Ombak dan Bayangan

Aku berjalan sendirian di tepi pantai. Ombak menerjang karang, suaranya seharusnya menenangkan—atau setidaknya, mencoba menenangkan. Angin malam membawa aroma garam dan kelembapan laut, namun tak cukup kuat untuk menghapus ketegangan yang menggelayut di dadaku.

Kalung emas itu masih ada di sakuku. Terasa berat, seolah bukan sekadar perhiasan, melainkan beban dari sebuah rahasia yang terlalu besar. Aku mengingat pesan dari ayah Farah, peringatan samar tentang jaringan korupsi yang lebih luas dari yang bisa kami bayangkan.

Aku harus jujur. Aku takut.

Bukan takut mati—kematian adalah konsekuensi yang sudah kukenal baik dalam pekerjaanku. Yang kutakutkan adalah gagal. Gagal melindungi Farah, gagal melindungi Nia. Bahkan mungkin, gagal melindungi diriku sendiri dari pusaran kegelapan ini.

Aku menyulut sebatang rokok, menarik napas dalam-dalam, membiarkan asapnya membumbung tinggi, mengikuti arah angin. Dalam bayangan pikiranku, kasus-kasus lama bermunculan. Wajah-wajah licik orang-orang yang lolos dari jeratan hukum, senyum sinis mereka yang seolah mengejek ketidakberdayaanku. Aku pernah gagal sebelumnya. Pernah kehilangan segalanya karena terlalu percaya pada sistem yang busuk.

Sekarang, dengan Farah dan Nia di sisiku, taruhannya jauh lebih besar.

Aku melirik ke laut, menatap luasnya samudra yang gelap dan misterius. Kekuatan yang kita lawan bukan sekadar sekelompok orang jahat. Mereka adalah sistem. Mereka memiliki kuasa, uang, dan kendali atas hukum itu sendiri. Mereka bermain dengan aturan mereka sendiri—aturan yang tak mengenal keadilan.

Dan kita?

Kita hanyalah tiga orang yang berusaha melawan arus.

Ketakutanku bukan soal mati. Tapi gagal. Gagal melindungi mereka yang mempercayaiku. Gagal memastikan kebenaran masih memiliki tempat di dunia yang penuh kebusukan ini.

Aku menghela napas panjang, membiarkan asap rokok terakhir larut dalam angin malam.

Malam ini, aku tidak mendapatkan jawaban. Hanya lebih banyak pertanyaan.

Dan semakin dalam aku melangkah, semakin jelas bahwa tak ada jalan untuk kembali.

···

Aku memadamkan rokokku, membiarkan abu terakhir jatuh ke pasir. Laut tetap berdebur, ritmenya monoton dan menenangkan—setidaknya lebih menenangkan dibandingkan kekacauan dalam pikiranku. Aroma garam dan udara malam sedikit membantu menjernihkan kepala, tetapi bayangan wajah Adrianus yang pucat masih menghantui. Dan kemudian, ada sesuatu yang janggal.

Farah. Seharusnya dia sudah menelepon. Biasanya, dia akan membombardirku dengan teori konspirasi yang liar tapi sering kali berguna. Hari ini, sunyi. Terlalu sunyi.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan tak terjawab. Ini bukan kebiasaan Farah. Dia selalu memberi kabar.

Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru terdengar dari belakang. Aku berbalik, waspada. Nia. Tapi ada yang salah.

Dia tidak hanya sekadar pucat—ada sesuatu yang lebih dalam. Matanya bengkak dan merah, seolah baru menangis. Napasnya pendek dan tak beraturan. Aku mengamati lebih dekat. Tangannya mengepal, tapi jari telunjuknya bergerak resah—tanda bahwa dia sedang menahan sesuatu. Sepatu botnya, biasanya bersih, kini ternoda pasir hingga ke ujung sol. Dia berlari sebelum sampai ke sini. Tapi dari mana? Dan mengapa?

"Nia?" tanyaku, suaraku serak.

Dia ragu-ragu. Itu bukan Nia yang kukenal. Biasanya, dia langsung berbicara, tanpa filter, tanpa ragu.

Akhirnya, dia menggelengkan kepala, air matanya jatuh. "Maaf, Leo," bisiknya. "Aku… aku tidak bisa memberitahumu."

Aku merasakan sesuatu yang dingin menjalar ke tulang punggungku. Instingku berteriak.

"Memberitahuku apa?" tanyaku, suaraku nyaris datar.

Dia mengambil napas dalam-dalam, seolah sedang mencari keberanian. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, dia berkata, "Aku… aku telah memberikan informasi kepada mereka."

Dunia seakan berhenti berputar sejenak. Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh konsekuensi.

Aku menatapnya, memperhatikan setiap detil yang bisa memberi petunjuk. Bahunya sedikit bergetar, tapi dia tidak mundur. Dia tidak berbohong—setidaknya, bukan dalam arti yang biasa. Tapi ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Kepada siapa, Nia?"

Isakannya semakin keras. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, suaranya teredam. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi," katanya. "Aku hanya… takut."

Takut? Aku ingin bertanya lebih jauh, tetapi aku tahu percuma. Aku pernah melihat ekspresi itu sebelumnya—wajah seseorang yang baru saja melewati batas yang tidak bisa mereka tarik kembali.

Angin laut bertiup lebih dingin. Aku tidak tahu siapa yang bisa dipercaya sekarang. Kegelapan yang melingkupi kami bukan sekadar metafora—ia nyata, ia hidup, dan ia semakin mendekat.

···

Keheningan di antara kami begitu berat hingga rasanya bisa dihancurkan dengan peluru. Bau asin laut tak lagi mampu menyamarkan aroma ketakutan yang memenuhi udara. Nia masih terisak, tubuhnya gemetar. Aku menatapnya, mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang baru saja dilemparkan ke pangkuanku.

Informasi yang ia berikan… kepada siapa? Dan mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, menghantam seperti ombak yang memecah karang.

Perlahan, isak tangisnya mereda. Ia mengangkat wajahnya, matanya sembab dan merah. "Mereka… mereka mengancam Farah," bisiknya, suaranya bergetar. "Jika aku tidak memberikan informasi yang mereka inginkan, mereka akan menyakitinya."

Tegang. Aku bisa merasakan rahangku mengeras. Ancaman terhadap Farah adalah sesuatu yang tidak bisa ditoleransi. Aku menggertakkan gigi. "Apa yang mereka inginkan?" tanyaku, menjaga nada suaraku tetap tenang meski di dalam dadaku, amarah mulai menyala.

Nia mengulurkan sebuah amplop kecil, tangannya masih gemetar. "Ini… ini yang mereka minta aku serahkan," katanya, suaranya hampir lenyap ditelan suara ombak. "Mereka ingin bukti tambahan… bukti yang bisa menghancurkan seluruh jaringan ini."

Aku mengambil amplop itu. Kertasnya kasar di jari-jariku, dingin seperti firasat buruk yang kini menjalar dalam tubuhku. Di dalamnya, hanya ada satu hal—sebuah foto.

Foto itu menunjukkan sebuah gudang tua. Bangunan usang, dengan dinding berkarat dan jendela yang ditutupi papan kayu. Di bawah foto, sebuah alamat tercetak dalam tinta merah pekat. Aku mengenali lokasi itu. Daerah kumuh yang lebih sering menjadi kuburan bagi mereka yang tahu terlalu banyak.

"Mereka ingin aku mencuri sesuatu dari sana," Nia melanjutkan, suaranya semakin pelan, hampir seperti berbisik. "Sebuah dokumen. Mereka bilang… itu bukti yang paling kuat. Bukti yang bisa meruntuhkan semuanya."

Aku menatap foto itu lama. Lalu menatap Nia.

Gudang itu bukan sekadar bangunan tua. Itu adalah jebakan. Itu adalah sarang ular, tempat di mana satu langkah yang salah bisa berarti peluru bersarang di kepalamu. Ini bukan hanya tugas sulit—ini nyaris mustahil.

Orang-orang yang ku lawan bukan preman jalanan biasa. Mereka adalah bayangan yang menyusup ke setiap celah kekuasaan, orang-orang yang bermain di balik layar hukum. Jika mereka menginginkan dokumen ini, maka itu berarti satu hal:

Mereka takut.

Dan aku bisa memanfaatkan ketakutan itu.

Aku menutup amplopnya, memasukkannya ke dalam saku mantelku. Langit malam terasa lebih kelam dari sebelumnya, dan aku tahu, begitu aku melangkah ke dalam permainan ini, tidak akan ada jalan untuk kembali.

"Baik," kataku akhirnya, suaraku lebih dingin dari angin laut yang menerpa wajahku. "Aku akan mengambil dokumen itu."

Nia menatapku, sorot matanya penuh rasa bersalah dan ketakutan. "Leo… ini bisa membunuhmu."

Aku mengeluarkan rokok dari sakuku, menyalakannya, lalu mengembuskan asap ke udara.

"Ini bukan pertama kalinya," kataku, setengah tersenyum. "Dan mungkin bukan yang terakhir."

···

Jalanan menuju gudang itu terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Hanya ada lampu jalan yang berkedip lemah dan bayangan yang bergerak di sudut-sudut gang. Bau busuk dari selokan terbuka bercampur dengan aroma debu dan karat. Nia tetap berjalan di sampingku, meski aku bisa merasakan gemetar halus di langkahnya.

Begitu kami tiba, gudang itu berdiri seperti raksasa yang sekarat—tua, bobrok, tapi masih menyimpan rahasia yang cukup berbahaya untuk membuat orang-orang seperti kami mati. Dari celah jendela yang pecah, aku bisa melihat cahaya samar. Ada orang di dalam.

Aku merogoh saku mantelku, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai memeriksa kunci dan kemungkinan jebakan. Jika mereka menyimpan dokumen ini di sini, pasti ada sesuatu yang mereka takutkan. Dan aku perlu tahu apa itu.

Tiba-tiba, Nia berbicara, suaranya masih bergetar tapi tegas.

"Leo," katanya. "Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau masuk dan ambil dokumen itu."

Aku berhenti. Menatapnya.

"Gila," desis ku. "Mereka bisa membunuhmu."

"Tapi kalau kita tetap di sini lebih lama, mereka pasti menangkap kita," balasnya cepat. Mata sembabnya kini penuh tekad. "Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara kau melakukan semuanya sendiri."

Aku ingin menolak. Tapi waktu terus berjalan, dan pilihan kami semakin sempit.

Sebelum aku sempat berkata apa pun, Nia sudah bergerak. Ia merogoh sesuatu dari sakunya—cermin kecil—dan memantulkan cahaya ke jendela gudang yang retak. Sekejap, bayangan di dalam bergerak, suara langkah kaki menggema.

Jebakan sederhana. Tapi cukup untuk memberi celah.

Aku mengepalkan rahangku.

Sial.

Dia benar-benar melakukannya.

Tidak ada waktu untuk ragu. Aku menarik napas, menyelinap ke sisi gedung, lalu mulai bekerja membuka kunci. Detik-detik terasa seperti abad. Di dalam, suara-suara mulai terdengar lebih keras. Mereka melihat sesuatu. Mungkin Nia.

Aku harus cepat.

Bukan hanya untuk menyelamatkan Farah. Tapi juga untuk memastikan Nia tidak mati di sini.

Dan jika mereka menyentuhnya—aku bersumpah, tidak akan ada satu pun dari mereka yang keluar dari tempat ini hidup-hidup.