Pembunuhan di gang sempit

Asap rokok membumbung perlahan, menghilang di udara malam Jakarta yang lembap. Udara dipenuhi bau amis darah, menyelusup ke dalam paru-paruku meskipun aku sudah berulang kali menyeka wajah dengan punggung tangan. Lampu neon redup dari toko kelontong di seberang gang hanya cukup menerangi sebagian tubuh yang tergeletak di genangan darahnya sendiri.

Seorang pria muda, berpakaian mahal namun berantakan, jasnya robek di beberapa tempat, basah oleh cairan yang kini menghitam. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau logam yang menyengat. Aku menatapnya tanpa emosi, mencerna pemandangan ini seperti seseorang yang menelaah teka-teki yang telah lama ia pecahkan namun tetap menyimpan kejutan.

Di dekat tangannya, sebuah kartu nama tergeletak rapi—bersih dari darah, seolah diletakkan dengan sengaja. Aku tidak perlu membungkuk untuk membaca namanya. Adrianus Wijaya.

Nama yang tidak asing. Pemilik beberapa klub malam kelas atas di kota ini, dengan hubungan yang terlalu dekat dengan polisi-polisi tertentu serta politisi yang gemar menyembunyikan rahasia mereka. Jika seseorang seperti dia menemui ajal di gang sempit seperti ini, maka kejadian ini bukan sekadar kebetulan. Ini sebuah pesan.

Farah, jurnalis investigatif yang sering kali lebih berani dari yang seharusnya, sibuk mengabadikan tempat kejadian perkara dengan kameranya. Dia mengerutkan kening, tidak menyukai apa yang dilihatnya. Nia, rekannya yang lebih metodis, mencatat detail dengan tenang, menyaring informasi seperti seorang analis forensik yang terlalu sering melihat kematian.

Aku menarik napas panjang, asap rokok kembali mengepul, sesaat menutupi bau darah yang menempel di udara. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Ini bukan pembunuhan impulsif. Luka di tubuh korban berbicara banyak—tajam, presisi, mematikan. Orang yang melakukan ini tahu apa yang ia lakukan.

Aku, Leonard Mahesa, mantan detektif kepolisian yang kini menjalani hidup sebagai detektif swasta—atau lebih tepatnya, pemburu bayangan bagi mereka yang mampu membayar dengan harga dan informasi yang cukup berharga—menatap tubuh itu dengan ekspresi datar. Kehilangan pekerjaanku di kepolisian bukanlah pilihan, tetapi sebuah konsekuensi dari langkah yang kuambil. Mengungkap kebobrokan di dalam sistem berarti menggali kuburan sendiri. Kini, aku hanya percaya pada bukti dan logika.

Farah dan Nia, meskipun berbeda dalam pendekatan mereka, memiliki satu kesamaan denganku—mereka tidak bisa diam menghadapi sesuatu yang salah. Dalam banyak hal, mereka adalah paradoks. Aku melihat dunia dalam hitam dan putih. Mereka melihat abu-abu yang tidak bisa ku abaikan.

Namun, malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik kejadian ini—sebuah permainan yang lebih besar dari sekadar bisnis kotor Adrianus. Ini lebih dalam, lebih berbahaya. Jika ada keterlibatan oknum polisi dan politisi, maka ini bukan hanya pembunuhan biasa, melainkan potongan dari sesuatu yang lebih luas dan sistematis.

Aku berjongkok, meneliti luka di tubuh korban, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin terlewat oleh polisi yang akan segera datang. Dalam pikiranku, ada teka-teki lain yang tak kalah pentingnya. Sebuah kasus yang lebih pribadi. Sebuah bayangan yang terus mengikuti ku ke mana pun aku pergi.

Dan seperti biasa, instingku memberitahuku satu hal: ini baru permulaan.

···

Bau anyir darah perlahan memudar, tergantikan oleh aroma kopi basi yang menguar dari warung kaki lima di seberang jalan. Sirene polisi telah lama padam, menyisakan suara-suara samar dari petugas yang masih sibuk memasang garis kuning dan melafalkan klise investigasi mereka.

Aku menyerahkan kartu namaku pada salah satu petugas—bukan karena aku berharap mereka akan menghubungiku, tetapi lebih sebagai formalitas yang membosankan. Farah dan Nia sudah pergi lebih dulu, mencari informasi tambahan dengan cara mereka masing-masing. Aku, di sisi lain, lebih suka berjalan sendirian, mencerna setiap detail yang telah kutemukan.

Langkahku menyusuri gang sempit yang nyaris tak tersentuh cahaya, pikiranku masih bergelayut pada satu hal—kartu nama Adrianus yang diletakkan dengan sengaja. Tindakan seperti itu bukan sekadar kebetulan. Itu semacam tanda tangan dari si pelaku, pesan yang ditinggalkan untuk seseorang yang cukup cermat untuk menyadarinya. Pertanyaannya adalah,untuk siapa pesan itu sebenarnya?

Aku menarik sebatang rokok, menyalakannya dengan gerakan terlatih. Asap pertama terasa hangat di tenggorokan, memberikan sejenak ketenangan dalam malam yang terasa terlalu penuh teka-teki. Gang ini... terasa familiar. Ada sesuatu dalam kegelapannya yang memicu kenangan samar di benakku—sesuatu yang belum bisa kupastikan, seolah-olah ingatan itu mengintip dari balik tirai, menunggu waktu yang tepat untuk muncul sepenuhnya.

Sebelum aku bisa mengkajinya lebih jauh, sesuatu menggeliat di kakiku.

Refleks, aku berhenti. Nyaris saja menginjaknya.

Seekor kucing.

Bukan sembarang kucing—seekor kucing gemuk dengan bulu hitam pekat dan mata hijau menyala, menatapku dengan intensitas yang tak lazim. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sesuatu yang hampir...menilai. Aku mengangkat alis, memperhatikan makhluk kecil itu. Ia menggeram pelan sebelum menggesekkan tubuhnya ke kakiku, seolah menuntut perhatian.

Aku bukan pencinta hewan. Terlalu tidak terprediksi. Mereka bergerak tanpa pola yang jelas, mengikuti naluri yang tidak bisa dihitung dengan logika. Namun, kucing ini berbeda. Ada kecerdasan dalam matanya, seolah-olah ia memahami lebih banyak daripada yang seharusnya.

Lalu ia melakukan sesuatu yang lebih aneh lagi.

Kucing itu menoleh, menunjuk dengan moncongnya ke arah sebuah kantong plastik kusut yang tergeletak di sudut gang. Sekilas, kantong itu tak berbeda dari tumpukan sampah lainnya. Namun, sesuatu di dalamnya bergerak pelan, menciptakan ilusi samar di bawah cahaya neon yang redup.

Aku menghela napas, setengah bertanya-tanya apakah aku benar-benar membiarkan diriku dipandu oleh seekor kucing. Tapi naluri detektifku lebih kuat daripada keenggananku. Aku mendekati kantong itu, lalu dengan hati-hati membukanya.

Di dalamnya, terbungkus dalam kertas koran yang sudah menguning, terdapat sebuah kalung emas.

Bukan kalung biasa.

Liontin di ujungnya berbentuk kepala singa kecil, dengan mata yang terbuat dari batu ruby yang berkilauan dalam redupnya cahaya gang. Benda ini mahal, jelas bukan barang yang biasa ditemukan dalam tumpukan sampah.

Aku menatap kalung itu beberapa saat, membiarkan pikiranku menyusun kemungkinan-kemungkinan.

Di kakiku, kucing itu mengeong pelan. Hampir seperti sebuah peringatan.

Aku menghela napas, memasukkan kalung itu ke dalam sakuku. Petunjuk? Atau sekadar kebetulan? Entahlah.

Aku berjongkok, menatap kucing itu lekat-lekat.

"Kau mau apa sebenarnya?" tanyaku, separuh bercanda.

Si kucing hanya mendengkur, tampak puas, lalu dengan lompatan ringan, ia menghilang ke atas tembok dan lenyap dalam kegelapan.

Aku menghisap rokokku sekali lagi, membiarkan asapnya membaur dengan udara malam yang dingin. Jari-jariku meraba kalung di saku jas. Sesuatu terasa semakin janggal.

Dan aku menyukainya.

···

Aku duduk di bar favoritku—tempat yang remang-remang dan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk kota. Sebotol wiski setengah kosong tergeletak di meja, menemani pikiranku yang berputar-putar di antara kalung emas aneh itu dan kasus Adrianus. Asap rokok melingkar di udara, menyatu dengan aroma alkohol dan kayu tua yang lembap.

Farah masuk, wajahnya sedikit pucat, tapi sorot matanya penuh gairah. Itu pertanda dia menemukan sesuatu. Nia tidak datang, katanya ada urusan mendesak.

"Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku tak suka basa-basi, dan Farah tahu itu.

Dia menarik kursinya lebih dekat, meletakkan sebuah amplop cokelat tua di atas meja. "Aku menemukan ini di kantor lamaku. Tersembunyi di laci meja tua yang hampir dibuang."

Aku mengambil amplop itu, meraba teksturnya yang kasar. Tidak ada nama pengirim, tidak ada alamat. Hanya sebuah amplop kosong.

"Kosong?" tanyaku, menaikkan sebelah alis.

Farah mengangguk, suaranya sedikit bergetar. "Tidak sepenuhnya. Ada sesuatu yang ditulis di bagian dalam lipatannya, dengan tinta yang hampir tak terlihat. Aku harus pakai lampu UV untuk membacanya."

Dia mengeluarkan lampu UV kecil dari tasnya, menyorotkan ke bagian dalam lipatan amplop. Huruf-huruf samar muncul perlahan, membentuk satu kalimat:

"Jangan percaya siapa pun. Mereka semua terlibat."

Aku mengernyit. "Siapa 'mereka'? Dan siapa yang menulis ini?"

Farah menunduk, wajahnya semakin pucat. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya hampir berbisik, "Pesan ini dari ayahku."

Aku terdiam. Ayah Farah—seorang jaksa. Pria yang dikenal jujur dan berintegritas tinggi. Atau setidaknya, itulah yang selama ini kukira.

"Ayahmu… dia terlibat?" tanyaku, suaraku lebih lembut dari biasanya.

Farah menggeleng. Air matanya menggenang. "Bukan. Tapi dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat berbahaya. Dia menyelidiki jaringan korupsi yang lebih besar daripada yang kita bayangkan. Dan dia hampir berhasil mengungkapnya sebelum…"

Suaranya terputus. Isak kecil lolos dari bibirnya. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan.

"Sebelum mereka membunuhnya," lanjutnya lirih. "Mereka membuatnya terlihat seperti kecelakaan, tapi ini bukan kecelakaan. Ini pembunuhan yang disamarkan."

Keheningan menyelimuti kami. Alunan jazz pelan mengalir dari pengeras suara, menyatu dengan aroma wiski dan asap rokok. Aku menatap kalung emas di sakuku, pesan kematian Adrianus, dan sekarang, rahasia Farah.

Potongan-potongan ini mulai menyatu.

Dan aku sadar—ini lebih besar dari yang kupikirkan.