Katanya Kesalahan Teknis

Hari ketiga tantangan dimulai dengan sebuah kehebohan di rumah.

Pagi-pagi, Rendi sedang duduk di meja makan sambil membaca buku ketika tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari lantai atas.

"AARGHHH! AKU TELAT!!!"

Rendi menghela napas panjang. Mulai lagi…

Tak lama kemudian, Amara muncul di tangga dalam keadaan setengah berlari. Rambutnya masih berantakan, kaus kaki sebelah sudah terpasang, sebelah lagi masih di tangannya. Dia langsung menuju meja makan dan mencomot roti, lalu menggigitnya dengan brutal.

Tante Mirna muncul dari dapur dan mengernyit. "Amara? Bukannya kamu sudah mulai bangun pagi?"

Amara mengunyah cepat dan berbicara dengan mulut penuh. "Tadi aku kepeleset waktu mau ke kamar mandi, terus tidur lagi di lantai…"

Rendi menggeleng sambil menyeruput tehnya. "Gagal total, Bocil."

Amara melotot. "Aku gak gagal! Ini cuma… kesalahan teknis!"

"Bangun kesiangan tetap saja bangun kesiangan."

"Diam, kau!" Amara langsung menarik sepatunya dan mencoba memasang kaus kaki yang tadi dia pegang. Tapi karena terlalu buru-buru, dia malah memakai terbalik.

Tante Mirna hanya bisa menghela napas sambil tersenyum kecil. "Amara, kalau kamu mau membuktikan bisa hidup lebih dewasa, kamu harus lebih disiplin. Kalau nggak, Abangmu Rendi akan terus meledekmu."

Amara menatap Rendi dengan tatapan penuh kebencian. "Huh, aku nggak akan menyerah! Hari ini aku akan tetap sukses menjalani tantangan ini!"

Rendi hanya mengangkat bahu. "Terserah."

Siang Hari Masalah Baru

Di sekolah, Amara berusaha menjalani harinya seperti biasa. Tapi ada satu masalah besar: dia mulai ngantuk.

Pelajaran matematika sedang berlangsung, dan guru sedang sibuk menjelaskan di depan. Tapi mata Amara mulai terasa berat.

Kok ngantuk banget, ya… pikirnya.

Dia mencoba bertahan, tapi akhirnya…

PLAK!

Kepalanya jatuh ke meja.

Beberapa teman sekelas menahan tawa. Guru berhenti menulis dan menatap Amara.

"Amara?"

Amara tersentak bangun. "Hah?! Iya, Bu, saya setuju!"

Seluruh kelas meledak dalam tawa.

Guru menghela napas. "Setuju apanya? Ibuk baru saja bertanya siapa yang bisa menjelaskan rumus ini."

Amara berkedip beberapa kali, lalu menoleh ke papan tulis. Dia tidak mengerti apa-apa.

Temannya, Lisa, berbisik, "Lo gak tidur semalam, Mar?"

Amara menguap. "Tidur sih, tapi terlalu cepat… jadi otak gue masih belum adaptasi."

Lisa tertawa pelan. "Salah sendiri mau jadi orang disiplin dadakan."

Amara mendesah. Benar juga sih…

Tantangan ini ternyata lebih sulit dari yang dia kira.

Malam Hari Godaan Sejati

Setelah hari yang melelahkan di sekolah, Amara merasa butuh hiburan. Biasanya, dia akan langsung menyalakan komputer dan bermain game sampai tengah malam. Tapi kali ini, dia harus menahan diri.

Tapi semakin malam, semakin sulit menahan godaan.

Dia melirik ke komputer yang terlihat begitu menggoda di mejanya.

"Lima menit aja…" gumamnya.

Dia duduk dan menyalakan layar. Begitu melihat tampilan game favoritnya, semangatnya langsung kembali.

Dan akhirnya…

TING!

Sebuah pesan masuk di ponselnya.

Rendi: Jangan main game. Aku tahu kamu pasti tergoda.

Amara melotot. "INI ORANG PUNYA KEMAMPUAN SUPRANATURAL APA?!"

Dia menggertakkan gigi dan membalas cepat.

Amara: Aku cuma liat bentar!

Rendi: Matikan komputernya. Tidur. Kalau kamu gagal, siap-siap aku menang taruhan.

Amara mendecak kesal.

Tapi… dia juga tidak mau kalah dari Rendi.

Dengan berat hati, dia mematikan komputernya dan langsung terjun ke kasur.

"Aku pasti bisa… Aku pasti bisa…" gumamnya sebelum akhirnya tertidur.

Sementara dikamarnya, Rendi tersenyum tipis melihat pesan terakhir dari Amara.

"Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan, Bocil."

Hari keempat tantangan dimulai dengan suasana aneh.

Rendi sudah duduk di meja makan lebih dulu, menyesap tehnya sambil membaca buku. Biasanya, sebelum Amara turun, dia sudah bisa mendengar suara teriakannya dari lantai atas, entah karena kesal bangun pagi atau masih ngantuk berat.

Tapi pagi ini… hening.

Rendi melirik ke tangga. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Tante Mirna keluar dari dapur sambil membawa piring berisi telur dadar. "Amara belum turun?"

Rendi menggeleng. "Belum ada suara juga."

Tante Mirna mengernyit. "Aneh. Dia nggak kesiangan, kan?"

Rendi ragu. Biasanya, kalau Amara kesiangan, rumah ini bakal geger. Tapi kalau dia terlalu tenang, itu justru mencurigakan.

Dengan malas, Rendi bangkit dan naik ke lantai atas. Dia mengetuk pintu kamar Amara. "Bocil, bangun."

Tidak ada jawaban.

Dia mengetuk lagi. "Amara?"

Masih tidak ada suara.

Rendi menghela napas dan membuka pintu. "Aku masuk."

Begitu dia melongok kedalam, dia langsung terdiam.

Amara masih tertidur pulas dikasurnya.

Tapi bukan itu yang membuat Rendi syok. Yang bikin dia melongo adalah…

Amara tidur dalam posisi duduk dilantai, bersandar ketempat tidur, dengan bantal ditangan dan headset masih menempel dikepalanya.

Di layar laptopnya, game favoritnya masih terbuka.

Rendi langsung menyeringai. "Kena kau."

Dia berjalan mendekat dan menepuk bahu Amara pelan. "Bocil, bangun."

Amara menggeram pelan dalam tidurnya. "Mmm… lima menit lagi…"

Rendi menahan tawa. "Lima menit dari kapan? Dari tadi malam?"

Amara berkedip beberapa kali, tampak bingung. Dia melirik kelayar laptopnya, lalu kearah Rendi. Saat kesadarannya mulai kembali, ekspresinya langsung berubah drastis.

"A-aku nggak ketiduran! Ini cuma… uhm… aku lagi latihan meditasi!" katanya panik.

Rendi tertawa kecil. "Meditasi sambil main game? Teknik baru, nih?"

Amara buru-buru menutup laptopnya dan berdiri. "Pokoknya aku belum gagal! Aku cuma… sedikit lengah!"

Rendi melipat tangan. "Cuma lengah? Jadi, semalam tidur jam berapa?"

Amara menggaruk kepala. "Ehm… aku lupa…"

Rendi menghela napas panjang. "Kalau gitu, siap-siap aja. Aku menang taruhan."

Amara melotot. "Belum tentu! Aku masih bisa bertahan!"

Rendi menggeleng dan berjalan keluar kamar. "Kalau begitu, buktikan."

Amara mengepalkan tangan. Dia tahu dia hampir ketahuan… tapi dia tidak akan menyerah!

Tantangan ini belum berakhir!

Seharian penuh, Amara merasa lemas akibat begadang semalam. Di sekolah, dia hampir tertidur lagi di kelas, bahkan sempat salah masuk toilet laki-laki gara-gara kepalanya masih belum sinkron dengan dunia nyata.

"Mar, lo beneran gak apa-apa?" tanya Lisa sambil menahan tawa.

Amara menguap lebar. "Aku masih kuat…"

Lisa mendengus. "Kalau kuat, kenapa tadi hampir nyemplung kekolam sekolah?"

Amara menutup wajahnya dengan tangan. "Jangan ingetin itu…"

Di rumah, dia langsung pulang tanpa mampir ke minimarket seperti biasanya. Biasanya, dia nongkrong dulu sambil beli camilan, tapi hari ini dia hanya ingin tidur.

Namun, ketika dia masuk rumah, sebuah suara menyebalkan langsung menyambutnya.

"Bagaimana rasanya kurang tidur, Bocil?"

Rendi duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV. Tatapannya penuh kemenangan.

Amara mendengus, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. "Aku masih bertahan, oke? Ini cuma fase adaptasi."

Rendi menyeringai. "Adaptasi dari jam tidur kelewat malam ke manusia normal?"

Amara melempar bantal kearah Rendi. "Hush! Jangan ganggu aku."

Tante Mirna muncul dari dapur sambil membawa sepiring pisang goreng. "Loh, kok kalian diam-diaman gitu? Biasanya rumah rame gara-gara Amara ribut."

Rendi menoleh santai. "Dia lagi mengalami krisis hidup, Tante."

Amara mendelik. "Aku cuma butuh… hfftt… beberapa jam tidur siang."

Tante Mirna tertawa kecil. "Ya sudah, habis makan, kamu tidur saja."

Namun, begitu Rendi hendak mengambil pisang goreng, Amara tiba-tiba mendekat dengan ekspresi serius.

"Eh, ngomong-ngomong…" Amara menatap mamanya penuh harap. "Tantanganku belum batal kan? Aku masih bisa lanjut?"

Tante Mirna melirik Rendi. "Ya… kalau Rendi setuju."

Rendi mendesah dan menatap Amara. "Aku kasih kesempatan. Tapi kalau ketahuan main game tengah malam lagi, selesai."

Amara tersenyum lebar. "Siap, bos!"

Rendi hanya bisa menggeleng. Dalam hati, dia bertanya-tanya…

Sebenarnya siapa yang lebih keras kepala di sini?

Bab selanjutnya:

Bab 4: Sumpah demi Ayam goreng

Bab 5: Bocil Panda