Meskipun sudah berusaha keras untuk tidur lebih awal, tetap saja Amara gagal. Pada keesokan paginya, dia bangun dalam keadaan mengerikan mata panda, rambut berantakan seperti singa, dan yang paling parah, dia kesiangan.
"YA AMPUN! JAM BERAPA INI?!"
Dia melompat dari tempat tidur, melihat jam di ponselnya 07:15.
Di bawah, suara Rendi terdengar santai. "Amara! Kamu gak sarapan?"
Amara buru-buru keluar kamar dengan wajah panik. "Kenapa gak ada yang bangunin aku?!"
Tante Mirna yang sedang mencuci piring hanya menggeleng. "Mama udah bangunin dua kali. Kamu cuma jawab 'hmmm' lalu balik tidur."
Amara langsung pusing. "Kenapa aku begini… aku kan udah berusaha!"
Rendi, yang sudah rapi dengan seragamnya, hanya menatapnya sambil tersenyum penuh kemenangan. "Jadi ini hasil perubahanmu?"
Amara melotot. "HUSH! Aku masih dalam tahap belajar!"
Tante Mirna tertawa kecil. "Sudah, cepat berangkat. Nanti terlambat."
Amara buru-buru mengambil roti, menggigitnya, lalu berlari ke luar. Tapi saat dia hendak menaiki motornya, Rendi tiba-tiba menyodorkan helm.
"Naik motor aku aja. Kalau kamu bawa motor sendiri, kamu bakal sampai pas pelajaran ketiga."
Amara mengerjap. "Hah? Kamu mau bareng aku?"
Rendi mengangkat bahu. "Kalau aku biarin kamu sendiri, kamu pasti bakal kena hukuman karena terlambat."
Amara ingin protes, tapi akhirnya mengalah. "Baiklah… tapi jangan ngebut!"
Rendi hanya tersenyum. "Pegangan yang kencang, Bocil."
Dan dalam hitungan detik, motor mereka melaju kencang meninggalkan rumah.
Siang Hari: Masalah Baru
Hari ini, sekolah berjalan cukup baik… sampai akhirnya jam istirahat datang.
Amara sedang berjalan di koridor ketika tiba-tiba seorang cowok dari kelas sebelah, Reza, mendekatinya dengan wajah gugup.
"Amara, boleh ngomong sebentar?"
Lisa yang ada di sebelah Amara langsung menggigit bibirnya menahan teriakan. "EH, EH, APA INI?! ADA COWOK NEMBAK LO?!"
Amara, yang masih mengantuk, hanya bisa menatap Reza bingung. "Hah? Ngomong apa?"
Reza menggaruk belakang kepalanya. "Aku… aku suka sama kamu."
SEKETIKA, KORIDOR JADI RIBUT.
Lisa langsung loncat kegirangan. "AMARA DITEMBAK?! INI SEJARAH!"
Amara sendiri membeku. Otaknya masih belum bisa memproses apa yang barusan terjadi. "Tunggu… apa?"
Reza menatapnya dengan gugup. "Aku suka kamu sejak lama… kamu mau jadi pacarku?"
Amara masih tidak bisa berkata-kata. Dia melirik ke sekitar dan melihat banyak teman sekelasnya mulai memperhatikan.
"Aku… aku harus berpikir dulu," jawabnya asal.
Reza tersenyum kecil. "Oke, aku tunggu jawabannya."
Setelah cowok itu pergi, Lisa langsung mencubit lengan Amara.
"LO SADAR GAK?! LO DITEMBAK DI DEPAN ORANG BANYAK!"
Amara masih melongo. "Aku gak ngerti… kenapa dia suka sama aku?"
Lisa mendesah. "DASAR POLOS! Ya mungkin dia suka kepribadian lo yang kocak itu!"
Namun, satu hal yang Amara tidak sadari ada seseorang yang mendengar semua itu dari kejauhan.
Rendi.
Dia berdiri di sudut koridor, menatap Amara dengan ekspresi sulit ditebak.
"Jadi, sekarang Bocil ini punya penggemar?"
Malam Hari: Percakapan yang Aneh
Setelah pulang sekolah, Amara langsung masuk kamar dan berguling-guling di kasurnya.
Lisa terus mengiriminya pesan.
Lisa: Lo bakal terima gak?
Amara: Aku gak tahu… aku belum pernah pacaran…
Lisa: Tapi Reza lumayan loh, baik, pinter, dan ganteng!
Amara menghela napas panjang. Dia masih bingung dengan perasaannya sendiri.
Saat sedang melamun, pintu kamarnya diketuk.
"Amara?"
Amara mengenali suara itu. Rendi.
"Masuk aja," jawabnya malas.
Rendi masuk dengan ekspresi datar, tapi Amara bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
"Jadi," kata Rendi, duduk di kursi dekat meja belajar. "Kamu bakal terima cowok itu?"
Amara terkejut. "Hah? Kok kamu tahu?"
Rendi meliriknya seolah berkata 'Aku tahu semua tentang Bocil sepertimu'.
Amara menggaruk kepalanya. "Aku… aku belum tahu."
Rendi mengangguk pelan. "Kalau kamu terima, pastikan kamu tahu apa yang kamu lakukan."
Amara mengerutkan kening. "Kenapa kamu ngomong gitu? Kamu peduli sama aku?"
Rendi hanya tersenyum kecil. "Aku cuma gak mau kamu bikin keputusan yang bakal kamu sesali."
Amara terdiam. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada sesuatu yang aneh dalam cara Rendi menatapnya.
Seolah-olah… dia benar-benar peduli.
Kesimpulan
Amara berusaha menjadi lebih dewasa, tapi tetap saja kepribadian bocil barbar-nya masih sulit diubah. Dan sekarang, ada masalah baru seseorang menyatakan perasaan padanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bimbang.
Di sisi lain, Rendi mulai menunjukkan ekspresi yang berbeda.
Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Amara masih belum tahu… tapi yang jelas, kehidupannya akan semakin rumit.
Malam itu, setelah percakapan aneh dengan Rendi, Amara berbaring di kasurnya sambil memandangi langit-langit kamar.
Dia tidak pernah berpikir soal cinta sebelumnya. Baginya, hidup adalah tentang bermain, bersenang-senang, dan melakukan apa pun yang dia suka. Tapi sekarang, setelah Reza menyatakan perasaan padanya, semuanya jadi terasa… rumit.
Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Lisa.
Amara: Lis, kalau aku terima Reza, aku harus ngapain?
Lisa langsung membalas cepat.
Lisa: YA AMPUN! Berarti lo ada niat buat nerima?!
Amara: Aku gak tahu…
Lisa: Kalau lo suka dia, ya terima. Tapi kalau lo masih ragu, jangan bikin keputusan gegabah, Mar!
Amara mendesah. Itu masalahnya. Dia bahkan gak tahu dia suka Reza atau enggak.
Saat masih memandangi layar ponselnya, tiba-tiba sebuah pesan lain masuk.
Rendi: Jangan begadang, Bocil. Besok pasti kesiangan lagi.
Amara mendelik.
Amara: Jangan sok tahu!
Rendi: Aku gak sok tahu. Aku cuma tahu kebiasaanmu.
Amara mendengus kesal. Kenapa cowok ini selalu benar?!
Dia akhirnya membuang ponselnya kesamping dan mencoba tidur.
Tapi sebelum benar-benar terlelap, ada satu pertanyaan yang terlintas dikepalanya.
"Kenapa aku lebih banyak kepikiran Rendi daripada Reza?"
Keesokan Harinya: Awal yang Canggung
Seperti dugaan, Amara bangun kesiangan lagi.
Namun, kali ini dia langsung berlari keluar kamar sebelum Mama atau Rendi bisa meledek. Dengan cepat dia mengambil tasnya dan bersiap pergi.
Saat keluar rumah, dia melihat Rendi sudah duduk diatas motornya, menatapnya dengan ekspresi datar.
"Kesiangan lagi?" tanyanya santai.
Amara menggerutu. "Udah diem deh, ayo cepat antar aku!"
Rendi menghela napas lalu menyodorkan helm. "Ayo naik, Bocil."
Dalam perjalanan kesekolah, suasana terasa aneh. Biasanya mereka akan bertengkar atau Amara akan ribut sendiri, tapi kali ini tidak ada yang berbicara.
Amara melirik dan menatap Rendi yang tetap fokus kejalan.
"Kenapa aku merasa canggung? Aku udah biasa naik motor sama dia… tapi sekarang rasanya beda."
Setelah sampai disekolah, Amara buru-buru turun dari motor.
"Thanks, ya," katanya cepat sebelum masuk ke gerbang sekolah.
Rendi tidak menjawab, hanya tersenyum kecil sebelum memarkirkan motornya ketempat parkiran.
Saat Amara masuk ke kelas, Lisa langsung menyergapnya.
"LO HARUS CEBUT JAWAB REZA!"
Amara melongo. "Hah? Kenapa buru-buru?"
Lisa menunjuk kearah Reza yang sedang duduk dipojokan kelas dengan ekspresi canggung. "Kasihan dia nungguin jawaban lo sejak kemarin."
Amara menggigit bibirnya. Dia masih bingung.
Apakah dia harus menerima perasaan Reza? Atau menolaknya?
Dan… kenapa saat dia berpikir soal cinta, wajah Rendi yang selalu muncul di kepalanya?
Konflik dalam Hati
Sepanjang hari, Amara tidak bisa fokus di kelas.
Ketika pelajaran selesai, Reza akhirnya memberanikan diri mendekatinya lagi.
"Amara… kamu udah mikirin jawabannya?"
Amara menatap cowok itu, lalu menghela napas panjang. "Reza, aku…"
Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang menarik tasnya dari belakang.
Ketika dia menoleh, dia melihat Rendi berdiri disana.
"Aku pinjam Amara sebentar," katanya datar.
Amara terkejut. "Hah? Eh, tunggu, kenapa..?"
Rendi tidak menjawab. Dia hanya menarik Amara keluar kelas, meninggalkan Reza yang terdiam kebingungan.
Saat mereka sampai dikoridor yang sepi, Amara melotot kearah Rendi.
"APA-APAAN KAMU?! KENAPA NARIK AKU GITU?!"
Rendi tetap tenang. "Kamu gak bisa asal nerima seseorang cuma karena tekanan."
Amara terdiam.
"Kamu bahkan gak tahu perasaanmu sendiri, kan?" lanjut Rendi.
Amara menghindari tatapannya. Kenapa cowok ini selalu tahu isi kepalanya?
Rendi mendekat, suaranya lebih lembut kali ini.
"Kalau kamu masih ragu, jangan kasih jawaban. Jangan biarin orang lain yang ngatur keputusanmu."
Amara menatapnya lama.
Dan untuk pertama kalinya, dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Kenapa aku lebih nyaman sama dia dibanding orang lain?"
Kesimpulan
Amara semakin bingung.
Dia tidak yakin dengan perasaannya pada Reza, tapi ada sesuatu tentang Rendi yang membuat hatinya gelisah.
Apakah dia mulai menyukai kakak sepupunya sendiri? Atau ini hanya perasaan sesaat?
Satu hal yang pasti hidup Amara semakin rumit.
Lanjutan bab berikutnya:
Bab 6: Mikirin nggak tuh'?!
Bab 7: Bocil Gugup