada jawaban yang benar-benar tuntas. Hanya keheningan yang menemani.
Della duduk di sebelahku, menggoyangkan kakinya pelan. Seperti biasa, dia selalu punya sesuatu untuk diceritakan—tentang pertandingan basket yang dia tonton, tentang teman-teman di sekolah, atau sekadar keluhan tentang tugas yang terlalu banyak. Aku mendengarkan, sesekali menanggapi, tapi ada sesuatu yang tetap tinggal di antara kami, sesuatu yang tak bisa lagi diucapkan.
Aku menatap langit. Cahaya lampu taman menciptakan bayangan samar di tanah, dan untuk sesaat, aku berpikir tentang kembang api malam itu. Tentang suara yang menelan suaraku. Tentang kata-kata yang tersampaikan.
Tapi mungkin... itu tidak masalah.
Aku menoleh ke arah Della. Dia masih sama—cerah, penuh semangat, dan selalu bisa membuatku tertawa dengan caranya sendiri. Kami kembali seperti dulu. Tidak ada yang berubah—atau mungkin, segalanya sudah berubah, hanya saja kami membiarkannya tetap begitu.
Sesaat, di tengah obrolan tentang tugas sekolah dan drama anak-anak kelas sebelah, Della melakukan sesuatu. Hal kecil, hampir tidak kentara. Ia mengangkat tangannya dan menyelipkan rambut di belakang telinga—bukan dengan cara tergesa-gesa seperti biasanya, melainkan dengan gerakan yang lebih lambat, lebih lembut.
Aku tidak bilang apa-apa. Tidak bertanya. Tidak mengomentari.
Cuma terdiam, membiarkan kenangan itu tetap di sana, di antara kami, tanpa perlu diucapkan lagi. Seperti cahaya kecil yang masih menyala di sudut gelap kenangan.
Aku menghela napas, lalu tersenyum kecil. Hidup tidak selalu memberikan akhir yang sempurna, dan aku sudah belajar menerima itu.
Tidak semua perasaan harus memiliki jawaban. Tidak semua kisah harus memiliki akhir yang mutlak.
Dan bagiku, itu tidak apa-apa.
SELESAI