Suasana rumah sakit telah kembali tenang. Nia tertidur lelap, dibius oleh obat penenang yang diberikan dokter. Farah duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke luar jendela, pikirannya jelas masih dipenuhi kecurigaan dan pertanyaan yang belum terjawab. Aku sendiri tetap berada di kursi, menata ulang potongan informasi yang telah terkumpul.
Ada sesuatu yang tidak sesuai. Kalung ruby, pesan misterius dari Adrianus, dan kemunculan kucing hitam itu—semuanya tampak memiliki keterkaitan, namun ada satu celah yang mengganjal dalam keseluruhan teka-teki ini.
Aku membuka berkas laporan kepolisian terkait kematian Adrianus dan membaca kembali keterangan saksi. Detail kecil yang sebelumnya ku abaikan kini menarik perhatianku: sebuah catatan kaki di sudut halaman terakhir, hampir tak terlihat, tentang jam tangan yang dikenakan Adrianus.
Jam tangan itu bukan barang sembarangan—merek terkenal, model eksklusif, sesuatu yang tidak mungkin terlewat begitu saja oleh siapa pun yang memilikinya. Namun, menurut laporan saksi, jam tangan itu tidak ditemukan di lokasi kematiannya.
Aku menarik napas dalam, pikiranku mulai menyusun ulang alur kejadian.
Di gudang, mayat yang ditemukan mengenakan kalung ruby yang sama. Namun, yang lebih menarik, mayat itu masih memiliki sebuah jam tangan yang nyaris identik dengan milik Adrianus. Detail ini, yang tampaknya sepele, justru mengubah seluruh perspektif kasus ini.
Jika jam tangan Adrianus tidak ditemukan di tempat kejadian, tetapi ada pada mayat di gudang, maka ada dua kemungkinan yang paling logis:
1. Jasad yang ditemukan pertama kali bukanlah Adrianus. Seseorang telah mengatur agar kita percaya bahwa Adrianus telah mati, sementara ia mungkin masih hidup—atau setidaknya, nasibnya masih belum pasti.
2. Jasad di gudang adalah milik Adrianus, dan lokasi penemuan pertama hanyalah bagian dari skenario yang disusun untuk mengalihkan penyelidikan. Jika ini benar, maka ada pihak yang ingin memanipulasi jalannya investigasi, menyesatkan kita dengan menanamkan petunjuk yang keliru.
Aku mengetuk jemariku di atas berkas, merenungkan kemungkinan-kemungkinan ini.
Kalung ruby, pesan terakhir dari Adrianus, kucing hitam yang muncul entah dari mana, dan sekarang, jam tangan ini—semuanya memiliki peran dalam permainan yang lebih besar.
Aku mengangkat pandangan ke arah Farah, yang masih menatap jendela.
"Farah," panggilku, suaraku tenang namun tajam. "Ada kemungkinan Adrianus masih hidup."
Farah menoleh, matanya menyipit, penuh pertanyaan.
Aku tidak memberinya kesimpulan yang terburu-buru. Tidak, itu bukan caraku. Aku akan mengumpulkan lebih banyak bukti terlebih dahulu, menyusun kepingan-kepingan ini dengan lebih presisi.
Satu hal yang pasti: kasus ini baru saja berubah. Dan aku, seperti pemain catur yang melihat pola tersembunyi di papan permainan, mulai melihat langkah berikutnya yang harus diambil.
···
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja kecilku yang lebih mirip sarang burung gagak daripada kantor detektif yang terhormat. Asbak penuh puntung rokok dan cangkir kopi yang tak tersentuh sejak dini hari menjadi saksi bisu dari malam panjang yang ku habiskan menyusun kepingan teka-teki ini.
Farah masuk tanpa mengetuk—sebuah kebiasaan yang mulai kuterima dengan enggan. Kali ini, sorot matanya lebih tenang, dan yang lebih mengejutkan, lebih tajam. Dia membawa setumpuk berkas dan melemparkannya ke atas mejaku dengan keakuratan seorang penjudi ulung yang meletakkan kartu truf terakhirnya.
"Aku menemukan sesuatu," katanya, suaranya lebih terukur, tanpa nada sinis seperti biasanya.
Aku mengangkat alis, menyandarkan tubuh di kursi yang nyaris rubuh karena usia. Tanganku terulur, membuka halaman pertama berkas itu.
"Ada pola yang menghubungkan kasus Adrianus dengan serangkaian pembunuhan beberapa tahun lalu," lanjutnya. "Korban-korbannya adalah pengusaha kaya, semuanya memiliki hubungan bisnis dengan seorang politikus bernama Pak Dharmawan."
Aku mendengarkan tanpa menyela, membiarkan kata-katanya membentuk gambaran dalam pikiranku. Nama itu—Dharmawan—bukanlah nama asing. Sosok yang beredar di lingkaran elite dengan citra bersih, namun bayangannya selalu melintang di antara bisnis-bisnis yang terlalu rapi untuk tidak mencurigakan.
Farah mengetukkan jarinya ke salah satu paragraf dalam laporan yang baru saja kuterima. "Jam tangan Adrianus yang hilang mungkin bukan sekadar barang pribadi. Bisa jadi itu petunjuk terakhir yang dia tinggalkan."
Aku membalik halaman demi halaman, menyusuri garis merah yang mulai tampak lebih jelas. Apa yang semula tampak sebagai kejadian acak kini mulai membentuk pola yang tidak dapat diabaikan. Sebuah pola yang menjanjikan jawaban, atau lebih mungkin, kematian bagi mereka yang terlalu dalam menggalinya.
Aku mendongak, menatapnya. "Kau benar," kataku akhirnya. "Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pembunuhan biasa."
Farah menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kewaspadaan dan sesuatu yang hampir menyerupai kepercayaan.
"Kita perlu bekerja sama lebih erat," katanya akhirnya. "Aku masih tidak paham tentang kucing itu, tapi... aku percaya kau sedang mencari kebenaran."
Aku membiarkan kata-katanya bergema sejenak. Kepercayaan bukanlah sesuatu yang murah di dunia ini. Dan di balik nada skeptis nya, aku tahu Farah bukan seseorang yang memberikan kepercayaannya begitu saja.
Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu. Misteri ini sudah terlalu lama dibiarkan bersembunyi dalam kegelapan."
Di luar, kota mulai bergerak, hiruk-pikuknya seakan tidak peduli pada kebenaran yang berusaha kami bongkar. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—pertarungan ini baru saja dimulai.
···
Kabut asap rokok masih menggantung di udara ketika ketukan pintu memecah keheningan. Aku tidak beranjak dari kursiku, hanya melirik ke arah pintu dengan ekspresi datar. Jika ini Farah, dia tidak akan repot-repot mengetuk.
Namun, yang masuk bukan Farah. Seorang wanita paruh baya dengan setelan jas rapi, rambut disanggul dengan elegan, dan sorot mata yang tajam namun tenang. Cara jalannya mantap, penuh percaya diri, seperti seseorang yang terbiasa memegang kendali dalam ruangan mana pun.
Aku tetap bersikap santai, meski pikiranku mulai bergerak cepat. Pakaian yang terlalu rapi untuk sekadar kunjungan biasa. Tatapan yang terlalu tajam untuk seseorang yang datang dengan maksud baik tanpa agenda tersembunyi. Dan yang paling mencolok—tangannya kosong, tidak membawa berkas atau alat perekam. Itu berarti dia datang bukan untuk meminta informasi, tetapi untuk memberikannya. Atau mungkin… untuk memperingatkan ku.
Ia menarik kursi di depanku tanpa diundang, duduk dengan postur tegap. "Pak Leonard," katanya, suaranya lembut tapi mengandung otoritas yang tidak bisa diabaikan. "Saya Ratna. Mantan kepala divisi investigasi kepolisian."
Aku tidak menunjukkan reaksi. Nama itu tidak asing, tapi aku membiarkan keheningan mengisi ruangan, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Saya tahu Anda sedang menyelidiki Pak Dharmawan," lanjutnya. "Dan saya tahu Anda sudah punya cukup bukti untuk mengguncang fondasi kekuasaan yang dia bangun."
Aku menyandarkan tubuh ke belakang, mengamati ekspresinya. Tidak ada gugup, tidak ada tanda-tanda kebohongan. Tapi orang seperti dia pasti sudah terlatih untuk menyembunyikan niatnya.
"Kalau Anda tahu sejauh itu, pertanyaannya adalah... kenapa Anda ada di sini?" tanyaku, suaraku tetap tenang. "Apakah ini peringatan? Atau justru tawaran kerja sama?"
Ibu Ratna tersenyum tipis. "Saya sudah lama mengikuti jejak Dharmawan, lebih lama dari Anda. Tapi sistem ini tidak mengizinkan saya bergerak lebih jauh. Sekarang, saya tidak lagi terikat aturan. Dan saya ingin memastikan bahwa kebenaran terungkap."
Aku melirik sekilas ke tangannya. Tidak ada gerakan gelisah. Tatapannya tetap fokus padaku, tidak melirik ke arah barang-barang di meja, tidak mencari jalan keluar. Itu berarti dia percaya penuh pada niatnya sendiri. Atau setidaknya, dia ingin aku berpikir begitu.
Dia mengeluarkan sebuah flashdisk dari tasnya, meletakkannya di atas meja. "Ini berisi data yang mendukung investigasi Anda. Bukti yang bahkan kepolisian tidak akan berani ungkapkan."
Aku tidak langsung mengambilnya. Sebagai detektif, aku tahu lebih baik daripada menerima 'hadiah' dari seseorang yang belum ku pahami sepenuhnya.
"Apa jaminannya bahwa saya bisa mempercayai Anda?" tanyaku.
Dia menatapku beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak ada."
Kejujuran yang brutal. Itu menarik.
Aku akhirnya mengambil flashdisk itu, memutarnya di antara jari-jariku. "Kalau begitu, saya akan memeriksa ini sendiri. Dan kalau ada sesuatu yang tidak beres, kita akan punya masalah."
Dia tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawabanku. "Saya tidak meragukan itu, Pak Leonard."
Saat dia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar, aku masih menatap flashdisk di tanganku. Sekutu atau jebakan? Aku belum tahu. Tapi satu hal yang pasti—permainan ini baru saja mencapai level yang lebih tinggi.