Keburukkan Arisa Mulai Terbongkar!

Beberapa saat setelah Putri pergi...

"Mama keterlaluan! Putri pamit baik-baik dan apa yang Mama lakukan?! Papa kecewa dengan sikap Mama!"

Begitu mereka semua masuk ke dalam rumah, Damian sudah tak tahan lagi dan memuntahkan semua kekesalannya pada sang istri yang dinilai terlalu dingin pada anak kandungnya sendiri.

Arisa masih tetap bersedekap dada, memandang acuh tak acuh pada Damian.

"Memangnya Mama harus bersikap gimana lagi, Pah? Toh Mama tetap ikut, kan, melihat Putri pergi tadi? Lagian juga, ngapain sih kudu bangun pagi buta gini, huh?! Kayak nggak ada kerjaan aja!"

Aisyah dan Alex yang masih berada di ruang tamu sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Arisa. Dapat Aisyah rasakan tubuh Alex menegang, seakan menahan emosi atas perkataan mama barusan.

"Apa Mama bilang?! Hei! Putri itu anak Mama, Mah! Putri punya salah apa sebenarnya sampai Mama terus menerus sinis dengannya, huh?!"

Lagi, Damian melotot pada Arisa. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya ini. Hampir 28 tahun mereka berumah tangga, dan sikap Arisa tidak berubah sejak dulu pada Putri.

"Mama nggak mungkin membenci Putri, kan?" lirih Damian menatap dengan pandangan yang sulit ditebak.

Genggaman Alex pada bahu Aisyah semakin menguat kala ayah mertuanya bertanya demikian.

Arisa kemudian mendengus sinis sambil menatap Damian.

"Kalau iya kenapa, Pah? Memang Mama benci sekali sama Putri. Satu penyesalan terbesar Mama adalah melahirkan Putri ke dunia ini!"

Tap! Tap! Tap!

Brak!

Pintu kamar ditutup dengan keras dari dalam oleh Arisa. Mereka bertiga hanya bisa tertegun dengan apa yang barusan dikatakan Arisa.

Damian terhenyak di atas sofa sambil mengusap wajah lelahnya. Ia tahu betul alasan di balik kebencian Arisa pada anak sulung mereka. Ia berpikir seiring waktu berjalan, Arisa benar-benar memaafkan perbuatannya dulu. Namun, nyatanya tidak.

Melihat sang mertua yang terduduk lemas, Alex mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Pah, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku sudah memutuskan akan mengajak Aisyah pindah ke apartemenku sendiri besok siang."

Mendengar penuturan sang suami, jelas saja mengejutkan bagi Aisyah karena Alex tidak mengatakan apa pun soal ini padanya.

"Apa maksud Mas? Kenapa kita harus pindah mendadak gini?!" Jujur saja, Aisyah belum siap meninggalkan rumah dan orang tuanya, terlebih dia tak terbiasa dengan pekerjaan rumah dan sebagainya.

"Sekarang kalian sudah menikah, jadi sudah bukan hak Papa lagi untuk melarang Aisyah ke mana pun. Kamu suaminya, jadi Aisyah harus patuh untuk mendengarkanmu."

Damian hanya mengangguk setuju saat Alex mengutarakan hal tersebut padanya.

"Terima kasih banyak, Pah. Papa kalau butuh bantuan, tolong jangan segan hubungi Alex, ya? Alex siap bantu kapan pun itu."

Damian sedikit tersenyum saat Alex menepuk bahunya. Lantas Alex menuju kamarnya bersama Aisyah untuk mulai berbenah.

"Mas? Mas Alex, tunggu aku! Ckk..." Aisyah sedikit berdecak sebal saat mengikuti suaminya ke kamar.

Tring...!

Ponsel Damian bergetar di saku celana, menandakan ada panggilan masuk.

"Ya, halo? Benar, ini saya sendiri. Hmm? Harus sekarang? Baiklah, Dok. Saya akan ke sana."

Klik.

Panggilan diakhiri...

Damian sedikit bertanya-tanya mengapa Dokter Rizal menghubunginya dan meminta untuk bertemu di rumah sakit. Apa ini ada kaitannya dengan masalah kesehatan Putri?

Jujur saja, dia sangat khawatir, padahal sang anak baru saja berangkat tadi. Tanpa berpamitan dengan sang istri, Damian meraih kunci mobil di gantungan lalu bergegas menuju rumah sakit.

-----

Skip Rumah Sakit

"Maaf sebelumnya jika saya mendadak memanggil Anda kemari, Pak. Tapi ini bukan ranah saya untuk—"

"Ada yang salah dengan anak saya, Dok? Apa penyakit Putri kemarin sangat serius, kah?!"

Belum Dokter Rizal menyelesaikan kalimatnya, Damian telah memotong perkataan dokter tersebut.

Dokter Rizal sedikit menghela napas dan menjelaskan kembali maksud kalimatnya.

"Ini bukan hal yang berkaitan dengan kesehatan anak Anda, Pak Damian. Sebenarnya ini juga bukan ranah saya untuk mengurusi keluarga kalian. Mari ikut saya ke ruangan CCTV."

Damian hanya mengerutkan dahi kala Dokter Rizal bangkit berdiri dan menyuruh dia untuk mengikutinya.

Sesampainya di sana...

"Kamar VIP di rumah sakit ini memang kami pasang CCTV untuk memantau pergerakan yang tidak diinginkan," ujar Dokter Rizal, lalu menyodorkan laptop di hadapan Damian.

"Tolong Anda lihat dan pastikan sendiri kebenarannya. Kejadian ini sudah seminggu lebih yang lalu terjadi, tapi inilah kenyataannya, Pak."

Dokter Rizal menekan tombol play pada rekaman CCTV tersebut. Meski Damian sedikit bingung, dia hanya mengangguk dan mulai menonton rekaman itu.

"Seharusnya aku bisa membunuhmu sekarang, tapi sayang, aku masih perlu kamu untuk memastikan kebahagiaan anakku...."

"Dengar, Putri. Mama mau kamu tetap melanjutkan pernikahan ini, tapi bukan kamu yang akan dinikahi Alex! Aisyah lah yang akan menggantikanmu di pelaminan nanti. Kamu paham, huh?!"

Mata Damian membulat terkejut, dan perlahan wajahnya memerah karena emosi!

Video rekaman CCTV berdurasi 2 menit 20 detik itu jelas sekali memperlihatkan Arisa yang tengah mencekik leher Putri sekaligus mengancamnya!

"Astagfirullah, Arisa! Kau ini benar-benar iblis!"

Kedua tangan Damian mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih menahan amarah yang siap meledak kapan pun!

"Dokter Rizal, bisakah file ini saya minta?" tanya Damian dengan nada datar.

Sang dokter hanya mengangguk dan segera menyalin file tersebut ke ponsel milik Damian.

"Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu..."

Tanpa menunggu balasan apa pun dari Dokter Rizal, Damian lantas bangkit dan bergegas keluar dari rumah sakit. Dia harus segera pulang ke rumah dan mempertanyakan semua ini pada Arisa.

●●●●●

Putri POV

The James, 30 East 29th Street, NY

Aku menarik koper besarku untuk masuk ke dalam apartemen ini. Untung saja kamarku tidak terletak di lantai paling atas karena aku memang fobia ketinggian. Hehe...

"Hmm... kamarnya cukup nyaman juga. Oh woahh... ada jendela besar gini, bisa bikin aku bersantai sesekali kayaknya...."

Aku sedikit berkeliling tiap sudut apartemenku ini. Unitnya tidak besar, hanya satu kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi di sebelahnya.

"Huftt, baiklah Putri... kini saatnya berbenah!"

Aku membuka sweaterku dan menggantungnya di pintu kamar sebelum mulai membereskan berbagai barang-barangku. Apalagi semua buku paket beserta perlengkapan kuliah telah lebih dulu sampai di apartemen ini.

"Hmm... sepertinya besok aku harus ke kampus untuk registrasi kembali. Bentar, tadi kayaknya Pablo ada kasih buku panduan deh... di mana ya?"

Setelah dua jam lebih membereskan semua hal di apartemen ini, aku merebahkan sedikit tubuhku di sofa sambil menatap semburat oranye cerah yang menghias langit Manhattan petang ini.

'Mereka semua apa kabar ya di Jakarta sana? Hmm... baru sehari lebih aku udah rindu Indonesia.'

Aku sedikit memejamkan mataku untuk menghilangkan kepenatan yang masih kurasa. Aku sudah berada di sini, dan akan tetap bertekad untuk menghadapi apa pun ke depannya nanti!

Putri POV END