Pilihan Yang Sulit Bagi Aisyah

"Mama? Papa? Bukain pintunya, ini Aisyah!"

Cklek...

Pintu terbuka, dan sontak Aisyah memeluk sang ayah dengan erat. Damian sedikit bingung saat mendapati anak keduanya ini yang tiba-tiba memeluk dirinya sambil terisak pelan.

"Aku boleh nginap di sini, Pah? Hikss..."

Damian hanya mengangguk sambil mengelus pundak sang anak, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.

Arisa terkejut mendapati raut sembap sang anak begitu Aisyah dan Damian berjalan mendekatinya.

"Mama... hikss..." panggil Aisyah lirih sambil memeluk Arisa dan mulai terisak kecil dalam pelukan sang ibu.

"Sstt, tenang, Nak. Ada apa, hm? Kok kamu datang-datang langsung nangis begini? Oh ya, mana suamimu? Kalian bertengkar, kah?" tanya Arisa pelan, namun tak ada jawaban dari sang anak.

Aisyah semakin keras menangis saat diusap penuh kehangatan oleh Arisa. Lidahnya kelu, dia tidak mampu mengeluarkan kalimat apa pun selain tangisan.

Damian dan sang istri saling berpandangan bingung. Meski mereka tidak tahu apa masalah yang menimpa sang anak, tetap saja hati orang tua mana yang tak sedih mendengar tangisan anaknya sendiri?

Beberapa saat kemudian...

Cukup lama Aisyah menangis hingga akhirnya dia tertidur di pangkuan sang ibu.

"Pah, apa kita nggak coba hubungi Alex aja? Mama kasihan lihat Aisyah nangis kayak tadi," tanya Arisa pada sang suami.

"Enggak, Mah! Ini permasalahan rumah tangga mereka, dan kita nggak boleh ikut campur. Papa yakin Alex juga nggak akan diam aja biarin istrinya di sini."

Arisa menghela napas pelan dan mengangguk menuruti perkataan Damian.

Sejak dia mulai berubah, Arisa tidak lagi mengurusi hal-hal lain yang bukan urusannya. Dia bahkan menghindari pertemanan toxic di perkumpulan teman seangkatannya dulu.

"Mama harap, apa pun masalah yang dihadapi Aisyah dan Alex, mereka mampu melewatinya," doa Arisa tulus, yang juga diangguki oleh sang suami.

-----

Sudah hampir seminggu...

Aisyah berada di rumah orang tuanya. Selama itu juga, Alex hanya beberapa kali menelepon Damian untuk mengetahui kondisi istrinya.

"Apa Aisyah baik-baik saja di sana, Pah?"

Terdengar suara lelaki di seberang telepon bertanya pada Damian.

Damian sedikit menghela napas, lelah dengan hubungan sang anak dan menantunya ini.

"Aisyah dalam kondisi baik, tapi Papa sarankan kamu segera ke sini dan lihat sendiri. Papa nggak tahu masalah apa yang terjadi sama kalian, tapi lebih baik selesaikan, Alex!"

"Aku tahu, Pah, hanya saja aku belum siap untuk ke sana..."

"Loh, kenapa? Kamu nggak siap ketemu Aisyah, atau ketemu sama Papa dan Mama juga, hm? Jujur saja, semenjak tinggal di sini, Aisyah selalu murung dan tidak bicara sama sekali! Mama kamu juga ikut sedih, Alex. Jangan sampai bikin kondisi Mama drop, ya!"

Alex jelas mengkhawatirkan kondisi sang mertua juga. Dia berpikir keras untuk menimbang, apakah harus ke sana atau tidak.

"Alex, tiap rumah tangga pasti punya masalah, dan Papa harap kamu nggak lari dari masalah apa pun yang sedang kalian hadapi. Ingat, kandungan Aisyah masih sangat rentan. Kamu nggak mau, kan, kerentanan fisik istrimu berdampak pada janinnya, hm?"

"Baiklah, Pah. Besok aku akan ke rumah."

Damian bersyukur dalam hati mendengar putusan sang menantu. Dia hanya berharap rumah tangga anaknya dan Alex bisa membaik.

Skip keesokan harinya...

Damian segera membuka pintu begitu mendapati sang menantu berdiri di depan dengan pandangan letih.

"Masuklah, Lex. Kamu ke dalam aja, ya. Papa sama Mama lagi sibuk layani pembeli. Oh ya, di meja ada makanan, nanti kamu makan saja."

Damian buru-buru mempersilakan Alex masuk sebelum kembali membantu sang istri melayani pembeli siang itu.

Alex hanya mengangguk dan masuk ke ruang tengah. Dia mencoba menyamankan diri di sofa empuk itu.

Keriuhan suara pembeli dari teras samping menunjukkan betapa banyak orang yang datang untuk menikmati bakso dan mi ayam buatan mertuanya.

Alex tersenyum kecil mengingat bahwa dia pun beberapa kali membawa koleganya ke sini untuk mempromosikan usaha kuliner sang mertua.

"Mau apa Mas Alex ke sini?!"

Alex tersentak saat mendengar suara tajam Aisyah yang menghampirinya di ruang tengah.

"Aisyah, ayo kita pulang ke rumah."

"Rumah? Di sini juga rumahku, kok! Mas ngapain aja baru datang ke mari, huh? Sibuk nyari pengganti aku?!"

"Kamu ngomong apa sih? Maksudmu aku selingkuh begitu?! Kenapa jadi nuduh yang aneh-aneh?!" suara Alex tiba-tiba meninggi. Ia kurang istirahat selama beberapa hari terakhir, dan respon sinis Aisyah makin menambah sakit kepalanya.

"Mas berani bentak aku?!"

Melihat respon sang suami, Aisyah semakin melotot sinis.

Alex mengusap rambutnya dengan kasar, bingung menghadapi mood istrinya yang seperti ini.

"Aku cuma ajak kamu pulang, Aisyah. Kamu udah seminggu di rumah Mama dan Papa."

"Cih, ngapain juga aku pulang kalau suami aku sendiri tegas mutusin nggak bakalan bisa cintai istrinya!"

"Aku berusaha jujur, Aisyah! Salah? Lagian, aku sama Putri juga nggak akan bisa bersama!"

"Bohong, Mas! Pasti Mas Alex nungguin Kak Putri pulang dari sana, terus kamu bakal tinggalin aku sama anak ini, kan?! Jawab, Mas!"

"Aisyah!!!" bentak Alex keras.

Kesabarannya habis menghadapi tuduhan Aisyah. Memang, dia masih mencintai Putri, tapi bukan berarti dia akan meninggalkan keluarganya sekarang—terlebih Putri pasti akan membunuhnya jika itu sampai terjadi!

"Kamu dari tadi nuduh yang enggak-enggak! Apa kamu mau bercerai dari saya, huh?! Ayo, biar sekalian saya ladenin permintaan kamu!"

Mata Aisyah nanar menatap Alex. Bukan ini yang dia mau. Dia ingin Alex datang dan membujuknya kembali, bukan bercerai.

"Ka... ka... lian mau pisah? Ke... napa?!"

Sontak Aisyah dan Alex terkejut mendapati Arisa berdiri tak jauh dari mereka.

"Kenapa? Alex, ada apa ini? Kenapa bawa-bawa perceraian segala? Apa yang terjadi pada kalian, huh?!" lirih Arisa menatap anak dan menantunya.

Brugh!

Belum sempat menjawab, Arisa jatuh pingsan tepat di hadapan mereka.

"MAMA!!!"

●●●●●

Gedung Kantor Prosperity Wealth Advisor

Leonard POV

Aku mendatangi kantor paman siang ini karena panggilan mendadak darinya. Kalian nggak salah dengar kok. Pemilik perusahaan ini adalah Richard Hanum Alvaro.

Dia adalah paman tiriku dari pihak ayah. Ibuku merupakan istri kedua dari kakaknya paman, yang telah meninggal lima tahun lalu.

"Tuan Leonard, Anda sudah ditunggu di ruangan pribadi Tuan Besar."

Aku hanya mengangguk dan mengikuti Pablo yang menyambutku. Niat ingin bertanya di mana letak ruangan Putri malah harus kuurungkan dulu.

Beberapa saat kemudian...

"Leonard, akhirnya datang juga! Mari kita makan siang dulu."

Aku sedikit mengernyitkan alis mendapati sambutan paman yang hangat begini. 'Pasti ada sesuatu yang dia inginkan.'

Aku hanya mengangguk, menuruti permintaannya, dan duduk di seberangnya.

Denting suara sendok dan piring terdengar saat kami mulai makan siang.

"Ada perlu apa, Paman, memanggilku ke sini?" tanyaku membuka percakapan.

Paman menghentikan sejenak kegiatannya, lalu memandangku.

"Hmm? Selalu to the point, ya? Baiklah. Paman minta kamu kembali ke New York dan ambil alih urusan perusahaan di sana. Kudengar, kakakmu itu makin jaya saja di sana."

Mendengar kata 'kakak' membuatku langsung menghentikan santap siang ini. Aku mendengus tajam, tidak suka topik itu muncul lagi.

"Kalau aku tidak mau?" tantangku datar.

Paman hanya tersenyum kecil, seakan mengerti, tapi aku tahu itu tak akan menghentikan niatnya.

"Huh? Aku yakin kau tidak akan menolaknya, Leo. Untuk sekarang, pikirkan saja dulu. Jangan terburu menolak."

Aku mengangguk, dan kami kembali melanjutkan makan dalam keheningan.

Selesai makan, aku langsung pamit meninggalkan ruangan paman dan menuju lantai bawah. Aku juga menolak saat Pablo ingin mengantarku karena aku sengaja ingin mencari Putri di divisinya.

"Permisi, apa kau kenal dengan Putri? Dia asisten divisi ini, dan aku perlu bertemu dengannya," tanyaku pada seorang wanita berhijab yang kebetulan lewat.

Wanita itu sedikit terpana memandangku, lalu memalingkan tatapannya.

"Uhh, Putri? Dia sudah hampir tiga bulan ini tidak bekerja lagi di sini."

Aku terpaku sejenak, terkejut mendengar ucapan wanita itu.

"Putri ke mana?!" tanyaku cepat.

"Ah, maaf... Maksudku, karena dia mendapat beasiswa S2 dari presdir di Manhattan, jadi dia sudah resmi mengundurkan diri dari sini," jelas wanita itu kembali.

Aku menghela napas lega, lalu mengangguk pelan, memberi isyarat terima kasih atas informasi itu. Tanpa banyak bicara, aku melangkah pergi menuju area parkir dan masuk ke dalam mobil.

"Huh... tak kusangka semudah ini menuruti permintaan Paman," gumamku sembari menyalakan mesin.

Tanganku refleks menarik dasbor, dan saat itu aku menemukan sebuah ponsel tergeletak di dalamnya.

Ponsel milik Putri—yang rupanya tertinggal saat terakhir kali dia menginap di hotel waktu itu.

"Dasar wanita ceroboh," aku tertawa kecil. "Hehe… tunggu aku di sana, Putri."

Leonard POV END