Kepulangan Si Bungsu

Drap!Drap!Drap!

"Risa! Arisa, keluar kamu!"

Damian dengan raut penuh emosi berjalan memasuki rumah sambil berteriak keras memanggil sang istri.

"ARISA!!!"

Cklek...

"Ckk! Apa sih, Pah?! Datang-datang main teriak, kenapa?!"

Arisa menampilkan wajah yang begitu masam saat keluar dari kamar. Ia sangat jengkel karena sedang tidur siang dan diganggu oleh suara keras Damian.

PLAK!

"Astagfirullah, Papa! Kenapa tampar Mama?! Istigfar, Pah!"

Mendengar suara-suara ribut di luar kamar membuat Aisyah dan Alex spontan keluar dan melihat apa yang terjadi. Aisyah menjerit keras begitu telapak tangan Damian mendarat dengan keras di wajah sang mama hingga tertoleh ke samping.

Wajah Arisa memerah. Ia tak menyangka selama ini menikah dengan Damian, baru kali ini sang suami melayangkan tangan padanya.

Arisa menoleh menatap Damian penuh kekecewaan.

"Apa Papa barusan menampar Mama, huh?! Kenapa, Pah?! KENAPA?!"

Arisa menjerit keras di depan wajah sang suami dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"KAMU JAHAT, ARISA! KAMU IBLIS!!!"

Damian tak mengendurkan emosinya! Tidak ada sedikit pun penyesalan karena sudah menampar sang istri. Ia lantas merogoh saku celana untuk mengambil ponsel miliknya.

"Kamu lihat dan tonton sampai habis!"

Mereka semua bingung dengan apa yang akan diperlihatkan sang ayah. Damian menekan tombol play pada video yang akan diputarnya.

"Nghh... Mah... to...long... khh... ughh..."

"Khh... ughh... iy... iyah, Mah... le... lepas... sa... kitt..."

"Tapi ingat, Putri! Awas saja kau berbohong sama saya dan kamu akan tahu akibatnya nanti! Paham kamu?!"

Uhukk... ughh...

Hiks... hikss...

"MAMA?! APA YANG SUDAH MAMA LAKUKAN PADA KAK PUTRI?! YA ALLAH...!!!"

Aisyah menjerit keras sambil menutup mulutnya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ditontonnya!

"Kenapa Mama lakukan ini sama Putri?! Kenapa Mama ancam Putri?! Jadi ini semua karena Mama?! Karena Mama sampai Putri rela menukar dirinya sendiri dengan Aisyah?! Jawab, Mah!"

Alex sudah tak peduli lagi akan kesopanan. Ibu mertuanya ini sungguh keterlaluan! Baru kali ini ia melihat sendiri perbuatan keji yang dilakukan seorang ibu kandung pada anaknya sendiri.

"A... Aisyah... Ma... Mama bisa jelaskan ini, Sayang! Rekaman ini gak benar! Mereka sengaja menjebak Mama. Mama gak mungkin melakukan ini! Papa bohong, kan?! Dapat dari mana?!"

Arisa begitu panik karena kebusukan dirinya terbongkar di depan suami, anaknya, dan juga menantunya.

"Aku gak nyangka, Arisa. Kamu sekeji itu mau membunuh Putri, huh?! Kamu mengancamnya demi memuluskan rencana pernikahan Aisyah dan Alex, bukan?!"

Air mata Aisyah menetes deras di pipinya, merasa tak kuasa dengan kelakuan buruk sang mama pada kakak sulungnya. Ia berpikir, apa mungkin selama ini Arisa juga menyakiti Putri? Karena dilihatnya sang mama begitu tak suka pada kakaknya.

"Mas Alex, aku mau kita sekarang juga pindah dari sini!"

Aisyah mengusap air matanya dan menatap tegas sang suami. Ia tidak akan kuat lagi berada di rumah ini.

Alex masih memasang wajah datar dan hanya mengangguk. Mereka berdua lalu kembali ke kamar untuk mengambil beberapa koper.

Beberapa saat kemudian...

"Aisyah tidak! Jangan pergi, Nak! Kamu mau ke mana?! Rumah kamu di sini, Sayang, hei!"

Arisa mengejar sang anak dan menantunya dengan panik menuju ke ruang depan. Tidak! Bukan ini yang dia inginkan!

Damian hanya menggeleng, lantas mengikuti mereka ke depan juga. Ia sudah tahu kalau Alex dan Aisyah akan pindah dari rumah ini.

"Aisyah! Mama mohon, Sayang... jangan tinggalin Mama, tolong... hikss..."

Arisa terjatuh duduk sambil memeluk kaki sang anak, tidak rela jika Aisyah harus pergi dari rumah ini.

"Mama lepasin aku! Aku benar-benar kecewa denganmu! Apa mama juga menyakiti Kak Putri, huh?! Jawab, Mah..."

Aisyah dengan keras berusaha melepaskan tangan Arisa dari kakinya, sementara Damian menarik tubuh sang istri untuk berdiri.

"Papa kenapa diam saja?! Tolong bujuk Aisyah, Pah! Mama gak mau pisah dari anak-anak! Alex, tolong jangan bawa Aisyah dari sini, ya? Mama sayang kalian berdua!"

"Apa Mama juga menyayangi Kak Putri?"

Mereka semua sontak menoleh ke arah asal suara. Itu Sandi!

"Dek, kamu pulang?!"

Aisyah pertama kali tersadar dari rasa terkejut dan langsung menghampiri sang adik bungsu.

"Ya, aku pulang, Kak Aisyah."

Sandi tak sempat menghindari pelukan dari kakak keduanya itu. Ia hanya berdehem pelan sambil menepuk punggung Aisyah dan melepas pelukan mereka.

"Aku tanya sekali lagi, Mah. Apa Mama juga menyayangi Kak Putri? Mama bilang menyayangi kami semua, kan? Lantas bagaimana dengan anak sulungmu sendiri?!"

Sandi mengeluarkan nada suara yang agak keras sambil menatap Arisa. Dulu, ia memang beberapa kali memergoki sang mama yang kerap menyiksa Putri jika Papa tak ada di rumah.

Sandi jugalah yang mengobati luka dan memar yang didapatkan sang kakak sulung. Namun saat itu Sandi masih kecil dan hanya diam ketika Putri berbisik lirih menenangkannya.

"Sst, aku tidak apa-apa, Adekku. Jangan bilang sama Papa, ya? Ayo kita janji kelingking... hehee..."

Kini di usianya yang menginjak 21 tahun, di kepalanya masih jelas mengingat beberapa kali pukulan keras Arisa yang dilayangkan pada Putri. Sudah cukup! Ia tak tahan lagi! Ia tak peduli jika di depannya ini adalah wanita yang melahirkannya!

"Mama ternyata gak pernah berubah ya? Dulu Mama selalu menyiksa Kakak kalau Papa pergi kerja. Mama mengurangi jatah makanannya, padahal aku dan Kak Aisyah selalu kenyang tiap waktu makan. Bahkan Mama tega memaksa Kak Putri tetap bekerja meski saat itu tengah sakit parah!"

Aisyah menangis keras di pelukan Alex kala mendengar kejujuran Sandi. Pandangan Alex jelas kecewa, terutama pada dirinya sendiri.

"Risa! Benar apa yang dikatakan Sandi, huh?! Kamu sering menyiksa Putri?! Ya Tuhan, apa salah anakku?! Jawab, Risa!"

Damian terhenyak dengan semua kejujuran yang dibongkar Sandi. Ia begitu buta! Ia percaya dengan segala omongan sang istri, bahkan percaya dengan senyuman yang selalu diberikan Putri padanya.

Ya Tuhan... di balik itu semua ternyata Putri menyimpan kesakitan yang begitu dalam.

Sandi menopang tubuh Damian saat tubuh papanya sedikit oleng ke samping.

"Kenapa kamu bilang?! Hei, kamu lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku, Damian?! KAMU SELINGKUH DAN MENGHAMILI PEREMPUAN LAIN SAAT AKU MENGANDUNG PUTRI!!!"

"AKU BENCI PUTRI! AKU BENCI DIA KARENA SELALU TERINGAT AKAN KEBURUKANMU! KAMU JAHAT, DAMIAN! JAHAT!!!"

BRAK!!!

●●●●●

30 Water St.

Suasana remang-remang klub malam diiringi lantunan musik keras di bawah sana sedikit memekakkan telinga Jake saat dia masuk kemari.

"Pesanan seperti biasa, Tuan?" tanya seorang bartender kala Jake mendekatinya.

Jake hanya mengangguk sambil duduk di sana, mengamati tingkah lincah sang bartender yang meracik minumannya.

Tak!

Dia mengamati jelas warna minuman yang biasa jadi favoritnya di sini—Manhattan Cocktail. Bibir tipisnya menyesap pelan dan sedikit menghirup aroma tajam yang dikeluarkan minuman ini.

"Tidak biasanya kau datang tanpa memberitahuku sebelumnya."

Itu suara Dimitri Karkanof! Dia mendapat laporan dari salah satu bawahannya bahwa Jake datang kemari, dan tentu saja Dimitri bergegas turun.

Dia tak mungkin asal-asalan dalam menyambut donatur penting bagi klub mewahnya ini!

Jake hanya menoleh sedikit sebelum kembali meminum cocktail-nya.

"Hmm, aku sedang bosan dan kuharap kau punya hiburan istimewa untukku..."

Dimitri jelas saja terkekeh akan kalimat Jake. Dia bangkit berdiri sambil mempersilakan Jake untuk menikmati waktunya di sini.

"Tenang saja! Semua kesenangan yang kau inginkan ada di sini, Tuanku! Sstt... bahkan aku punya barang baru, loh. Apa kau ingin mencicipinya?"

Jake tersenyum sinis akan kalimat penuh arti yang dilontarkan Dimitri.

"Sayang sekali, aku harus menolaknya! Kau tahu kan, aku tidak ingin tidur dengan siapa pun!"

Jake menaruh gelas kosong dan uang tip di atas meja. Dia berbalik dan berjalan ke depan dengan santai.

Jake pasti hafal, Dimitri akan segera menyusulnya dan memperlihatkan barang baru tersebut.

Hingar-bingar klub malam semakin menambah suasana malam kota Manhattan ini. Para pencari kesenangan siap berpesta layaknya tak kenal waktu.