Mikirin nggak tuh?!!

Perasaan yang Tidak Jelas

Setelah kejadian di sekolah, Amara merasa aneh.

Kenapa tiba-tiba Rendi menariknya pergi seperti itu? Kenapa dia begitu peduli soal keputusannya? Dan yang paling mengganggu… kenapa dia jadi makin sering kepikiran cowok itu?

Malam harinya, dia berbaring di kasur sambil menatap langit-langit.

Pikirannya berkecamuk.

Dia mencoba mengetik pesan untuk Lisa, tapi langsung menghapusnya.

Dia juga mencoba menulis di buku diary-nya, tapi malah jadi corat-coret gak jelas.

"Aku gak ngerti ini perasaan apa…"

Setelah beberapa lama, akhirnya dia menyerah dan mengambil ponselnya untuk mengirim pesan ke seseorang yang mungkin bisa membantunya.

Amara: Rendi, kamu masih bangun?

Tak lama kemudian, balasan datang.

Rendi: Bocil ini tumben chat duluan. Ada apa?

Amara menggigit bibirnya. Haruskah dia bertanya? Tapi bagaimana kalau jawabannya malah bikin dia makin bingung?

Setelah ragu-ragu beberapa detik, akhirnya dia mengetik.

Amara: Gimana cara tahu kalau kita suka sama seseorang?

Beberapa menit berlalu tanpa jawaban.

Amara hampir berpikir Rendi sudah tidur, sampai akhirnya pesan masuk.

Rendi: Kalau kamu gak bisa berhenti mikirin orang itu, kalau kamu nyaman di dekatnya, kalau kamu lebih peduli sama dia dibanding yang lain… mungkin kamu suka.

Amara terdiam lama setelah membaca pesan itu.

Dia menatap ponselnya, lalu berbalik mengubur wajahnya di bantal.

"Astaga… aku kenapa?!"

Hari Berikutnya: Menghindari Rendi

Keesokan paginya, Amara bangun lebih awal ajaibnya.

Tapi kali ini bukan karena niat berubah, melainkan karena dia gak mau ketemu Rendi.

Dia buru-buru mandi, berpakaian, lalu langsung keluar rumah tanpa sarapan.

"Eh? Amara udah berangkat duluan?" tanya Tante Mirna heran saat melihat piringnya masih kosong di meja makan.

Rendi mengernyit. "Tumben. Biasanya juga santai."

Tante Mirna tertawa. "Mungkin dia mulai berubah."

Rendi hanya menghela napas sambil mengambil roti. Tapi di dalam kepalanya, dia merasa ada sesuatu yang aneh.

"Kenapa bocil itu menghindar?"

Sekolah: Makin Ruwet!

Saat sampai di sekolah, Amara langsung mencari Lisa.

"Lis! Tolong aku!"

Lisa yang lagi asyik ngemil langsung tersedak. "Uhuk! Kenapa lo?!"

Amara menunduk frustasi. "Aku bingung banget! Aku mikirin seseorang terus!"

Lisa mengangkat alis. "Reza?"

Amara terdiam. "Bukan."

Lisa makin penasaran. "Terus siapa?"

Amara menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawab. Tapi sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, tiba-tiba suara seseorang terdengar di belakang mereka.

"Kenapa kamu menghindar dari aku?"

Amara membeku di tempat.

Dia menoleh perlahan dan melihat Rendi berdiri di sana dengan ekspresi curiga.

Lisa langsung berseru, "OH?!"

Amara panik. "A-aku gak menghindar kok! Aku cuma… mau lebih cepat sampai di sekolah!"

Rendi menyipitkan mata. "Beneran?"

Amara mengangguk cepat, tapi Lisa justru tertawa kecil di belakangnya.

"Lo aneh banget, Mar," bisik Lisa sambil nyengir. "Biasanya lo tuh ribut sendiri kalau ketemu bang Rendi, tapi sekarang malah kayak anak ayam ketakutan."

Amara ingin membantah, tapi dia tahu Lisa benar.

Kenapa dia jadi aneh begini?

Masalah Baru: Keputusan yang Berat

Hari itu berlalu dengan suasana canggung antara Amara dan Rendi.

Namun, masalah lain masih menunggu.

Saat jam pulang sekolah, Reza kembali menemui Amara.

"Amara… aku tahu ini mendadak, tapi aku butuh jawaban."

Amara menggigit bibirnya.

Dia menatap Reza, lalu melirik ke arah lain dan tanpa sadar, dia mencari Rendi.

Tapi Rendi tidak ada di sekitar.

Reza menunggu dengan sabar. "Aku gak akan maksa kamu, tapi kalau kamu gak bisa, aku cuma mau tahu jawabannya."

Amara mengambil napas dalam.

Lalu, dengan suara pelan, dia menjawab…

"Aku… gak bisa."

Reza terdiam beberapa detik, lalu tersenyum tipis.

"Baiklah. Setidaknya aku udah tahu jawabannya."

Setelah itu, Reza pergi.

Amara masih berdiri di tempat, merasa sedikit bersalah.

Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksakan perasaannya.

Dan lebih dari itu…

"Kenapa aku merasa lega?"

Malam Hari: Percakapan yang Mengejutkan

Malam itu, saat Amara duduk di meja makan, Rendi menatapnya lama.

"Kamu nolak Reza?" tanyanya tiba-tiba.

Amara terkejut. "Kamu tahu?"

Rendi mengangguk. "Lisa cerita."

Amara mendesah. "Ya… aku nolak dia."

Rendi menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Kenapa?"

Amara terdiam.

Dia menunduk, menggenggam sendoknya erat-erat.

"Karena… aku gak bisa bohong sama perasaanku."

Suasana menjadi sunyi.

Lalu, tiba-tiba Rendi berbicara dengan suara pelan.

"Kalau begitu, kamu sudah tahu siapa yang sebenarnya kamu suka?"

Amara tersentak.

Matanya membesar, dan jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Dia mengangkat wajahnya dan menatap Rendi yang tetap tenang.

Di saat itu, dia akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan.

"Jangan bilang… aku suka sama Rendi?"

Kesimpulan:

Amara akhirnya menolak Reza, tapi dia masih bingung dengan perasaannya sendiri.

Namun, setelah pertanyaan Rendi, semuanya mulai terasa lebih jelas.

Tapi… bagaimana jika benar-benar seperti itu?

Bagaimana jika dia benar-benar menyukai Rendi?

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Kenyataan yang Bikin Pusing

Malam itu, Amara tidak bisa tidur.

Dia terus memikirkan kata-kata Rendi.

"Kalau begitu, kamu sudah tahu siapa yang sebenarnya kamu suka?"

Seharusnya dia bisa menjawab dengan mudah. Tapi masalahnya, dia tidak siap dengan jawabannya sendiri.

Bibirnya memang tidak mengucapkan nama siapa pun, tapi di dalam kepalanya, nama Rendi terus berputar.

Ini gila.

Ini gak masuk akal.

Dia dan Rendi selalu bertengkar. Selalu beradu mulut. Selalu saling menjengkelkan.

Lalu kenapa sekarang perasaannya jadi begini?

Amara memeluk bantalnya erat.

"Aku gila! Aku pasti gila!"

Pagi yang Canggung

Keesokan harinya, Amara bangun dengan mata sedikit bengkak. Dia terlalu banyak berpikir semalam.

Saat turun ke ruang makan, dia langsung melihat Rendi duduk dimeja dengan ekspresi santai, menyeruput kopinya.

Tante Mirna tersenyum melihat Amara. "Wah, tumben bangun pagi. Biasanya kamu yang paling terakhir."

Amara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehe… lagi pengen aja,Ma."

Tapi begitu matanya bertemu dengan Rendi, wajahnya langsung memanas.

Apalagi saat Rendi meliriknya dengan senyum tipis.

"Tidur nyenyak, Bocil?" tanyanya ringan.

Amara hampir tersedak air minumnya. "N-nyenyak!"

Rendi terkekeh. "Oh ya? Padahal matamu kelihatan kayak panda."

Amara buru-buru menunduk, merasa semakin gelisah. Kenapa rasanya dia makin menyebalkan sekarang?!

Saat sarapan selesai, Rendi berdiri dan mengambil tasnya.

"Ayo,bareng aku kesekolah."

Amara sebenarnya ingin menolak, tapi dia juga tidak punya alasan kuat.

Akhirnya, dengan langkah ragu, dia mengikuti Rendi keluar rumah.

Perjalanan yang Aneh

Biasanya, dalam perjalanan kesekolah, Amara akan banyak bicara.

Entah itu mengomel, menyebalkan, atau sekadar berdebat dengan Rendi.

Tapi kali ini, dia diam.

Angin pagi menerpa wajahnya, dan dia bisa merasakan punggung Rendi tepat di depannya.

Tiba-tiba dia menyadari sesuatu.

Selama ini, dia selalu naik motor bersama Rendi. Selalu membonceng di belakangnya.

Tapi kenapa baru sekarang dia sadar kalau ini terasa… nyaman?

Amara menggigit bibirnya, merasa pipinya mulai panas.

Apakah dia benar-benar jatuh cinta?

Tidak. Tidak mungkin.

Tapi kalau bukan cinta, kenapa jantungnya berdebar kencang?

Kejadian di Kantin

Saat sampai di sekolah, Amara langsung mencari Lisa.

Dia butuh curhat. Segera.

"Aku rasa aku suka sama seseorang," bisiknya pelan di kantin saat jam istirahat.

Lisa yang sedang minum jus langsung tersedak. "Uhuk! SERIUS?! SIAPA?!?!"

Amara panik. "SSHHH! Jangan teriak-teriak!"

Lisa mendekat dengan mata berbinar. "Ayolah, cepat kasih tahu! Siapa cowoknya?"

Amara menggigit bibirnya, lalu berkata dengan suara nyaris tak terdengar, "Rendi."

Lisa membeku.

Lalu beberapa detik kemudian…

"HAH?!?!"

Semua orang di kantin menoleh ke arah mereka.

Amara buru-buru menarik Lisa kepojokan. "Ssst! Jangan berisik!"

Lisa menatapnya dengan wajah kaget. "Lo bilang… lo suka sama Rendi?! Abang sepupu lo sendiri?!"

Amara mengerutkan kening. "Ya… tapi kan kita bukan saudara kandung…"

Lisa masih shock. "Tapi—tapi—sejak kapan?! Lo kan selalu berantem sama dia!"

Amara mendesah, merasa semakin frustasi. "Aku juga gak tahu, Lis! Aku baru sadar akhir-akhir ini… dan aku gak ngerti kenapa bisa begini!"

Lisa menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.

"Kalau lo suka, ya suka. Gak ada yang bisa ngontrol perasaan, Mar."

Amara menatapnya ragu. "Tapi ini aneh, kan?"

Lisa mengangkat bahu. "Bukan masalah aneh atau enggak. Pertanyaannya sekarang… lo bakal ngaku sama dia atau enggak?"

Amara langsung panik. "Nggak mungkin!"

Lisa terkekeh. "Yakin? Soalnya gue rasa, Bang Rendi juga punya perasaan yang sama."

Amara membelalak. "HAH?!"

Lisa hanya tersenyum penuh arti. "Tunggu aja, pasti nanti ada sesuatu yang bakal bikin semuanya jelas."

Amara menatap Lisa dengan penuh kecurigaan.

Dia berharap temannya itu salah.

Tapi dilubuk hatinya yang paling dalam… dia juga penasaran.

Apakah mungkin… Rendi juga menyukainya?

Dan kalau memang benar… apa yang akan terjadi selanjutnya?