Aku menancapkan flashdisk ke laptopku. Layar menampilkan logo sistem operasi yang familiar, lalu… mati. Hening sesaat, hanya diiringi dengung lemah dari mesin yang perlahan kehilangan daya.
Kemudian—klik. Sebuah suara kecil namun tajam dari dalam perangkat, diikuti dengan bau plastik terbakar yang segera menyengat hidungku. Aku mencabut flashdisk dengan cepat, nyaris membuangnya ke meja. Dari ventilasi belakang, asap tipis mengepul, berputar seperti kabut abu-abu yang mengisyaratkan kehancuran yang tak terhindarkan.
Aku menatap laptopku yang kini hanya tinggal cangkang kosong. Sebuah metode sabotase yang rapi dan efektif. Ini bukan sekadar virus biasa yang menghapus data atau mengunci file. Tidak—ini jauh lebih canggih. Seseorang tidak hanya ingin menghentikan penyelidikan ku, tetapi memastikan bahwa aku tidak bisa melanjutkannya.
Jari-jariku mengetuk permukaan meja, mencoba merangkai pola. Ibu Ratna… apakah dia benar-benar sekutu, atau hanya seorang pion dalam permainan ini? Jika dia bagian dari jebakan, maka dia tahu persis apa yang dia lakukan. Jika tidak, maka seseorang telah menyusup ke dalam rencananya, memanfaatkan kesempatan untuk menghapus jejak sebelum aku bisa menemukannya.
Asap masih berputar-putar di udara, menambah kepengapan di ruangan ini. Aku berdiri, berjalan ke jendela, dan menarik napas dalam. Dinginnya udara pagi menyelinap ke paru-paruku, sementara pikiranku terus memutar ulang setiap detail. Satu hal yang pasti—aku semakin dekat dengan sesuatu yang berbahaya.
Dan seseorang berusaha memastikan aku tidak pernah sampai ke sana.
···
Bunyi dering telepon membuyarkan lamunanku. Aku mengangkatnya tanpa melihat ID penelepon.
"Mahesa," gumamku, suaraku masih dipenuhi sisa-sisa kekesalan atas laptopku yang kini menjadi rongsokan.
"Leo, sayangku, kau tahu, aku sangat khawatir padamu," suara Farah berdengung dari seberang sana, penuh dengan nada dramatis yang berlebihan.
Aku mendengus. "Khawatir? Kau terlalu berlebihan, Farah. Aku tidak mati karena laptopku meledak."
"Oh? Jadi memang benar meledak?" Nada suaranya berubah sedikit lebih serius. "Aku hanya menebak, tapi sepertinya firasatku selalu tepat, ya?"
Aku terdiam sejenak. Sial, dia menjebak ku dengan kata-katanya.
"Kau menebak?" tanyaku, setengah curiga.
"Ya, karena kau biasanya akan langsung meneleponku setelah mendapatkan sesuatu yang menarik," jawabnya santai. "Tapi kali ini? Tidak ada kabar sama sekali. Itu bukan gaya seorang Leonard Mahesa."
Aku memijat pelipis ku. Harus kuakui, analisisnya tepat.
"Baiklah, detektif Farah, kau menang. Laptopku mati setelah aku mencolokkan flashdisk dari Ibu Ratna."
"Flashdisk yang diberikan begitu saja oleh seseorang yang dulunya bagian dari kepolisian?" Nada suaranya terdengar seperti seorang guru yang sedang menegur muridnya. "Kau terlalu ceroboh, Leo. Siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya?"
Aku menghela napas. "Ya, ya. Aku tahu. Sekarang kau menelepon untuk menguliahi atau ada sesuatu yang lebih penting?"
"Oh, tentu ada." Suaranya kembali riang. "Aku punya gosip menarik soal Dharmawan. Katanya, dia punya koleksi topi fedora yang sangat... unik."
Aku menyeringai. "Unik seperti apa?"
"Yah, sebut saja topi-topi berukir tengkorak, dihiasi bulu burung langka dan batu mulia. Atau mungkin bukan, aku tidak yakin. Sumberku tidak mau memberi detail lebih lanjut, takut ketahuan."
Aku tertawa kecil. "Jadi, kau lebih tertarik pada koleksi topi Dharmawan daripada penyelidikan kita?"
"Hei! Jangan salah paham," Farah membela diri. "Ini bagian penting dari proses investigasi, tahu! Memahami gaya hidup seseorang, hobinya, adalah kunci untuk memahami mereka. Dan koleksinya itu sangat mencurigakan. Apakah itu simbol? Sebuah kode? Ah, intriknya!"
Aku menggelengkan kepala, tetapi senyum masih terpatri di wajahku. "Baiklah, Farah. Aku akan mencari informasi tentang topi fedora Dharmawan. Semoga informasi itu lebih mudah didapatkan daripada mengganti laptopku yang baru saja 'berkorban' untuk kebenaran."
···
Aku menyalakan perangkat cadangan, mengakses flashdisk Ibu Ratna dengan hati-hati. Tidak ada kejanggalan di permukaannya—tidak ada enkripsi mencolok, tidak ada file yang tampak berbahaya. Tetapi seperti yang telah ku pelajari dalam pekerjaanku, bahaya sejati sering kali bersembunyi di balik sesuatu yang tampaknya biasa.
Deretan dokumen dan bukti korupsi Dharmawan melimpah. Laporan keuangan, transaksi mencurigakan, nama-nama yang mungkin menjadi bagian dari skandal ini. Tetapi di antara semua file, ada satu yang menarik perhatianku—sebuah sketsa kuno dari sebuah kalung.
Aku memperbesar gambarnya. Detailnya luar biasa. Ini bukan sekadar ilustrasi sembarangan. Goresannya presisi, seperti gambar teknis yang dirancang oleh seseorang dengan pemahaman mendalam tentang objek tersebut. Simbol-simbol kecil yang menghiasi permukaan permatanya hampir tidak terlihat dengan mata telanjang, tetapi sketsa ini menyoroti setiap detailnya dengan jelas.
Aku menyipitkan mata. Simbol ini… aku pernah melihatnya. Tidak di dalam berkas kasus ini, tetapi di suatu tempat lain—mungkin dalam laporan lama yang pernah ku baca. Kombinasi aksara kuno dan bentuk geometris nya bukan sekadar hiasan; ini adalah pola. Sebuah kode.
Kemudian, sesuatu yang tidak biasa terjadi.
Layar laptop berkedip. Kilatan biru samar muncul dari dalamnya, bukan seperti glitch biasa atau kesalahan sistem. Ini bukan tampilan layar rusak, tetapi sesuatu yang terasa… disengaja.
Aku tidak bergerak. Sebagai seorang penyelidik, naluriku selalu memberitahuku satu hal: Jangan bereaksi secara impulsif. Amati terlebih dahulu.
Cahaya itu semakin terang, membentuk sebuah hologram di udara—replika tiga dimensi dari kalung itu sendiri. Aku memiringkan kepala, mengamati detailnya. Permata pada hologram berdenyut perlahan, bukan secara acak, melainkan dalam ritme yang teratur—seperti detak jantung.
Aku menyentuh laptop. Tidak ada panas berlebih, tidak ada indikasi perangkat mengalami malfungsi. Jika ini adalah trik teknologi, maka seseorang telah merancangnya dengan sangat canggih.
Simbol-simbol pada hologram mulai bergerak. Mereka bergeser, saling bertautan, membentuk pola yang lebih kompleks. Aku memperhatikan urutannya—bukan sekadar gerakan acak, tetapi seperti kombinasi kunci yang diputar untuk membuka sesuatu.
Kemudian, sebuah peta muncul. Kota ini. Lokasi-lokasi tertentu ditandai, tempat-tempat yang aku kenali.
Dan lalu, wajah itu muncul.
Aku menahan napas. Samar, terselubung kabut, tetapi tetap familiar. Aku mengamati garis-garisnya, mencoba merangkai ingatanku. Rahang yang tegas, tatapan yang tajam. Ada sesuatu tentang wajah ini yang mengusik ingatanku, seolah aku seharusnya mengenalinya, tetapi sesuatu menghalangi pemahamanku.
Aku memutar ingatan ke belakang. Wajah ini… Aku telah melihatnya di suatu tempat. Bukan dalam foto biasa, tetapi dalam konteks lain—sebuah kasus lama? Seseorang dari masa lalu? Atau mungkin… seseorang yang sengaja ingin tetap tersembunyi?
Pertanyaan itu merayap masuk ke dalam pikiranku.
Jika seseorang cukup cerdik untuk menyembunyikan informasi ini di dalam flashdisk, cukup berhati-hati untuk menguncinya dalam sistem yang hanya dapat diakses oleh orang yang tepat, maka ini bukan sekadar petunjuk biasa. Ini adalah pesan yang sengaja dikirimkan kepadaku.
Tetapi oleh siapa?
Dan lebih penting lagi—mengapa aku?
Hologram itu perlahan memudar, meninggalkan hanya sisa-sisa cahaya biru redup yang menghilang dalam kegelapan ruangan. Tetapi pikiranku masih bekerja, merangkai potongan-potongan yang belum tersusun.
Ini bukan kebetulan. Ini bukan kesalahan sistem.
Seseorang di luar sana ingin aku menemukan sesuatu.
Dan aku, seperti biasa, harus mencari tahu apa itu—sebelum orang lain menemukannya lebih dulu.
···
Aku masih menatap kosong ke layar laptop yang gelap. Pantulan lampu jalan di kaca hitamnya seakan menatap balik, seperti mata-mata dari masa lalu yang enggan pergi. Wajah samar di hologram itu terus menghantui pikiranku, bersembunyi di celah-celah ingatan yang enggan terbuka.
Di seberang meja, Farah masih duduk dengan tenang, menyesap kopi dinginnya. Matanya tak lepas dariku, menunggu jawaban yang mungkin bahkan aku sendiri belum punya.
"Kau kenal orang itu, Leo?"
Suara Farah memecah kesunyian, nadanya lebih lembut dari biasanya. Tak ada sarkasme kali ini, tak ada pertanyaan tajam. Hanya suara seseorang yang tahu kapan harus menekan dan kapan harus membiarkan seseorang menghadapi pikirannya sendiri.
Aku menarik napas panjang. Jari-jariku masih sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Sisa adrenalin? Atau ketakutan yang enggan kuakui?
"Aku… tidak yakin," suaraku terdengar serak, seakan kata-kata itu tersangkut di tenggorokan. "Wajah itu… familiar, tapi seperti ada kabut di ingatanku. Seperti melihat sesuatu di balik kaca berkabut—kau tahu ada sesuatu di sana, tapi tak bisa benar-benar melihatnya."
Farah meletakkan cangkirnya. "Mungkin itu seseorang dari masa lalu mu di kepolisian?"
Tebakan yang bagus. Dia selalu cepat menangkap sesuatu, meskipun baru mengenalku dalam beberapa minggu.
"Bisa jadi," aku mengakui, sambil menggosok pelipis ku. "Aku menangani banyak kasus kotor saat masih bertugas. Banyak wajah yang kulihat, banyak orang yang kukenal… dan lebih banyak lagi yang menghilang tanpa jejak."
Aku membiarkan kata-kata itu menggantung di udara, sementara pikiranku terus berusaha merangkai kepingan-kepingan ingatan yang tak utuh.
Farah menatap ke luar jendela, di mana lampu-lampu kota berkelap-kelip dalam kegelapan. "Aku juga punya masa lalu yang tak ingin kuingat," katanya lirih. "Ledakan itu… suara ledakan itu masih menghantuiku hingga kini."
Aku menoleh ke arahnya. Untuk sesaat, ekspresinya kosong, seperti seseorang yang sedang melihat ke dalam jurang masa lalu.
"Aku kehilangan banyak hal karena investigasi ini," lanjutnya, suaranya sedikit lebih keras, lebih mantap. "Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan membiarkan mereka menang."
Aku mengamatinya. Ada tekad yang sama di matanya—tekad seseorang yang telah kehilangan terlalu banyak, namun menolak untuk menyerah.
Aku mengangguk pelan. "Kita berdua," kataku akhirnya.
Sebuah keheningan kembali mengisi ruangan, namun kali ini terasa berbeda. Bukan sekadar kebisuan kosong, tetapi sesuatu yang lebih dalam. Pemahaman. Kesepahaman antara dua orang yang, meskipun memiliki latar belakang berbeda, berjalan di jalan yang sama—jalan yang penuh bahaya, penuh luka, tetapi juga satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh.
Lalu, wajah di hologram itu kembali terlintas di pikiranku. Tapi kali ini, bukan hanya wajah.
Sebuah tempat.
Sebuah gudang tua. Gelap. Lembab. Bau kayu lapuk dan debu memenuhi udara.
Dan sebuah suara.
Bukan suara seseorang, melainkan bisikan. Samar, nyaris tak terdengar, tetapi aku bisa merasakannya di dalam tulangku.
Aku mengernyit. Mengapa aku baru mengingat ini sekarang?
Aku menutup mata, mencoba menggali lebih dalam. Tetapi seperti benang yang terlalu erat terikat, ingatan itu menolak untuk terurai.
Aku membuka mata kembali, menatap layar laptop yang mati.
Ini bukan hanya tentang Adrianus, atau Dharmawan, atau jaringan korupsi yang mereka pimpin. Ada sesuatu yang lebih besar di sini. Sesuatu yang terhubung dengan masa lalu—masa lalu yang berusaha keras disembunyikan.
Aku melirik Farah, yang kini menatapku dengan sorot penuh pertanyaan.
"Ada sesuatu yang harus kita cari," kataku akhirnya.
Farah menaikkan alis. "Dan itu apa?"
Aku menatap kembali ke layar laptop, ke pantulan redup lampu jalan yang bergetar samar di permukaannya.
"Sesuatu yang seharusnya tidak ditemukan."