Bandung. 13 Januari 1968
ADA DAN TIADA 2: Queen of the sect
Malam di rusun tua itu selalu terasa lebih panjang. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kayu yang lapuk, membawa bisikan samar yang tak pernah benar-benar hilang. Sarah duduk di kasur tipisnya, menatap Sita dan Putra yang sudah terlelap.
Sudah beberapa tahun sejak mereka pindah ke sini. Hanya 34 orang yang menghuni rusun ini, dan sebagian besar dari mereka lebih suka diam di dalam kamar setelah matahari terbenam. Sarah tidak menyalahkan mereka. Sejak hari pertama, dia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini.
Namun, satu hal yang paling mengganggu pikirannya adalah tetangga barunya: Dara.
Dara tinggal tepat di unit sebelah, namun Sarah belum pernah benar-benar melihatnya keluar kamar. Setiap kali dia lewat di depan unit itu, pintunya selalu sedikit terbuka, menampilkan kegelapan di dalamnya. Kadang, ada suara langkah kaki yang lirih, seperti seseorang sedang berjalan di dalam, meskipun tak pernah ada bayangan yang terlihat.
Hingga malam itu tiba.
Sarah terbangun karena suara ketukan.
Tok… tok… tok…
Pelan, berirama, tapi anehnya terasa begitu dekat. Seperti diketuk dari dalam rumahnya sendiri.
Sarah bangkit perlahan, mencoba mengusir kantuknya. Saat dia melihat ke pintu depan, keringat dingin langsung merambati tengkuknya.
Pintu itu sudah terbuka.
Sarah yakin betul dia sudah menguncinya sebelum tidur. Napasnya memburu, tubuhnya membeku di tempat.
Lalu, di ambang pintu, seseorang berdiri.
Seorang wanita muda, mengenakan daster putih panjang yang hampir menyentuh lantai. Rambutnya panjang dan sedikit berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Matanya tajam, hitam pekat seperti malam.
Dara.
"Tidurmu nyenyak?" suaranya lirih, namun terdengar jelas di kesunyian malam.
Sarah menelan ludah. "Dara…?"
Dara tersenyum kecil. Tapi senyumnya tidak menghangatkan, justru terasa aneh, seperti seseorang yang tahu terlalu banyak.
"Kau sering bicara dalam tidur," lanjut Dara, melangkah masuk tanpa diundang. "Menyebut nama seseorang… Tari, ya?"
Jantung Sarah berdegup kencang. Dia mundur selangkah, menoleh ke arah kamar anak-anaknya. Mereka masih tidur, tidak terganggu sama sekali.
Dara berdiri di tengah ruangan, matanya tak lepas dari wajah Sarah. "Siapa Tari?" tanyanya lagi, dengan nada yang nyaris seperti bisikan.
Sarah berusaha tetap tenang. "Teman lama," jawabnya pendek.
Dara mengangguk pelan, lalu berjalan menuju jendela. Dia menyingkap tirai dengan ujung jarinya, menatap ke luar.
"Tempat ini… lebih buruk dari yang kau kira," ucapnya tanpa menoleh. "Bukan hanya kau yang membawa sesuatu dari masa lalu. Mereka yang tinggal di sini… juga punya rahasia mereka sendiri."
Sarah mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Dara akhirnya berbalik, menatap Sarah dalam-dalam. "Ada alasan kenapa rusun ini hanya dihuni 34 orang."
Hening.
Dara tersenyum tipis sebelum berbalik menuju pintu. "Jangan lupa mengunci pintu sebelum tidur," ucapnya sebelum menghilang ke dalam kegelapan lorong.
Sarah berdiri terpaku, perasaannya tak karuan. Ada sesuatu tentang Dara yang membuat bulu kuduknya meremang.
Dan baru saat itulah dia sadar—
Dara tadi tidak pernah menyentuh pintunya.
Namun, pintu itu menutup sendiri.
Bersambung…