ANEH!"
***
Pagi itu, Ah bangun dengan perasaan gelisah. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di benaknya, seperti sebuah pertanyaan besar yang belum terjawab. Saat ia membuka matanya, ia langsung menyadari bahwa jam dinding di kamarnya berhenti tepat pada pukul 6:06 pagi. Baterainya masih baru kemarin, jadi kenapa jam itu tiba-tiba berhenti?
"Inilah yang aku maksud dengan 'aneh'," gumam Ah sambil bangkit dari kasurnya. "Jam berhenti pada angka enam? Apakah ini hanya kebetulan?"
Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan bergegas ke dapur untuk membuat kopi. Namun, saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Di permukaan kopi yang mulai dingin, ada pola melingkar yang tampak seperti wajah manusia—bukan bayangan biasa, tetapi detail yang sangat jelas, seolah-olah seseorang sedang menatapnya dari dalam cangkir.
"Apa ini ilusi atau aku hanya sedang lelah?" gumam Ah pelan. Ia menggelengkan kepala dan mencoba melanjutkan sarapan, meskipun rasa penasarannya semakin memuncak.
Saat ia sedang membersihkan meja, telepon genggamnya berdering. Panggilan masuk dari Cici.
"Cici?" tanya Ah, heran. "Kenapa kamu menelepon pagi-pagi begini?"
"Ah, aku sudah melihat hasil analisis kain tua itu," kata Cici dengan nada serius. "Aku pikir kamu harus datang ke lab secepatnya."
"Apa yang kamu temukan?" tanya Ah, penasaran.
"Banyak hal aneh," jawab Cici. "Tapi aku tidak bisa menjelaskannya lewat telepon. Kamu harus melihat sendiri."
"Baiklah, aku akan ke sana," kata Ah, lalu menutup telepon.
***
Di jalan menuju lab, Ah melihat sesuatu yang membuatnya tercengang. Seorang pria paruh baya berdiri di tengah trotoar, memegang payung meskipun cuaca cerah tanpa awan. Yang lebih aneh lagi, payung itu terbalik, dengan bagian dalam menghadap ke atas.
"Hei, Pak," kata Ah, mendekati pria itu. "Kenapa payungmu terbalik?"
Pria itu tersenyum tipis dan menjawab, "Ini bukan tentang payung, Nak. Ini tentang bagaimana kita melihat dunia."
"Maksudmu apa?" tanya Ah, bingung.
"Dunia ini penuh dengan simbol-simbol," kata pria itu. "Kadang-kadang, kita hanya perlu membalik cara pandang kita untuk melihat maknanya."
"Tapi kenapa payungmu terbalik?" tanya Ah lagi, masih tidak mengerti.
"Karena terkadang, jawaban tidak selalu ada di tempat yang biasa kita cari," jawab pria itu dengan senyum misterius. Lalu, ia berjalan pergi, meninggalkan Ah dengan seribu tanda tanya di benaknya.
***
Sesampainya di laboratorium, Cici sudah menunggu dengan wajah serius. Di atas meja, kain tua itu tergeletak di bawah mikroskop digital.
"Jadi, apa yang kamu temukan?" tanya Ah, penasaran.
Cici menunjuk layar komputer di samping mikroskop. "Lihat ini. Simbol-simbol di kain ini bukan sekadar hiasan. Mereka adalah pola geometris yang sangat presisi—terlalu presisi untuk dibuat oleh tangan manusia."
"Apa maksudmu? Apakah ini dibuat oleh mesin?" tanya Ah.
Cici menggeleng. "Tidak juga. Pola ini tidak cocok dengan teknologi apa pun yang kita ketahui saat ini. Tapi yang lebih aneh lagi adalah ini." Ia menunjuk grafik lain di layar. "Simbol-simbol ini ternyata memiliki resonansi suara tertentu jika diterjemahkan ke dalam frekuensi."
"Resonansi suara? Apa hubungannya dengan kain ini?" tanya Ah, semakin bingung.
Cici mengangkat bahu. "Itu tugasmu untuk mencari tahu. Tapi satu hal yang pasti—kain ini bukan barang biasa."
"Bagaimana bisa kain ini begitu presisi tapi tidak diketahui asal-usulnya?" tanya Ah, menggaruk kepala.
"Itulah yang membuatnya aneh," kata Cici. "Aku tidak tahu apakah ini eksperimen, artefak, atau bahkan hanya lelucon besar. Tapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang istimewa tentang benda ini."
"Apakah kamu pikir ini ada hubungannya dengan kejadian-kejadian aneh yang aku alami belakangan ini?" tanya Ah.
Cici mengangkat bahu lagi. "Mungkin. Atau mungkin semua ini hanya kebetulan. Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan mulai mencatat setiap keanehan yang terjadi. Siapa tahu ada pola yang bisa kamu temukan."
***
Setelah meninggalkan lab, Ah memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Di tengah perjalanan, ia tiba-tiba ingat bahwa ia telah menulis catatan kecil tentang kejadian-kejadian aneh yang dialaminya di blognya. Ia membuka laptop di kafe langganannya dan mulai mengetik.
"Keanehan Pertama: Burung menabrak jendela. Keanehan Kedua: Bayangan manusia tanpa tubuh di foto pasar. Keanehan Ketiga: Jam berhenti pada pukul 6:06 pagi. Keanehan Keempat: Wajah di permukaan kopi. Keanehan Kelima: Pria dengan payung terbalik. Keanehan Keenam: Angka enam di mesin kopi."
Namun, saat ia selesai mengetik dan mencoba menyimpannya, tulisan itu tiba-tiba... hilang.
"Apa yang terjadi?" tanya Ah keras-keras, panik. Ia mencoba memeriksa file di laptopnya, tapi tidak ada jejak tulisan itu sama sekali.
"Bro Cok!" panggil Ah kepada barista di kafe. "Apakah kamu melihat ada yang aneh dengan laptopku?"
Bro Cok menghampiri dengan wajah bingung. "Ada apa, Ah?"
"Catatan yang aku ketik tadi hilang begitu saja," kata Ah. "Apa mungkin ada masalah dengan jaringan internet kafe ini?"
Bro Cok menggeleng. "Tidak mungkin. Jaringan kita stabil. Lagipula, laptopmu kan offline, kan?"
Ah terdiam. "Kalau begitu, bagaimana mungkin tulisan itu bisa hilang?"
Bro Cok tersenyum misterius. "Mungkin ada sesuatu yang tidak ingin kamu tuliskan."
"Apa maksudmu?" tanya Ah, semakin bingung.
Bro Cok mengangkat bahu. "Aku hanya barista, Ah. Tapi kalau aku boleh berspekulasi, mungkin ada kekuatan yang sedang mengarahkanmu ke arah yang berbeda."
"Kekuatan apa?" tanya Ah, skeptis.
Bro Cok hanya tersenyum tipis. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."
***
Ketika Ah kembali ke apartemennya malam itu, ia memutuskan untuk mencoba menulis ulang catatan tersebut. Namun, kali ini ia menggunakan buku catatan fisik daripada laptop. Setelah menulis beberapa baris, ia menyadari bahwa tinta pena yang ia gunakan tiba-tiba menghilang dari kertas.
"Inilah yang aku maksud dengan semakin aneh," gumam Ah pelan. "Kenapa tulisanku terus menghilang?"
Tiba-tiba, pintu apartemennya diketuk. Ah membuka pintu dan menemukan Pak Entrik berdiri di sana dengan senyum misterius.
"Pak Entrik? Ada apa?" tanya Ah, heran.
Pak Entrik menyodorkan sebuah amplop tua. "Ini untukmu. Kunci yang kuberikan kemarin adalah awalnya. Sekarang, ini adalah petunjuk berikutnya."
Ah membuka amplop itu dan menemukan selembar kertas bertuliskan:
"Enam adalah awal, enam adalah akhir. Temukan pintunya."
"Temukan pintunya?" tanya Ah, bingung. "Pintu apa?"
Pak Entrik hanya tersenyum misterius. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."
***
Ah duduk di kursi, memandangi kertas itu dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.
"Apa maksudnya semua ini?" gumamnya pelan.
Tiba-tiba, suara bisikan samar terdengar lagi di kepalanya, seperti malam sebelumnya. Kali ini, suara itu berkata:
"Selamat datang di babak kedua."
***
"ANEH!"