Sumpah Demi Ayam Goreng

Setelah hampir gagal dalam tantangan, Amara bersumpah dalam hati untuk lebih serius. Dia tidak mau Rendi terus meledeknya. Apalagi, kalau sampai benar-benar kalah, dia tidak akan pernah mendengar akhir dari ejekan Rendi.

Malam itu, sebelum tidur, Amara menulis catatan kecil di buku hariannya.

"Target Hari Ini:

1) Bangun pagi TANPA drama.

2) Tidak tertidur di sekolah.

3) Tidak main game lebih dari 2 jam.

4) Jadi lebih dewasa."

Dengan penuh tekad, dia menutup bukunya dan tidur lebih awal.

Pagi Hari Perubahan Drastis??

Keesokan harinya, Rendi bangun lebih awal seperti biasa. Dia berjalan ke meja makan, berharap melihat Amara masih ngorok di kamar.

Namun, saat dia menoleh ke dapur, dia hampir tersedak.

Amara sudah bangun lebih dulu.

Bukan hanya itu, dia sedang duduk dengan rapi sambil meminum segelas susu. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi setidaknya dia sudah berpakaian lebih rapi dari biasanya.

Tante Mirna yang duduk di sebelahnya tersenyum bangga. "Abang, lihat! Amara bangun tanpa tante panggil!"

Rendi melirik Amara dengan tatapan curiga. "Kamu yakin ini bukan mimpi?"

Amara mendengus. "Hah, dasar meremehkan. Aku bisa berubah kalau aku mau."

Rendi masih tidak percaya. "Terus, kamu tidur jam berapa tadi malam?"

"Jam sepuluh!" Amara menyeringai, lalu menyesap susunya.

Rendi mengangkat alis. "Serius?"

"Serius!" Amara mengangkat tangan 2 Jari. "Sumpah demi ayam goreng favoritku!"

Rendi tersenyum tipis. "Oke, kita lihat apakah kamu bisa bertahan lebih dari sehari."

Tante Mirna tertawa kecil. "Yah, mama sih berharap Amara bisa beneran berubah. Setidaknya jadi lebih teratur, ya?"

Amara menepuk dadanya. "Tenang, Ma! Aku akan jadi gadis yang lebih dewasa dan bertanggung jawab!"

Rendi hanya tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti, Bocil."

Siang Hari: Ujian Kesabaran di Sekolah

Hari itu di sekolah, Amara benar-benar berusaha keras untuk tidak tidur di kelas.

Saat pelajaran matematika, dia menggigit ujung pulpen untuk menahan kantuk. Lisa yang duduk di sebelahnya menatap heran. "Lo kenapa, Mar? Biasanya jam segini lo udah pingsan dimeja."

Amara menguap, tapi tetap berusaha fokus. "Aku harus bertahan. Aku gak boleh gagal lagi!"

Lisa tertawa kecil. "Lo kenapa tiba-tiba serius banget?"

Amara menyeringai. "Karena aku gak mau kalah dari Abangku Rendi!"

Saat jam istirahat, biasanya Amara akan pergi kekantin dan memesan jajanan tidak sehat seperti gorengan dan es teh manis. Tapi kali ini, dia memilih untuk membeli nasi dan sayur.

Lisa menatapnya dengan ekspresi syok. "Siapa kamu dan dimana Amara yang asli?"

Amara tertawa kecil. "Gimana, Lis? Aku sekarang lebih dewasa, kan?"

Lisa meliriknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lo sih kelihatan lebih normal dari biasanya, tapi gue masih belum percaya kalau lo bisa berubah total."

Amara menyuap nasinya dengan penuh percaya diri. "Tunggu aja! Aku pasti bisa bertahan!"

Namun, masalah sebenarnya datang saat jam olahraga.

Guru olahraga meminta mereka untuk melakukan lari keliling lapangan lima putaran. Biasanya, Amara akan mengeluh atau mencari alasan supaya bisa menghindari olahraga. Tapi hari ini, dia ingin membuktikan bahwa dia benar-benar bisa berubah.

"Lima putaran? Gampang!" katanya dengan percaya diri.

Namun, baru diputaran ketiga, dia sudah megap-megap kehabisan napas.

Lisa, yang berlari disebelahnya, menahan tawa. "Mar, lo gak usah maksain juga kali…"

Amara terbatuk dan berjalan pelan. "Aku… harus… bertahan…"

Namun, diputaran keempat, dia menyerah. Dia duduk dipinggir lapangan dengan napas tersengal-sengal.

Lisa duduk di sebelahnya. "Gimana? Masih mau jadi gadis dewasa?"

Amara mengusap keringat di dahinya. "Oke… aku mungkin butuh latihan dulu… tapi aku gak menyerah!"

Lisa hanya tertawa dan menggeleng.

Malam Hari: Godaan Terbesar

Malam harinya, Amara duduk di depan komputernya. Dia sudah menepati janji untuk tidak tidur larut, tapi kali ini ada satu masalah besar.

Event spesial digame favoritnya sedang berlangsung.

Ini adalah event tahunan yang hanya berlangsung selama tiga hari. Jika dia melewatkannya, dia harus menunggu satu tahun lagi untuk mendapatkan hadiah langka.

Amara menggigit bibirnya.

"Kalau aku main sebentar, gak apa-apa kan?" gumamnya.

Dia melihat jam di layar. Pukul 21.30.

Dia bisa bermain selama 30 menit, lalu tidur seperti biasa.

Namun, begitu dia mulai bermain, waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.

Dan tiba-tiba…

TING!

Sebuah pesan masuk dari Rendi.

Rendi: Jangan bilang kamu main game sekarang.

Amara melotot. "INI ORANG KENAPA SELALU TAU?!"

Dengan panik, dia buru-buru menutup gamenya dan membalas pesan Rendi.

Amara: Aku gak main kok!

Rendi: Bocil, aku tahu kamu bohong.

Amara menatap layar dengan wajah pucat. Apakah Rendi punya kamera tersembunyi di kamarku?

Dengan kesal, dia membanting ponselnya ketempat tidur.

Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya memutuskan untuk mematikan komputernya dan langsung tidur.

Tunggu saja, Rendi! Aku pasti bisa menyelesaikan tantangan ini! pikirnya dalam hati.

Sementara itu, di kamarnya, Rendi hanya tersenyum kecil sambil membaca pesan terakhir dari Amara.

"Dia mungkin keras kepala… tapi setidaknya dia berusaha."

Pagi Hari: Kejadian Memalukan

Hari ini, Amara kembali bangun lebih awal. Namun, kali ini, dia bangun dengan kondisi yang sangat tidak biasa dia masih setengah sadar.

Dalam keadaan mengantuk, dia berjalan keluar kamar dengan mata setengah tertutup. Saat tiba diruang makan, Rendi yang sedang duduk menikmati sarapan menatapnya dengan ekspresi aneh.

"Amara…" Rendi memandangnya dari atas sampai bawah.

Amara menguap. "Hmmm?"

Tante Mirna yang sedang menyiapkan teh juga ikut melirik kearah Amara. Lalu, tiba-tiba mereka berdua terdiam.

Amara mengerutkan kening. "Kenapa kalian lihat aku kayak gitu?"

Rendi menahan tawa. "Kamu sadar gak, Bocil?"

"Sadar apaan?" Amara mengerjapkan mata beberapa kali, mulai merasa ada yang aneh.

Tante Mirna akhirnya angkat bicara sambil berdeham pelan. "Sayang, kamu masih pakai… piyama Pikachu-mu."

Amara langsung melongo. Dia melihat ke bawah dan…

Ya Tuhan.

Dia masih memakai piyama kuning Pikachu lengkap dengan tudung telinga dan ekornya yang menggantung di belakang.

Rendi akhirnya tidak bisa menahan tawa. "Pantesan aku merasa ada sesuatu yang aneh."

Amara langsung berteriak kecil dan lari kembali kekamarnya.

"DASAR KALIAN JAHAT!"

Dari bawah, Rendi masih tertawa puas. "Hei, Bocil! Ini baru pagi pertama, udah memalukan kayak gini!"

Amara menggerutu dalam hati. Oke, Rendi. Tunggu pembalasan dariku!

Siang Hari: Amara vs. Pekerjaan Rumah

Setelah kejadian pagi yang memalukan, Amara bertekad untuk membalas Rendi dengan cara yang lebih elegan menunjukkan bahwa dia bisa benar-benar berubah.

Saat pulang sekolah, dia langsung masuk ke rumah dan melihat Rendi sedang duduk di sofa,membaca buku.

Tanpa banyak bicara, Amara langsung menuju dapur dan mulai mencuci piring.

Tante Mirna yang sedang menyiapkan bahan makanan menatap putrinya dengan curiga. "Amara, kamu kenapa tiba-tiba rajin?"

Amara berusaha tetap tenang. "Gak kenapa-kenapa, Ma. Aku cuma ingin membantu."

Tante Mirna mengangkat alis. "Biasanya kalau disuruh cuci piring, kamu selalu ngeles sibuk."

Amara hanya tersenyum manis. "Aku sekarang beda, Ma!"

Namun, saat dia mulai mencuci piring, masalah mulai muncul.

Gelas yang licin hampir tergelincir dari tangannya, tapi untungnya dia bisa menangkapnya tepat waktu. Kemudian, saat dia mencoba menuangkan sabun, dia malah menuangkan terlalu banyak hingga busa meluap kemana-mana.

Rendi yang memperhatikan dari jauh hanya tersenyum kecil.

"Jangan bilang nanti malah dapur yang banjir."

Amara melotot. "Aku bisa kok, gak usah nyinyir!"

Namun, dalam hitungan detik…

BRUK!

Piring yang baru dicuci terlepas dari tangannya dan jatuh kelantai.

Suasana hening selama beberapa detik.

Tante Mirna menghela napas. "Astaga, Amara…"

Amara hanya bisa nyengir. "Ehehe… aku janji bakal ganti piringnya!"

Rendi tertawa kecil. "Jadi ini versi 'dewasa' dari Bocil?"

Amara mendengus. "HUSHHH! Aku masih dalam proses belajar!"

Tante Mirna hanya bisa menggeleng-geleng. "Ya sudahlah, setidaknya kamu mau mencoba. Tapi lain kali, hati-hati, ya?"

Amara mengangguk mantap. "Siap, Ma!"

Rendi menatapnya sambil menyilangkan tangan. "Yah, setidaknya Bocil ini punya niat baik… meskipun tetap ceroboh."

Malam Hari: Strategi Baru

Amara kembali ke kamarnya setelah menyelesaikan semua tugasnya. Kali ini, dia benar-benar ingin membuktikan bahwa dia bisa tidur lebih awal dan tidak tergoda untuk bermain game.

Namun, begitu dia naik ketempat tidur, pikirannya mulai gelisah.

"Apa Rendi masih meragukan aku?"

Dia melirik jam. 21:45.

Dia menghela napas panjang. "Oke, aku harus tidur lebih awal!"

Namun, lima menit setelah memejamkan mata, pikirannya malah semakin liar.

"Bagaimana kalau aku membaca sedikit sebelum tidur? Kan, itu kebiasaan orang dewasa."

Dia mengambil ponselnya dan mulai membaca artikel tentang 'Kebiasaan Orang Dewasa yang Sukses.' Tapi entah bagaimana, dia malah terjebak membaca artikel lain, lalu membuka media sosial, dan sebelum dia sadar…

Pukul 23:30.

Amara langsung terperanjat. "YA AMPUN! Aku keasyikan!"

Dengan panik, dia buru-buru meletakkan ponselnya dan menarik selimut.

Namun, baru saja dia hendak memejamkan mata, notifikasi pesan muncul.

Rendi: Jangan bilang kamu baru tidur sekarang.

Amara menggigit bibirnya. KENAPA DIA SELALU TAU?!

Dengan canggung, dia mengetik balasan.

Amara: Gak kok! Aku udah tidur dari tadi!

Rendi: Bohong. Aku tahu kamu baru aja buka HP.

Amara: …KAMU PUNYA KAMERA DI KAMARKU, YA?!

Rendi: Enggak. Tapi aku kenal kamu, Bocil. Terlalu gampang ketebak.

Amara menggembungkan pipinya kesal.

Amara: Dasar nyebelin… aku beneran mau tidur sekarang!

Rendi: Bagus. Jangan sampai besok kesiangan dan pakai piyama Pikachu lagi keruang makan.

Amara langsung menjerit kecil di dalam selimut. "DASAR MENYEBALKAN!"

Namun, di balik kekesalannya, ada sedikit perasaan aneh di hatinya.

Meskipun Rendi selalu menyebalkan, dia merasa ada seseorang yang benar-benar memperhatikannya.

"Apa Rendi selalu seperti ini… atau aku yang mulai terbiasa dengannya?"

Amara tidak tahu jawabannya.

Yang dia tahu, tantangan ini lebih sulit dari yang dia bayangkan.

Bab selanjutnya:

Bab 5: Bocil Panda

Bab 6: Mikirin nggak tuh'?!!