Mimpi Aneh di Tengah Malam
Malam itu, Amara tidur lebih cepat dari biasanya.
Mungkin karena hari ini terlalu melelahkan, atau mungkin juga karena pikirannya sudah terlalu penuh dengan hal-hal yang tidak ingin dia akui.
Namun, di tengah tidurnya yang lelap, dia bermimpi aneh.
Dia berdiri di depan rumah, mengenakan gaun putih panjang yang entah dari mana datangnya. Di hadapannya, ada seorang pria yang membelakanginya.
Punggungnya terlihat sangat familiar.
Saat pria itu berbalik, jantungnya langsung berdegup kencang.
Itu Rendi.
Namun, ekspresinya bukan seperti biasanya. Tidak ada ejekan, tidak ada sindiran, tidak ada tatapan menyebalkan.
Yang ada hanyalah senyuman lembut.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Rendi dalam mimpinya.
Amara menelan ludah, lalu bergumam, "Aku… aku gak tahu."
Rendi tertawa kecil. "Bocil barbar mulai bingung, ya?"
Amara mengerutkan dahi. "Aku bukan bocil!"
Rendi hanya tersenyum dan mengulurkan tangan. "Kalau gitu, ayo."
Amara menatap tangan itu ragu.
"Ayo ke mana?"
"Kemana pun kamu mau," jawab Rendi.
Entah kenapa, Amara merasa ada sesuatu yang mendesak di hatinya. Seolah-olah dia harus mengambil keputusan penting.
Tangannya hampir terulur untuk meraih tangan Rendi, tapi sebelum dia sempat menyentuhnya…
Drrt! Drrt!
Ponselnya bergetar kencang, membangunkannya dari tidur.
Bangun dengan Perasaan Aneh
Amara terbangun dengan jantung masih berdebar.
Dia menatap sekeliling kamar dengan napas memburu, masih merasakan efek dari mimpi aneh itu.
"Kenapa aku mimpi kayak gitu?" gumamnya sambil mengusap wajah.
Saat melihat ponselnya, ternyata itu hanya notifikasi grup sekolah.
Amara menghela napas lega, tapi juga sedikit kecewa.
Kenapa dia merasa ada sesuatu yang belum selesai di dalam mimpinya?
Kenapa dia merasa seharusnya dia menggenggam tangan Rendi?
Pagi yang Lebih Canggung dari Biasanya
Saat turun ke ruang makan, Amara mendapati Rendi sudah duduk di meja seperti biasa.
Namun, kali ini dia tidak berani menatapnya langsung.
"Ayo sarapan," kata Tante Mirna sambil menyajikan makanan.
Amara duduk dan mulai makan, tapi suasana diantara dia dan Rendi terasa berbeda.
Biasanya mereka akan berdebat tentang hal sepele. Tapi pagi ini… tidak ada yang berbicara.
Tante Mirna melirik keduanya. "Kalian kenapa? Tumben gak ribut."
Amara buru-buru menggeleng. "Gak ada apa-apa, Ma."
Rendi hanya tersenyum tipis dan melanjutkan sarapannya tanpa berkata apa-apa.
Tapi itu justru membuat Amara makin gelisah.
Di Sekolah: Gangguan dari Lisa
Saat istirahat, Lisa langsung menarik Amara kepojokan.
"Lo kenapa? Dari tadi gue lihat lo kayak orang yang lagi kepikiran sesuatu."
Amara mendesah. "Gue mimpi aneh semalam."
Lisa langsung antusias. "Mimpi apa?!"
Amara menggigit bibirnya, lalu berkata pelan, "Gue mimpi Rendi."
Lisa membeku beberapa detik, lalu tertawa keras.
"HAHAHAHA! LO UDAH JATUH CINTA PARAH, MAR!"
Amara buru-buru menutup mulut Lisa. "SSSHH! Jangan keras-keras!"
Lisa melepas tangan Amara sambil menahan tawa. "Serius, mimpi kayak gitu tuh tanda kalau alam bawah sadar lo udah sinkron kalau lo suka sama dia!"
Amara mengernyit. "Tapi ini aneh, kan?"
Lisa mengangkat bahu. "Perasaan itu gak bisa dipilih, Mar. Mau aneh kek, mau enggak, kalau hati lo udah milih, ya udah."
Amara mendesah. "Gue beneran gak ngerti harus gimana."
Lisa menyengir. "Tenang aja. Biasanya, kalau udah kayak gini, bakal ada kejadian yang bikin lo sadar sepenuhnya."
Amara menatap Lisa curiga. "Maksud lo?"
Lisa hanya tersenyum misterius. "Tunggu aja. Pasti bakal ada sesuatu yang terjadi antara lo dan Rendi."
Momen Tak Terduga
Sepulang sekolah, Amara berjalan ke parkiran sambil mengeluh dalam hati.
Lisa tadi sempat bilang, "Lo bakal dapet momen dramatis!" Tapi sampai sekarang, gak ada apa-apa yang terjadi.
Dia baru saja ingin naik ke motor Rendi ketika tiba-tiba…
Hujan deras turun begitu saja.
Amara terkejut dan refleks mundur, sementara Rendi hanya menatap langit dengan santai.
"Hujan," gumamnya.
Amara menggerutu. "Iya, hujan! Terus kita gimana?"
Rendi menatapnya sebentar, lalu melepas jaketnya dan menyodorkannya ke Amara.
"Pakailah."
Amara membeku. "Hah?"
Rendi menghela napas. "Kamu bakal kedinginan kalau basah kuyup."
Amara ragu-ragu, tapi akhirnya menerima jaket itu dan memakainya.
Dan saat itulah dia sadar… jaket ini berbau Rendi.
Jantungnya berdebar lebih kencang.
Di bawah hujan yang semakin deras, mereka akhirnya berteduh dibawah atap kecil dekat parkiran.
Tidak ada kata-kata di antara mereka.
Hanya suara hujan yang jatuh membasahi tanah, dan detak jantung Amara yang entah kenapa terdengar lebih jelas daripada biasanya.
Lalu, tanpa dia sadari, dia mulai tersenyum kecil.
Mungkin Lisa benar.
Mungkin dia memang benar-benar jatuh cinta.
Dan mungkin, dia harus mulai menerima perasaannya sendiri.
Keheningan yang Mengganggu
Amara masih berdiri di bawah atap kecil dekat parkiran, menatap hujan yang terus turun deras. Jaket Rendi yang kini ia pakai terasa hangat, tapi entah kenapa, hatinya malah semakin dingin.
Dia melirik ke samping. Rendi berdiri di sebelahnya, terlihat begitu tenang.
Tidak seperti dirinya yang hampir meledak oleh kegelisahan.
Kenapa sih cowok ini selalu santai? Kenapa dia gak pernah terlihat canggung, sementara Amara sendiri merasa ingin kabur dari tempat ini?
Perasaannya semakin kacau.
"Kenapa diam aja?" tanya Rendi tiba-tiba.
Amara tersentak. "Hah?"
Rendi menoleh ke arahnya dengan ekspresi santai. "Biasanya mulut kamu gak bisa diem. Sekarang malah anteng."
Amara menggigit bibir. "Lagi gak mood ngomong aja."
Rendi menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Atau mungkin kamu lagi mikirin sesuatu?"
Amara terkejut.
Apakah dia tahu?
Gak mungkin. Dia gak mungkin tahu.
"Enggak," jawab Amara cepat. "Gak ada yang aku pikirin."
Rendi masih menatapnya dengan tatapan yang seolah bisa membaca pikirannya. Lalu dia menghela napas.
"Kamu suka hujan?" tanyanya tiba-tiba.
Amara mengernyit. "Kenapa nanya itu?"
"Jawab aja."
Amara melipat tangan di dada. "Dulu aku suka. Tapi sekarang, entahlah…"
Rendi tersenyum kecil. "Kenapa dulu suka?"
Amara menatap hujan di depan mereka, lalu berkata pelan, "Karena dulu, setiap hujan turun, aku selalu merasa tenang. Seolah-olah semua masalah bisa hanyut bersama airnya."
Rendi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Lalu kenapa sekarang gak suka lagi?"
Amara menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab.
Kenapa ya?
Dulu hujan selalu jadi pelariannya. Tapi sekarang, saat dia berdiri di sini bersama Rendi, hujan malah membuatnya semakin gelisah.
Karena sekarang, hujan malah membawa banyak pertanyaan dalam hatinya.
Dekat, Tapi Jauh
"Amara."
Nada suara Rendi tiba-tiba terdengar lebih serius.
Amara menoleh. "Apa?"
Rendi menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku mau tanya sesuatu."
Jantung Amara berdegup lebih cepat. "Tanya apa?"
"Kalau misalnya…" Rendi terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "…kalau misalnya ada seseorang yang selalu berantem sama kamu, selalu bikin kamu kesal, tapi di sisi lain dia juga selalu ada buat kamu, kira-kira perasaan kamu ke orang itu apa?"
Amara membeku.
Dia tahu arah pembicaraan ini.
Tapi dia tidak siap.
Sama sekali tidak siap.
"Aku…" Amara menelan ludah. "Aku gak tahu."
Rendi tersenyum tipis, lalu kembali menatap hujan. "Ya. Aku juga gak tahu."
Deg.
Perkataan Rendi terasa seperti pukulan keras di dada Amara.
Maksudnya apa?
Kenapa Rendi juga bilang dia gak tahu?
Kenapa rasanya seperti mereka berdua ada di situasi yang sama?
Hujan masih turun deras, tapi diantara mereka, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rintik air yang jatuh.
Sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.
Dan Amara sadar…
Ini bukan lagi sekadar main-main.
Ini bukan lagi sekadar hubungan bocil bar-bar dan Abang sepupu yang menyebalkan.
Ini lebih dari itu.
Dan itu menakutkan.
Sangat menakutkan.
Langkah yang Salah?
Setelah hujan mulai mereda, mereka akhirnya naik kemotor dan pulang.
Sepanjang perjalanan, Amara diam.
Biasanya dia akan banyak bicara. Mengomentari cara Rendi mengendarai motor, atau sekadar mengoceh tentang hari-harinya di sekolah.
Tapi kali ini, dia hanya diam.
Karena pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Dan dia takut mencari jawabannya.
Saat sampai di rumah, Rendi memarkir motor, lalu menoleh ke Amara.
"Kamu kenapa?" tanyanya pelan.
Amara terkejut. "Kenapa apa?"
"Kok dari tadi diem terus?"
Amara menggigit bibir. "Gak apa-apa."
Rendi menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya menghela napas.
"Oke," katanya singkat. "Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja."
Setelah itu, dia masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Amara masih berdiri dihalaman, menatap punggung Rendi yang menjauh.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin mengejar pria itu.
Tapi dia tidak bisa.
Karena dia tahu…
Jika dia mengejar sekarang, tidak akan ada jalan untuk kembali.