"ANEH!"
***
Pagi itu, Ah bangun lebih awal daripada biasanya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres—bukan firasat buruk, tapi lebih seperti perasaan bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh kejutan. Saat ia membuka tirai jendela, ia melihat seekor kucing hitam duduk di tepi jendela, menatapnya dengan mata yang bersinar aneh.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Kata Ah pelan. Ia mencoba mengusir kucing itu, tapi ia hanya duduk diam tak bergerak sambil menatapnya.
Tiba-tiba, kucing itu membuka mulutnya dan berkata, "Apakah kamu siap untuk menerima jawabannya?"
Ah terlonjak mundur, nyaris menjatuhkan dirinya dari kursi. "Apa? Apakah aku baru saja mendengar kucing berbicara?" Sambil mengernyitkan wajahnya.
Kucing itu tersenyum tipis—ya, benar-benar tersenyum—lalu melompat dan menghilang dari pandangan.
"Aneh sekali kucing bisa tersenyum" gumam Ah, shock. "Apakah aku sedang bermimpi?"
***
Setelah sarapan singkat, Ah memutuskan untuk pergi ke laboratorium Cici lagi, berharap bisa mendapatkan jawaban tentang semua kejadian aneh ini. Di tengah perjalanan, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Seorang anak kecil sedang berdiri di pinggir jalan, memegang balon warna-warni yang tampak normal—kecuali bahwa balon itu melayang... ke bawah.
"Hei, Dik," seru Ah, sambil mendekati anak itu. "Kenapa balonmu melayang ke bawah?"
Anak itu menatap Ah dengan wajah polos. "Ini bukan balon biasa, Om. Ini balon gravitasi."
"Balon gravitasi?" ulang Ah, bingung. "Apa maksudmu?"
Anak itu hanya tersenyum lebar lalu lari menjauh, meninggalkan Ah dengan seribu tanda tanya di benaknya.
***
Sesampainya di lab, Ah langsung disambut oleh Cici yang tampak cemas.
"Cici, ada apa?" tanya Ah, heran melihat ekspresi temannya.
Cici menunjuk layar komputer di depannya. "Lihat ini. Aku mencoba menganalisis kain tua itu lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang baru."
Ah mengernyitkan dahi. "Apa itu?"
"Pola simbol di kain itu ternyata berubah setiap kali aku memindainya," kata Cici. "Seperti... mereka hidup."
"Hidup?" tanya Ah, semakin terkejut. "Bagaimana mungkin simbol-simbol itu bisa berubah?"
Cici menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti—kain itu sepertinya memiliki kesadaran."
"Kesadaran?" ulang Ah, bingung. "Apa maksudmu?"
Cici menunjuk layar komputer. "Simbol-simbol itu tidak hanya berubah, tapi juga membentuk kalimat baru setiap kali aku memindainya. Kalimat terakhir yang muncul adalah: *'Waktu hampir habis.'*"
"Waktu hampir habis?" tanya Ah, semakin gelisah. "Apa artinya?"
Cici mengangkat bahu. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."
***
Sebelum Ah sempat bertanya lebih lanjut, telepon genggamnya berdering. Panggilan masuk dari Bro Cok.
"Bro, ada apa?" tanya Ah, heran.
"Ah, kamu harus ke kafe sekarang," kata Bro Cok dengan nada mendesak. "Ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di sini."
"Apa lagi sekarang?" tanya Ah, mulai merasa frustrasi.
"Display Mesin kopinya tidak hanya menampilkan angka-angka acak," kata Bro Cok. "Kali ini, mesin itu mulai mengeluarkan asap berwarna ungu."
"Asap ungu?" ulang Ah, bingung. "Apa maksudnya?"
"Aku tidak tahu," kata Bro Cok. "Tapi asap itu membentuk pola-pola geometris yang sama persis dengan simbol di kain tuamu."
Ah terdiam sejenak. "Baiklah, aku akan ke sana."
***
Di kafe, Ah menemukan Bro Cok berdiri di belakang meja kasir, wajahnya tampak tegang. Mesin kopi masih mengeluarkan asap ungu yang membentuk pola-pola geometris di udara.
"Inilah yang aku maksud," kata Bro Cok, menunjuk mesin kopi. "Apa yang sedang terjadi, Ah?"
Ah menatap asap ungu itu dengan tatapan kosong. "Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya semua keanehan ini saling terhubung."
"Mengapa begitu?" tanya Bro Cok, mengulang kalimat yang muncul sebelumnya. "Apa yang mereka maksud dengan pertanyaan itu?"
Ah menghela napas. "Mungkin mereka sedang mencoba memberi tahu kita tentang sesuatu. Atau mungkin, mereka hanya ingin membuat kita semakin bingung, he he.."
***
Setelah meninggalkan kafe, Ah memutuskan untuk pergi ke rumah Bubu. Mungkin ibunya bisa memberikan petunjuk lebih lanjut tentang kain tua itu.
"Bu, bolehkan aku bertanya," kata Ah langsung setelah masuk ke rumah Bubu.
Bubu tersenyum lembut. "Aku tahu, Nak. Duduklah. Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan."
Ah duduk di kursi tamu, matanya tertuju pada Bubu. "Apa itu, Bu?"
"Kain itu," kata Bubu, menunjuk kain tua yang masih tergeletak di meja, "adalah warisan dari ayahmu. Dia bilang bahwa kain itu adalah peta menuju sebuah pintu."
"Pintu?" tanya Ah, bingung. "Pintu apa?"
Bubu menggeleng. "Dia tidak pernah menjelaskan lebih lanjut. Tapi dia selalu berkata bahwa pintu itu hanya bisa dibuka oleh orang yang pantas."
Apakah aku orang yang pantas
Bubu tersenyum misterius. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."
***
Keanehan belum berhenti sampai di situ. Saat Ah kembali ke apartemennya malam itu, ia menemukan secarik kertas di atas mejanya. Kertas itu bertuliskan:
*"Waktu hampir habis. Temukan pintunya sebelum terlambat."*
"Siapa yang meninggalkan ini?" gumam Ah, bingung. Ia yakin tidak ada orang lain yang masuk ke apartemennya.
Tiba-tiba, lampu kamarnya berkedip-kedip lagi. Dalam kegelapan, ia melihat bayangan angka enam muncul di dinding, sama seperti malam-malam sebelumnya.
"Mengapa begitu?" bisik suara samar di kepalanya, seperti sebuah bisikan dari tempat yang jauh.
"Kenapa aku terus mendengar pertanyaan itu?" gumam Ah, semakin frustrasi.
***
Tiba-tiba, pintu apartemennya diketuk lagi. Ah membuka pintu dan menemukan Pak Entrik berdiri di sana dengan senyum misterius.
"Pak Entrik? Ada apa lagi?" tanya Ah, heran.
Pak Entrik menyodorkan sebuah kotak kayu kecil. "Ini untukmu. Jawabannya ada di dalam sini."
Ah membuka kotak itu dan menemukan secarik kertas bertuliskan:
*"Pintu itu ada di depanmu. Tinggal dibuka."*
"Pintu apa?" tanya Ah, bingung.
Pak Entrik hanya tersenyum misterius. "Itu tugasmu untuk mencari tahu."
***
Ah duduk di kursi, memandangi kertas itu dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.
"Apa maksudnya semua ini?" gumamnya pelan.
Tiba-tiba, suara bisikan samar terdengar lagi di kepalanya, seperti malam sebelumnya. Kali ini, suara itu berkata:
"Selamat datang di babak keempat."
***
"ANEH!"