Aku menekan daun pintu dengan perlahan. Engselnya berdecit samar, memecah keheningan yang terasa begitu tegang. Udara di dalam langsung menyergap ku—lembap, berdebu, dan diselimuti aroma logam yang familiar. Tidak sekadar bau karat. Ini lebih dalam, lebih pekat. Campuran besi dan sesuatu yang manis… darah yang sudah mengering.
Telingaku menangkap suara dari luar—teriakan Nia, samar tapi masih cukup untuk mengaburkan kebisingan di dalam gudang. Aku merendahkan tubuhku, menyalakan senter kecil. Cahaya putihnya merambat di antara tumpukan kardus yang nyaris roboh dan mesin-mesin berkarat yang tak lagi berguna. Jejak debu yang tidak merata di lantai menunjukkan bahwa seseorang telah berjalan melewati tempat ini belum lama ini.
Aku bergerak pelan, setiap langkah diperhitungkan. Sekarang, suara-suara itu lebih jelas—desisan, sesuatu yang menyeret, rintihan tertahan. Nafasku tertahan sejenak. Ini bukan suara acak. Ini suara seseorang yang berusaha tetap diam dalam kesakitan.
Di ujung lorong, aku menemukan pintu lain. Terkunci, tapi tidak sepenuhnya rapat. Aku menempelkan telinga. Hanya keheningan.
Dorongan pelan membuka celah yang cukup untuk menyorotkan senter ke dalam. Cahaya menangkap sesuatu di lantai—seonggok tubuh, tak bergerak. Seorang pria, tak kukenal. Pakaiannya berlumuran darah, tubuhnya penuh luka. Di sampingnya, ada pistol yang tergeletak begitu saja, seolah dibuang dalam keadaan panik.
Namun, bukan itu yang membuatku terdiam. Ada benda lain di dekat tangannya—sesuatu yang kecil, mengkilap di bawah sinar senter ku. Kalung emas bertahtakan ruby. Desainnya khas, familiar.
Aku mengingatnya.
Kalung yang sama yang kutemukan di gang sempit, yang diyakini milik Adrianus Wijaya.
Pikiran-pikiran berputar cepat di kepalaku, menyusun kepingan informasi seperti puzzle yang baru saja kehilangan potongan utamanya. Jika pria ini memiliki kalung itu, maka ada dua kemungkinan: dia pencurinya, atau seseorang memberikannya kepadanya. Dalam kedua skenario itu, dia berakhir dengan nasib yang sama—terkapar di sini.
Lalu, sebelum aku sempat menarik kesimpulan lebih jauh, pintu gudang terbuka.
Nia masuk, terhuyung-huyung. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya berlumuran darah. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku—melainkan tatapannya.
Mata itu, yang sebelumnya selalu dipenuhi ketakutan, kini kosong. Seperti kaca yang telah pecah. Seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa dunia tak lagi memiliki arti.
"Leo…" suaranya hanya bisikan, napasnya tersengal. "Farah…"
Dia mengangkat tangannya yang gemetar, menunjuk ke arah pintu.
Di ambang pintu itu, berdiri seorang pria tinggi besar. Wajahnya bengkak, rahangnya mengeras, dan matanya dipenuhi sesuatu yang lebih dari sekadar kemarahan—kebencian yang membara.
Di tangannya, sebuah pisau berkilauan di bawah cahaya remang.
Dan di tangan Nia… aku melihat sesuatu yang lain.
Foto.
Foto Farah.
Tercabik. Tersobek di beberapa bagian, seolah seseorang telah meremasnya dengan kemarahan yang tak terkendali sebelum memberikannya kembali kepada Nia—sebagai pengingat atau peringatan.
Aku menarik napas panjang. Sekarang, segalanya mulai menjadi jelas.
Dan aku tahu satu hal pasti: aku sudah masuk terlalu jauh.
···
Waktu seakan berhenti. Detik-detik terasa begitu panjang, setiap pergerakan seperti terperangkap dalam cairan kental yang tak terlihat. Aroma darah yang pekat memenuhi udara, menyatu dengan debu dan karat yang menusuk indera penciumanku. Pria besar itu tertawa—tawa yang kasar, serak, penuh kepuasan. Dia mengayunkan pisaunya, sudut pergerakannya mengarah ke kiri—bukan gerakan naluriah seorang pembunuh terlatih, melainkan seseorang yang terbiasa menggunakan kekuatan kasar daripada teknik.
Aku harus bertindak. Tapi tubuhku terasa tertahan, tidak oleh rasa takut, melainkan oleh ribuan perhitungan yang berseliweran di dalam pikiranku. Aku bisa menyerang langsung, tapi jarak dan sudutnya tidak menguntungkan ku. Aku bisa mencoba mengalihkan perhatiannya, tapi dengan kondisi Nia yang sudah lemah, itu terlalu berisiko.
Kemudian, sesuatu terjadi.
Seekor kucing hitam melompat dari kegelapan—bukan kebetulan, aku yakin itu. Gerakannya cepat, presisi. Cakarnya yang tajam menerjang wajah pria itu, menimbulkan luka cakar yang dalam. Pria itu menjerit dan melepaskan pisaunya. Refleksnya buruk—dia mengayunkan tangan untuk menyingkirkan kucing itu, bukan mundur untuk bertahan. Itu sudah cukup bagiku.
Aku bergerak. Gerakanku masih lebih lambat dari yang kuharapkan, tetapi cukup cepat untuk mengimbangi kekacauan yang terjadi. Aku menghantam rahangnya dengan satu tendangan—sederhana, efektif, dan cukup untuk membuatnya terhuyung. Kucing hitam itu, seolah memahami situasi, terus menyerang. Gigitannya kecil, tapi cukup untuk mengacaukan fokus pria itu.
Aku meraih pisau yang jatuh dan, dalam satu gerakan cepat, melumpuhkannya dengan teknik kuncian yang pernah ku pelajari di kepolisian. Perlawanan pria itu melemah. Nafasnya memburu, matanya penuh kebingungan dan kemarahan.
Hening.
Hanya tersisa suara napas berat kami bertiga. Kucing hitam itu duduk di samping Nia—tenang, seolah memastikan bahwa bahaya telah berlalu. Aku menatap Nia. Ekspresi di wajahnya berubah—kesedihan yang mendalam masih ada, tetapi ada sesuatu yang lain di sana. Seberkas harapan kecil yang hampir padam, kini menyala kembali.
Aku melirik kucing hitam itu. Keanehan ini terlalu sempurna untuk disebut kebetulan. Ini bukan sekadar binatang liar yang muncul entah dari mana. Ada pola di balik semua ini. Dan aku berniat mencari tahu.
···
Kami membawa Nia ke rumah sakit terdekat. Luka-lukanya cukup parah—memar di pelipisnya mulai membengkak, lecet-lecet di lengannya mengering dengan warna keunguan, dan napasnya masih tersengal. Namun, dokter memastikan bahwa kondisinya stabil. Aku duduk di samping tempat tidurnya, menunggu pemeriksaan selesai.
Kucing hitam itu? Entah ke mana dia pergi. Seperti bayangan, ia muncul tanpa aba-aba dan lenyap begitu saja.
Di ruangan rumah sakit yang sunyi, hanya terdengar dengungan mesin medis dan napas berat Nia. Sesekali dia meracau, menyebut nama Farah dengan suara patah yang nyaris tidak terdengar. Aku mencoba menghubungi Farah, tapi tak ada jawaban.
Ketika dokter akhirnya keluar dari ruangan, wajahnya serius. "Dia akan baik-baik saja," katanya. "Tapi dia butuh istirahat dan pengawasan."
Aku mengangguk. Seharusnya aku merasa lega, tapi perasaan itu hanya bertahan sekejap sebelum hawa dingin menyusup ke tengkukku.
Farah muncul di ambang pintu.
Dia tidak berlari ke arah Nia. Tidak bertanya apakah temannya baik-baik saja. Tidak—sebaliknya, dia berdiri diam, wajahnya menegang, tatapannya menusuk langsung ke arahku. Mata yang biasanya penuh kehangatan itu kini hanya berisi satu hal: kecurigaan.
"Leo." Suaranya datar, hampir tanpa emosi. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku."
Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Dia tidak menjawab. Hanya diam, mengamati. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, dia berkata pelan tapi tegas, "Kucing itu."
Aku mengedip, mencoba memahami arah pembicaraannya.
Farah menyilangkan tangan di dada. "Aku melihatnya di TKP sebelumnya. Selalu ada. Selalu muncul setelah sesuatu terjadi. Di dekat apartemen yang terbakar bulan lalu. Di lorong belakang tempat seorang informan terbunuh. Dan sekarang di gudang itu." Dia menarik napas, lalu melanjutkan, "Siapa dia sebenarnya? Dan apa hubunganmu dengannya?"
Aku tidak bisa menjawab.
Karena kenyataannya, aku juga tidak tahu.
Kucing hitam itu selalu muncul di saat yang tepat, selalu bertindak dengan cara yang terlalu terarah untuk disebut kebetulan. Aku telah mengabaikan pertanyaan itu sebelumnya, menerima kehadirannya sebagai bagian dari misteri yang suatu saat akan terungkap dengan sendirinya. Tapi Farah… dia melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Dan dia tidak salah.
Hanya saja, pertanyaannya—dan caranya menatapku dengan penuh keraguan—menimbulkan sesuatu yang lain di dalam diriku.
Kepercayaan yang telah kami bangun perlahan-lahan retak.
Aku tahu hubungan kami akan berubah sejak kasus ini dimulai. Aku hanya tidak menyangka bahwa pemicunya adalah seekor kucing hitam.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya-tanya… apakah aku benar-benar di pihak yang benar dalam semua ini?
···
Keheningan di ruang tunggu rumah sakit terasa mencekam. Bau disinfektan bercampur dengan aroma kopi basi yang ku teguk setengah cangkir. Farah masih menatapku dengan tatapan tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. Aku menghela napas, jariku mengetuk-ngetuk lighter di saku. Api kecil itu berkedip-kedip, seakan menari mengikuti ketegangan di ruangan.
"Jadi?" Farah akhirnya memecah keheningan, suaranya masih dingin seperti es batu. "Kau akan menjelaskan tentang kucing ajaibmu itu, atau aku harus menghubungi tabloid gosip?"
Aku nyaris tertawa. "Tabloid gosip? Kau serius?"
"Siapa tahu? Mungkin mereka tertarik dengan kisah detektif yang ditemani kucing mistis," sahutnya.
Aku mengangkat alis. "Kau tahu, untuk seorang jurnalis investigatif, kau cukup dramatis."
Farah menyipitkan mata. "Dan untuk seorang mantan detektif jenius, kau cukup… misterius." Dia menekankan kata 'misterius' dengan nada menyindir.
Aku mengangkat bahu, pura-pura acuh. "Aku lebih suka disebut 'enigmatis'," ujarku, mencoba meredakan suasana. "Lebih berkelas."
"Lebih sok," sahut Farah, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya.
Ketegangan sedikit mereda. Setidaknya, dari sisinya.
"Baiklah, baiklah," aku mengalah. "Aku akui, kucing itu aneh. Mungkin itu agen rahasia dari suatu organisasi hewan penyayang. Mereka melatih kucing untuk membantu penyelidikan. Super rahasia, tentu saja."
Farah tertawa kecil, suara tawanya terdengar renyah, membuyarkan ketegangan yang hampir mencekik. "Organisasi hewan penyayang? Leo, kau semakin kreatif. Atau mungkin itu kucing ajaib yang bisa bicara dan memberi petunjuk?"
Aku terkekeh. "Mungkin juga. Dia mungkin memberiku petunjuk lewat mimpinya. Dan aku menerjemahkannya lewat bahasa kucing."
Farah menggelengkan kepala, tapi senyumnya semakin lebar. "Kau harus menulis buku, Leo. 'Petualangan Detektif dan Kucing Ajaibnya'. Pasti laris manis."
Aku membayangkan sampul buku itu—diriku dalam jas trench coat, memegang cangkir kopi, dengan kucing hitam bertengger di bahu. "Ide bagus," kataku, "tapi aku lebih suka membuat filmnya. Aku akan jadi bintang utamanya, tentu saja."
Farah tertawa lepas kali ini, suara tawanya menggema di ruang tunggu yang sunyi.
"Kau ingin menjadi Humphrey Bogart versi lokal, ya?" katanya sambil menyeringai.
"Lebih seperti kombinasi antara Sherlock Holmes dan John Wick. Tapi dengan kucing," sahutku santai.
Farah menepuk dahinya. "Ya Tuhan, aku harus menyiapkan popcorn kalau itu benar-benar terjadi."
Tawa kami berdua memenuhi ruangan. Sejenak, kecurigaan dan ketegangan sirna, tergantikan oleh suasana yang lebih ringan. Tapi aku tahu, percakapan ini hanya selingan. Misteri kucing hitam itu, dan rahasia yang mungkin kusimpan, masih membayangi.