Bayangkan dari masa lalu

Udara pagi terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tipis melayang di atas jalanan kota, membalut lampu jalan yang redup dalam aura suram. Bau rokok dan kopi basi mengisi udara, bercampur dengan aroma hujan yang tertinggal dari semalam.

Aku melangkah menuju kafe kecil di pinggiran kota—tempat yang lebih sering menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang tak ingin terlihat. Kotor, sepi, dan tampak seperti bagian yang terlupakan dari kota ini. Namun, menurut petunjuk terakhir yang kudapat, di sinilah jawaban berikutnya menunggu.

Ibu Ratna sudah ada di sana, duduk di sudut ruangan. Biasanya, dia membawa aura tenang yang berwibawa, tetapi hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pucat. Gelisah. Seakan beban yang tak terlihat menekan pundaknya.

Aku mengambil tempat di hadapannya dan memesan kopi hitam. Pahit dan kental, seperti kasus ini—semakin dalam aku menyelaminya, semakin pekat kegelapan yang kutemukan.

"Terima kasih sudah datang," katanya pelan. Tangannya sedikit gemetar saat mengaduk tehnya.

Aku hanya mengangguk, menunggu. Orang-orang yang gugup sering kali lebih mudah berbicara jika dibiarkan dalam keheningan.

Dia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya. Usang, sedikit kusut di tepinya. "Seseorang menitipkan ini padaku. Katanya… ini untukmu."

Aku mengambil amplop itu dengan hati-hati, merasakan bobot yang tidak seberapa, tetapi mengandung sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar kertas.

Ketika kubuka, hanya ada satu lembar foto. Foto lama, pudar, tetapi wajah yang terpampang di dalamnya seakan meninju dadaku dengan keras.

Aku mengenalnya.

Mustahil.

Rekan lamaku di kepolisian. Seorang yang pernah kupanggil sahabat, sebelum pengkhianatan mengubah segalanya. Seorang yang, menurut semua catatan, telah mati bertahun-tahun lalu.

Aku mendongak menatap Ibu Ratna, mencari jawaban.

"Dia masih hidup," katanya, suaranya terdengar seperti bisikan rahasia yang tak seharusnya diucapkan. "Dan dia ingin kau berhenti."

Dada kiriku terasa dingin. Bukan karena udara pagi, tetapi karena ketidakpastian yang mendadak melingkupi pikiranku.

"Kenapa kau memberitahuku ini?" tanyaku akhirnya.

Dia menatapku lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Mungkin aku hanya ingin melihat pilihan apa yang akan kau ambil, Leonard."

Nada suaranya berubah. Bukan lagi sekutu yang memberi petunjuk, tapi seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang dia biarkan terlihat.

Aku menyandarkan punggung ke kursi, menyesap kopi yang kini terasa hambar. Tangan Ibu Ratna yang tadi gemetar kini tampak stabil saat dia mengangkat cangkir tehnya.

"Apa kau di pihak mereka?" tanyaku, suaraku datar.

Dia tertawa kecil—tawa yang lebih dingin dari embun pagi. "Dunia ini bukan hitam dan putih, Leo."

Dia berdiri, merapikan mantelnya. "Anggap ini peringatan terakhir. Berhentilah sebelum kau tak punya jalan kembali."

Dia berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan aroma teh melati yang samar-samar bercampur dengan rasa pahit di lidahku.

Aku menatap kembali foto itu. Sosok dalam gambar menatapku balik, seolah mengejek.

Mereka ingin aku berhenti.

Berarti aku semakin dekat.

Dan itu alasan yang cukup bagiku untuk terus maju.

···

Hujan deras yang mengguyur kota semalaman meninggalkan jejak genangan di sepanjang jalan berbatu. Udara pagi terasa lembap, membawa aroma asin dari laut yang gelisah. Di kejauhan, kapal-kapal kecil bergoyang di atas ombak yang seolah berbisik tentang sesuatu yang tak kasat mata.

Aku berdiri di tepi dermaga, mantel panjangku sudah basah oleh percikan air yang tertiup angin. Cahaya samar dari lampu jalan yang sekarat menyorot permukaan air yang bergejolak, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana.

Sebuah gudang tua, yang seharusnya menjadi tujuanku, kini telah lenyap. Bukan terbakar, bukan dihancurkan, tetapi tenggelam. Seolah-olah laut menelannya dalam semalam.

Aku menyalakan rokok, membiarkan asapnya menyatu dengan kabut pagi yang masih enggan beranjak. Jari-jariku menyentuh permukaan air di dekat dermaga, mencermati teksturnya. Dingin, lebih dingin dari seharusnya. Dan pasang ini… terlalu cepat naik.

Bukan kebetulan.

Aku mengingat kata-kata Ibu Ratna di kafe kemarin.

"Dunia ini bukan hitam dan putih, Leo."

Aku menduga dia tidak sekadar berbicara tentang moralitas. Mungkin ini peringatan, tersirat dalam teka-teki yang baru sekarang mulai kupahami.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, sesuatu di kejauhan menarik perhatianku.

Sebuah perahu kecil.

Tersembunyi di balik reruntuhan dermaga yang setengah hancur, hanya terlihat ketika ombak menggulungnya keluar dari bayangan. Di atasnya, seseorang berdiri diam. Siluetnya samar dalam cahaya pagi yang belum sempurna.

Lalu, gerakan kecil menarik perhatianku. Orang itu mengangkat tangannya, memperlihatkan sesuatu yang berkilau.

Aku menyipitkan mata.

Sebuah kalung ruby.

Aku mengenalinya.

Bukan sekadar perhiasan, tetapi jejak. Aku melihatnya di TKP Adrianus—kalung dengan desain yang terlalu unik untuk menjadi kebetulan. Namun, ada satu hal yang membuat punggungku menegang.

Kalung itu tidak tergantung di tangan orang itu.

Kalung itu melayang.

Sekejap, udara di sekitarku terasa lebih dingin. Logikaku segera mencari penjelasan—refleksi cahaya, ilusi optik akibat kabut dan hujan. Tapi ada sesuatu dalam cara benda itu tetap menggantung di udara yang membuatku ragu pada penjelasan rasional.

Aku tetap berdiri tegak, ekspresiku tidak berubah. Namun, di dalam kepalaku, roda pemikiran mulai berputar.

Lalu, dari belakangku, aku mendengar langkah kaki.

Ringan. Terukur.

Seseorang telah mengamatiku sejak tadi.

Aku tetap diam. Menunggu.

Langkah itu berhenti beberapa meter dariku.

Kemudian, suara yang sudah lama tidak kudengar berbicara.

"Leonard."

Suaranya rendah, nyaris berbisik, tetapi cukup untuk membekukan pikiranku sejenak.

Aku mengenali suara itu.

Dan seperti pisau yang menusuk tanpa peringatan, sebuah pertanyaan menghantam benakku.

Mustahil.

Aku berbalik perlahan, menatap orang yang berdiri di belakangku.

Gudang tenggelam. Air pasang yang tak wajar. Kalung ruby yang seharusnya tak ada di sini. Dan sekarang… ini?

···

Aku menghela napas pendek, mengatur kembali keseimbangan. Mataku tetap terkunci pada siluet di hadapanku, bayangan yang masih tegak, pisau di tangannya berkilau oleh cahaya fajar yang semakin terang.

Dia tidak bergerak.

Aku juga tidak.

Permainan ini bukan soal siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih sabar.

Langkah kecil terdengar dari belakangku. Seseorang bergerak di atas kayu dermaga yang basah. Aku tahu lebih baik daripada berpaling.

"Dua lawan satu?" pikirku. Bisa lebih buruk.

Angin laut berembus kencang, membawa aroma hujan, garam, dan sesuatu yang lebih samar—bau logam panas yang masih menggantung di udara.

Lalu, sosok di depanku bergeser sedikit. Aku melihatnya lebih jelas sekarang—mantel panjang, wajah tertutup bayangan kapuconya. Bukan seorang amatir. Seorang pembunuh yang tahu bagaimana bersembunyi di celah-celah dunia ini, di antara cahaya dan kegelapan.

Langkah di belakangku berhenti.

Keheningan menegang seperti kawat yang siap putus.

Aku menarik napas dalam.

Kemudian, mereka bergerak.

Penyerang di depanku melesat maju, pisaunya menyambar udara. Aku bergeser ke samping, tubuhku hampir menyatu dengan bayangan dermaga. Mata pisau itu meleset beberapa sentimeter dari perutku—cukup dekat untuk merasakan anginnya, tetapi tidak cukup untuk menembus kulit.

Sementara itu, aku mendengar suara gesekan di belakang.

Aku berjongkok seketika.

Sesuatu melesat di atas kepalaku—seutas kawat yang ditarik dengan kekuatan penuh, berusaha menjeratku untuk kedua kalinya.

Mereka mencoba memotong jalanku.

Sialan. Mereka benar-benar tahu apa yang mereka lakukan.

Aku tidak punya pilihan. Bertahan lebih lama hanya akan memperkecil peluangku keluar hidup-hidup.

Aku bergerak.

Siku kananku menghantam tulang rusuk orang di belakangku. Sebuah erangan tertahan terdengar, tetapi aku tidak berhenti di situ. Dengan gerakan cepat, aku memutar tubuh dan mengarahkan lututku ke perutnya.

Benturan keras.

Orang itu tersandung mundur, cukup untuk memberiku ruang.

Tapi aku tidak bisa merayakan kemenangan kecil ini. Penyerang pertama sudah berbalik, pisaunya mengarah lurus ke tenggorokanku.

Refleks mengambil alih.

Aku menangkis serangannya dengan lengan kiri, merasakan ujung tajam itu menggores mantelku. Lalu, dengan tangan kanan, aku meraih pergelangan tangannya dan memelintirnya ke belakang.

Pisau terlepas.

Aku tidak memberinya waktu untuk pulih. Satu hantaman ke rahangnya membuatnya jatuh ke kayu dermaga.

Sekarang tinggal satu.

Aku berbalik, hanya untuk melihat sesuatu yang membuat tengkukku meremang.

Kalung ruby itu—yang tadi melayang di atas perahu—kini melayang ke arahku.

Bukan terjatuh.

Melayang.

Seolah-olah ditarik oleh sesuatu yang tidak bisa kulihat.

Aku mundur selangkah, otakku mencoba memahami apa yang kulihat. Tapi sebelum aku bisa bereaksi lebih jauh, suara dari kegelapan menghentikanku.

"Sudah cukup, Leonard."

Suaranya dalam. Tenang.

Dan sangat, sangat familiar.

Aku membeku.

Siluet yang berdiri di ujung dermaga akhirnya melangkah maju, keluar dari bayangan.

Aku melihat wajahnya.

Darah di nadiku terasa membeku.

Inspektur Rendra.

Masih hidup.

Atau sesuatu yang menyerupainya.

"Berhentilah mencari," katanya pelan. "Sebelum kau menemukan sesuatu yang tak bisa kau kembalikan."

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, membiarkan gelombang pertanyaan dan kecurigaan memenuhi kepalaku.

Kalung itu kini melayang di antara kami, seperti penanda diam antara masa lalu dan masa kini.

···

Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang meresap hingga ke tulang. Kabut masih menggantung rendah di atas dermaga, mengaburkan batas antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih... samar. Aku berdiri diam, napasku stabil, tetapi otakku bekerja lebih cepat dari sebelumnya.

Di hadapanku, Inspektur Rendra berdiri tegak, nyaris tak bergerak. Bayangannya memanjang di atas kayu dermaga yang basah, membuatnya tampak lebih seperti ilusi daripada manusia. Namun, yang lebih mengganggu pikiranku adalah kalung ruby di antara kami.

Benda itu tidak jatuh. Tidak pula melayang tanpa tujuan.

Ia bergerak.

Seperti ada tangan tak terlihat yang mengendalikannya.

Aku menegakkan punggung, mengamati setiap detail. Cahaya redup dari lampu dermaga menangkap kilauan permukaan batu itu, memperlihatkan sesuatu yang sebelumnya tak tampak—sebuah ukiran halus di sisi belakangnya.

Aku menyipitkan mata.

"Sudah cukup, Leonard," suara Rendra akhirnya terdengar, datar, tanpa nada yang bisa kutebak. "Kau telah melangkah terlalu jauh. Ada batas yang seharusnya tidak kau lewati."

Aku tidak menjawab. Alih-alih, aku berjongkok perlahan dan meraih pecahan kayu di lantai dermaga. Dengan ujungnya, aku menggores permukaan ruby, menyingkap detail yang lebih dalam.

Sebuah simbol.

Aku mengenalinya. Bukan dari laporan polisi atau berkas kejahatan, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih tua. Sebuah dokumen usang yang pernah kutemukan di perpustakaan tua milik ayah Farah.

Seraphim.

Sebuah nama yang lebih sering muncul dalam bisikan daripada tulisan. Sebuah organisasi yang konon telah beroperasi dalam bayangan kota ini selama berabad-abad.

Namun ada sesuatu yang berbeda.

Di bawah simbol utama itu, terdapat ukiran lain, lebih kecil, hampir seperti tanda tangan. Sebuah huruf.

"S."

Aku menarik napas pelan. Otakku menyusun potongan-potongan yang tercerai-berai. Jika ini adalah tanda dari Seraphim, maka seseorang, atau sesuatu, sedang bermain di luar aturan yang kukenal.

Aku kembali berdiri, menatap Rendra. Mata kami bertemu, dan untuk pertama kalinya sejak awal pertemuan ini, aku merasa seolah-olah sedang melihat sesuatu yang bukan manusia.

Atau mungkin… sesuatu yang lebih dari sekadar manusia.

Kalung ruby itu masih melayang di antara kami, berdenyut seperti jantung yang berdetak pelan.

Rendra tersenyum tipis.

"Beri aku alasan untuk tidak melanjutkan ini," kataku akhirnya.

Ia hanya menggeleng. "Kau terlalu jauh untuk kembali. Dan kau belum cukup siap untuk memahami."

Aku ingin membantah. Namun, sebelum kata-kata itu keluar, angin malam berembus lebih kencang, membuat kabut berputar di sekeliling kami. Dalam sekejap, Rendra menghilang—bukan berlari, bukan menghilang dalam kegelapan—tetapi lenyap, seolah-olah ia tak pernah ada di sana.

Aku berdiri diam.

Pikiranku bergulat dengan kemungkinan-kemungkinan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku bertanya-tanya apakah penyelidikan ini benar-benar sesuatu yang bisa kuselesaikan dengan logika semata.