Tantangan untuk Amara si Bocil

Keesokan harinya, hidup Rendi benar-benar mulai terasa berubah.

Dia baru saja selesai mandi dan turun ke ruang makan ketika mendengar suara gaduh dari ruang tamu. Saat dia melongok, dia melihat Amara yang masih memakai piyama bergambar kartun, duduk di lantai dengan headphone di kepala, tombol keyboard berbunyi cepat, dan suaranya menggema di ruangan.

"Awas, awas! Itu musuhnya di kiri, bego! Aduh, kampret! Kalian ini mainnya kayak bocah PAUD! FIX GOBLOK!"

Rendi memijat pelipisnya. Pagi-pagi sudah begini…

"Amara, bisa lebih pelan dikit gak?" tegurnya sambil berjalan ke meja makan.

Amara hanya melambai tanpa melihat ke arahnya. "Bentar, bentar! Aku lagi ranked! Jangan ganggu!"

Rendi duduk dan mulai makan sarapannya. Tante Mirna keluar dari dapur sambil membawa teh hangat, lalu menatap Amara dengan ekspresi lelah.

"Amara, kamu belum mandi?" tanyanya.

Amara masih fokus ke layar. "Belum. Mager."

Tante Mirna menghela napas. "Amara…"

"Awas, awas! Aduh, mati lagi! Mampus lo!" Amara masih asyik bermain, suaranya makin keras.

Rendi akhirnya menaruh sendoknya. "Kalau kamu mau jadi anak kecil terus, terserah. Tapi kalau kamu serius nggak mau dijodohin, buktikan kalau kamu bisa jadi orang yang lebih dewasa."

Amara langsung menoleh dengan mata menyipit. "Apa maksudmu?"

Rendi menatapnya santai. "Kamu yang bilang kemarin, kan? Kamu bisa berubah kalau mau. Jadi… buktikan."

Amara menyilangkan tangan, memasang ekspresi skeptis. "Buktikan gimana?"

Tante Mirna ikut tersenyum tipis, tampaknya mulai menangkap arah pembicaraan ini. "Bagaimana kalau kamu mulai dengan satu tantangan?"

Amara mengangkat alis. "Tantangan?"

"Ya," kata Rendi. "Mulai sekarang, selama satu bulan, kamu harus hidup lebih disiplin. Bangun pagi, mandi sebelum jam tujuh, berhenti main game tengah malam, dan…"

Dia melirik meja yang penuh bungkus snack dan botol soda. "Mulai makan makanan sehat."

Amara langsung terbelalak. "GILA KAMU?! Itu penyiksaan!"

Rendi hanya mengangkat bahu. "Terserah. Kalau kamu nggak bisa, berarti kamu emang masih bocil."

Wajah Amara memerah. "Hey! Aku bukan bocil! Aku ini cewek independen!"

"Independen nggak akan ngamuk cuma gara-gara dibilang bocil," balas Rendi santai.

Amara menggeram. Dia menatap Rendi tajam, lalu beralih ke ibunya. "Ma, ini tantangan beneran?"

Tante Mirna tersenyum. "Tentu saja. Kalau kamu bisa menjalaninya, mungkin aku bisa mempertimbangkan ulang soal perjodohan ini."

Mata Amara langsung berbinar. "Beneran?! DEAL!"

Rendi tersenyum tipis. Kena jebak juga akhirnya.

Tante Mirna menahan tawa. "Baiklah, kita mulai dari besok. Aku ingin lihat sejauh mana kamu bisa bertahan."

Amara membusungkan dada. "Santai aja! Aku pasti bisa! Aku ini Amara si bocil barbar, apa sih yang nggak bisa aku lakukan?!"

Rendi hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya, dia tahu… bocil barbar ini pasti bakal menyerah dalam hitungan hari.

Keesokan paginya, Rendi terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menguap dan melirik jam dinding pukul 05.30 pagi.

Sejujurnya, dia tidak terlalu peduli dengan tantangan yang dia buat untuk Amara. Dia hanya ingin membuktikan satu hal: Amara tidak akan sanggup bertahan.

Dia turun ke ruang makan, berharap melihat Amara masih mendengkur di kamarnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika melihat sesuatu yang sangat tidak biasa terjadi di rumah ini.

Amara sudah duduk di meja makan.

Mandi.

Berpakaian rapi.

Dan… MINUM SUSU?!

Rendi mengucek matanya, memastikan dia tidak sedang bermimpi. "Kamu siapa? Dan apa yang kamu lakukan pada Amara?"

Amara menoleh dengan senyum lebar. "Selamat pagi, calon suami!"

Rendi merinding. "Jangan panggil aku begitu."

Tante Mirna, yang duduk di seberang Amara, tersenyum puas. "Ternyata dia bisa juga, kan?"

Rendi masih menatap Amara dengan curiga. "Kamu sakit?"

Amara tertawa kecil. "Oh, Rendi sayang, ini baru hari pertama. Lihat aja, aku pasti bisa menjalani tantangan ini selama sebulan!"

Rendi hanya menghela napas dan duduk. Dia mengambil roti dan mulai makan, tapi matanya masih sesekali melirik Amara.

Pagi ini terasa terlalu tenang. Terlalu… aneh.

"Jadi," kata Amara santai sambil menyeruput susunya, "selanjutnya apa? Aku sudah bangun pagi, sudah mandi, bahkan makan sarapan sehat. Aku menang, kan?"

Rendi mendengus. "Ini baru hari pertama, Bocil. Masih ada 29 hari lagi."

Amara menyeringai. "Santai aja. Aku kan Amara si tangguh!"

Tante Mirna tersenyum kecil, tapi dia tetap merasa penasaran. Berapa lama anaknya akan bertahan?

Rendi juga berpikir hal yang sama. Tapi dalam hati, dia sudah tahu jawabannya.

Anak ini pasti tumbang dalam waktu kurang dari seminggu.

Hari pertama tantangan berjalan cukup baik. Amara bangun pagi, mandi, dan makan sarapan sehat. Rendi sedikit terkejut melihat keseriusannya, tapi dia tetap yakin itu hanya semangat sesaat.

Namun, cobaan sejati datang saat malam tiba.

Jam menunjukkan pukul 22.00. Biasanya, di jam segini, Amara masih teriak-teriak di depan komputernya, marah-marah karena kalah di game online atau tertawa sendiri karena menonton anime. Tapi kali ini, dia sudah berbaring di tempat tidur.

Atau setidaknya, dia berusaha.

"Aaaaaargh!" Amara berguling-guling di kasur. "Kenapa aku nggak bisa tidur?!"

Dia melirik jam dinding. 22.15.

"Astaga, ini masih awal banget!"

Biasanya, di jam segini dia baru mulai main game. Tapi sekarang, karena tantangan konyol itu, dia harus tidur lebih awal.

Amara mengambil ponselnya dan membuka chat. Dia mengetik pesan ke Rendi.

Amara: Rend, aku nggak bisa tidur.

Beberapa detik kemudian, balasan datang.

Rendi: Bodoh. Tutup mata dan tidur.

Amara mengerang frustasi. Dia mengetik lagi.

Amara: Aku nggak biasa tidur sebelum jam 2 pagi!

Rendi: Salah sendiri. Ini bagian dari tantanganmu, Bocil.

Amara: Aku serius! Aku beneran nggak bisa tidur!

Tidak ada balasan. Amara mendengus kesal dan memeluk bantal gulingnya.

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit berlalu.

Lima belas menit…

Dan akhirnya, TING!

Sebuah pesan masuk.

Rendi: Oke, coba ini. Tarik napas dalam, buang pelan. Fokus ke suara napasmu sendiri. Jangan pikirkan apa pun.

Amara mengernyit. Apaan sih? Kayak latihan pernapasan ninja aja.

Tapi karena sudah kehabisan ide, dia mencoba juga. Dia menarik napas panjang… lalu menghembuskannya perlahan. Dia ulangi beberapa kali.

Anehnya, setelah beberapa menit, matanya mulai terasa berat.

Wah… beneran bisa ngantuk… pikirnya.

Dan sebelum dia menyadarinya, dia tertidur.

Keesokan Paginya

Rendi sedang duduk di meja makan ketika Amara turun dengan langkah malas. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kusut seperti zombie yang baru bangun dari kubur.

Tante Mirna tersenyum. "Selamat pagi, Sayang! Gimana tidurnya?"

Amara merosot ke kursi dan mengeluh, "Kenapa rasanya aneh tidur jam segitu… Tapi kok aku bangun lebih segar, ya?"

Rendi menyesap tehnya dengan santai. "Karena kamu akhirnya punya pola tidur normal, Bocil."

Amara melotot. "Jangan manggil aku Bocil!"

Rendi hanya menyeringai. "Terserah. Yang jelas, kamu baru berhasil satu hari. Masih ada 28 hari lagi."

Amara mendengus. Tapi diam-diam, dia mulai merasa… mungkin tantangan ini tidak seburuk yang dia kira.

Atau mungkin sebaliknya.