WebNovelANEH !75.00%

Mengapa begitu ?

"ANEH!"

***

Pagi itu, Ah bangun dengan perasaan tidak nyaman. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikutinya, setiap langkahnya—bukan secara fisik, tapi lebih seperti bayangan, rasa penasaran yang tak kunjung hilang. Setelah sarapan singkat, ia memutuskan untuk mencari jawaban atas semua kejadian aneh yang terus terjadi padanya.

"Apa yang sedang terjadi denganku?" gumam Ah pelan, sambil memandangi kunci tua yang diberikan Pak Entrik kemarin. Kunci itu tampak biasa saja, tapi ada sesuatu tentang bentuknya yang terasa... tidak biasa. Terlalu presisi, hampir seperti buatan mesin canggih.

Ia membuka laptopnya, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut di internet. Tapi saat ia mencoba mengetik kata kunci "kunci antik", layar laptopnya mendadak mati sendiri. Ia mencoba menyalakannya lagi, namun laptop itu sama sekali tidak merespons.

"Inilah yang aku maksud dengan 'aneh'," gumam Ah sambil menggelengkan kepala. "Apa masalahmu sekarang?"

Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering. Panggilan masuk dari Cici.

"Cici?" tanya Ah, heran. "Ada apa lagi?"

"Ah, kamu ingat hasil analisis kain tua itu, kan?" tanya Cici dengan nada serius.

"Tentu saja," jawab Ah. "Kenapa?"

"Aku menemukan sesuatu yang baru," kata Cici. "Ada pola simbol tambahan yang tidak terlihat kemarin. Seperti... ada lapisan kedua yang hanya bisa terdeteksi setelah beberapa jam."

"Lapisan kedua?" tanya Ah, bingung. "Apa maksudmu?"

"Itu artinya, kain itu dirancang dengan teknologi yang jauh melampaui zamannya," kata Cici. "Atau bahkan, mungkin bukan dari zaman kita sama sekali."

"Bukan dari zaman kita?" tanya Ah, semakin terkejut. "Apa maksudmu? Apakah ini semacam artefak alien?"

Cici tertawa renyah. "Aku tidak tahu, Ah. Aku hanya ilmuwan, bukan pemburu alien. Tapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang sangat istimewa tentang benda ini."

"Apakah kamu pikir ini ada hubungannya dengan catatan yang hilang kemarin?" tanya Ah.

Cici terdiam sejenak. "Catatan yang hilang? Bisa jadi. Mungkin ada kekuatan yang sedang mencoba menghalangi kita untuk memecahkan teka-teki ini."

"Kekuatan apa?" tanya Ah dalam keraguan.

"Itu tugasmu untuk mencari tahu," kata Cici. "Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan berhati-hati. Semua keanehan ini sepertinya saling terhubung."

***

Setelah menutup telepon dengan Cici, Ah memutuskan untuk pergi ke rumah Bubu. Mungkin ibunya bisa memberikan petunjuk lebih lanjut tentang kain tua itu.

"Bu, aku punya beberapa pertanyaan," kata Ah langsung setelah masuk ke rumah Bubu.

Bubu tersenyum lembut. "Aku tahu, Nak. Duduklah. Ada sesuatu yang ingin Bubu ceritakan."

Ah duduk di kursi tamu, matanya tertuju pada Bubu. "Apa itu, Bu?"

"Kain itu," kata Bubu, menunjuk kain tua yang masih tergeletak di meja, "adalah warisan dari ayahmu. Ayah bilang bahwa kain itu adalah peta."

"Peta?" tanya Ah, bingung. "Peta menuju apa?"

Bubu menggeleng. "Ayah tidak pernah menjelaskan lebih lanjut. Tapi dia selalu berkata bahwa peta itu hanya bisa dibaca oleh orang yang tepat."

"Tepat bagaimana?" tanya Ah, menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Orang yang memiliki hati bersih dan niat baik," kata Bubu. "Itu yang Ayah katakan."

Ah terdiam sejenak. "Jadi, apakah aku pantas membacanya?"

Bubu tersenyum misterius. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."

***

Sebelum Ah sempat bertanya lebih lanjut, telepon genggamnya berdering lagi. Kali ini, panggilan masuk dari Bro Cok.

"Bro, ada apa?" tanya Ah, heran.

"Ah, kamu harus ke kafe sekarang," kata Bro Cok dengan nada cemas. "Ada sesuatu yang aneh terjadi di sini."

"Apa lagi sekarang?" tanya Ah, mulai merasa frustrasi.

"Mesin kopinya mulai menampilkan angka-angka acak lagi," kata Bro Cok. "Tapi kali ini, angka-angka itu membentuk kalimat."

"Kalimat?" tanya Ah, semakin penasaran.

"Iya," kata Bro Cok. "Kalimatnya adalah: 'Mengapa begitu?' "

"Mengapa begitu?" ulang Ah, bingung. "Apa maksudnya?"

"Aku tidak tahu," kata Bro Cok. "Tapi rasanya seperti ada seseorang—orang atau entah apa itu—yang sedang mencoba berkomunikasi denganmu."

***

Di kafe, Ah menemukan Bro Cok duduk di belakang meja kasir, wajahnya tampak tegang. Di layar digital mesin kopi, angka-angka acak terus berubah, membentuk kalimat yang sama berulang-ulang: "Mengapa begitu?"

"Inilah yang aku maksud," kata Bro Cok, menunjuk layar itu. "Apa yang sedang terjadi, Ah?"

Ah menatap layar itu dengan tatapan kosong. "Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya semua keanehan ini saling terhubung."

"Mengapa begitu?" tanya Bro Cok, mengulang kalimat di layar. "Apa yang mereka maksud dengan pertanyaan itu?"

Ah menghela napas. "Mungkin mereka sedang mencoba memberi tahu kita sesuatu. Atau mungkin, mereka hanya ingin membuat kita semakin bingung."

***

Setelah meninggalkan kafe, Ah memutuskan untuk pergi ke laboratorium Cici lagi. Mungkin ada sesuatu yang bisa ia temukan di sana.

"Cici, aku kembali," kata Ah saat masuk ke lab. "Aku butuh bantuanmu lagi."

Cici menoleh dari layar komputernya. "Ada apa, Ah?"

"Aku menemukan sesuatu yang aneh di kafe tadi," kata Ah. "Mesin kopi menampilkan kalimat: 'Mengapa begitu?' "

Cici mengernyitkan dahi. "Kalimat itu muncul berulang-ulang?"

"Iya," kata Ah. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan kain tua itu?"

Cici mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Tapi kalau aku boleh berspekulasi, mungkin ada pola yang sedang kita abaikan."

"Pola apa?" tanya Ah.

Cici menunjuk layar komputer. "Lihat ini. Pola simbol di kain tua itu ternyata membentuk urutan angka tertentu. Dan angka-angka itu... semuanya berakhir dengan enam."

"Angka enam lagi?" tanya Ah, semakin bingung. "Apa artinya?"

Cici menggeleng. "Aku belum tahu. Tapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang sangat besar di balik semua ini."

***

Ketika Ah kembali ke apartemennya malam itu, ia memutuskan untuk mencoba menulis ulang catatan tentang kejadian-kejadian aneh yang dialaminya. Kali ini, ia menggunakan pensil daripada pena, berharap tulisannya tidak akan hilang seperti sebelumnya.

Namun, saat ia mulai menulis, pensil itu tiba-tiba patah tanpa alasan yang jelas. Ia mencoba mengganti pensil baru, tapi yang terjadi sama—pensil itu selalu patah tepat saat ia mulai menulis.

"Inilah yang aku maksud dengan semakin aneh," gumam Ah pelan. "Kenapa aku tidak bisa menulis apa pun?"

Tiba-tiba, lampu kamarnya berkedip-kedip lagi. Dalam kegelapan, ia melihat bayangan angka enam muncul di dinding, sama seperti malam-malam sebelumnya.

"Mengapa begitu?" bisik suara samar di kepalanya, seperti sebuah bisikan dari tempat yang jauh.

"Kenapa aku terus mendengar pertanyaan itu?" gumam Ah, semakin frustrasi.

***

Tiba-tiba, pintu apartemennya diketuk lagi. Ah membuka pintu dan menemukan Pak Entrik berdiri di sana dengan senyum misterius.

"Pak Entrik? Ada apa lagi?" tanya Ah, heran.

Pak Entrik menyodorkan sebuah kotak kayu kecil. "Ini untukmu. Jawabannya ada di dalam sini."

Ah membuka kotak itu dan menemukan secarik kertas bertuliskan:

*"Mengapa begitu? Temukan alasannya."*

"Alasannya apa?" tanya Ah, bingung.

Pak Entrik hanya tersenyum misterius. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."

***

Ah duduk di kursi, memandangi kertas itu dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.

"Apa maksudnya semua ini?" gumamnya pelan.

Tiba-tiba, suara bisikan samar terdengar lagi di kepalanya, seperti malam sebelumnya. Kali ini, suara itu berkata:

"Selamat datang di babak ketiga."

***

Kejadian aneh terus berlanjut malam itu. Saat Ah mencoba tidur, ia mendengar suara-suara aneh dari dapur. Ia bangkit dan pergi ke sana, tapi tidak menemukan apa pun. Namun, di atas meja dapur, ada secangkir teh yang sudah disiapkan—padahal ia yakin tidak membuatnya.

"Siapa yang membuat ini?" tanya Ah keras-keras, tapi tidak ada jawaban.

Ia memutuskan untuk minum teh itu, berharap bisa menenangkan pikirannya. Namun, saat ia menyeruput teh, ia merasakan getaran aneh di tubuhnya, seperti gelombang energi yang mengalir melalui nadinya.

"Apa yang terjadi padaku?" gumam Ah, bingung.

Tiba-tiba, lampu dapur mati total. Dalam kegelapan, ia melihat bayangan seseorang di dinding—tapi bayangan itu tidak sesuai dengan posisi tubuhnya.

"Siapa di sana?" tanya Ah, suaranya gemetar.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan.

***

Keesokan harinya, Ah memutuskan untuk pergi ke taman kota, berharap udara segar bisa membantu meredakan kebingungannya. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria tua yang sedang duduk di bangku taman.

"Hei, Nak," kata pria itu, tersenyum. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Ah terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"

Pria itu tertawa terkekeh. "Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu sedang mencari jawaban atas sesuatu, bukan?"

Ah mengangguk. "Ya. Ada banyak hal aneh yang terjadi padaku akhir-akhir ini."

Pria itu tersenyum misterius. "Mungkin kamu sedang diuji."

"Ujian apa?" tanya Ah.

"Ujian untuk melihat apakah kamu pantas menemukan jawabannya," kata pria itu. "Ingat, Nak, tidak semua pertanyaan bisa dijawab dengan logika."

***

Ah pulang ke apartemennya dengan pikiran semakin penuh tanda tanya. Ia memutuskan untuk menulis ulang semua kejadian aneh yang dialaminya di blognya. Judulnya: *"Keanehan Ketiga: Mengapa Begitu?"*

Namun, saat ia selesai mengetik, tulisan itu tiba-tiba hilang lagi.

"Inilah yang aku maksud dengan semakin aneh," gumam Ah pelan. "Apa yang sedang terjadi?"

***

"ANEH!"