Jatuh Cinta Itu Menyebalkan

Sejak kejadian di parkiran kemarin, Amara merasa ada yang berubah dalam dirinya.

Biasanya, setiap pagi, dia akan menyapa Rendi dengan teriakan atau ledekan saat bertemu di meja makan. Tapi pagi ini, dia hanya duduk diam, sibuk dengan sarapannya.

Bukan karena lapar.

Tapi karena dia takut bertatapan dengan Rendi.

Tante Mirna melirik mereka berdua sambil menyipitkan mata. "Kalian kenapa? Tumben gak ada ribut-ribut pagi ini?"

Amara dan Rendi sama-sama diam.

Tante Mirna menghela napas. "Duh, ini malah lebih aneh. Biasanya ribut, sekarang diem-dieman. Kalian tuh kenapa sih?"

Amara buru-buru menggeleng. "Gak ada apa-apa, Ma."

Rendi juga hanya tersenyum tipis. "Iya, gak ada apa-apa."

Tapi justru karena jawaban mereka terlalu cepat dan terlalu kompak, Tante Mirna malah makin curiga.

"Ah, pasti ada yang gak beres," gumamnya pelan.

Tapi Amara tidak berani menanggapi lebih lanjut. Dia hanya fokus menghabiskan makanannya secepat mungkin agar bisa segera pergi kesekolah.

Karena semakin lama dia berada di sini…

Semakin sulit baginya untuk menghindari kenyataan.

Di Sekolah: Momen yang Mengejutkan

Setibanya di sekolah, Lisa langsung menyergap Amara begitu dia keluar dari gerbang.

"Lo kenapa sih?" serang Lisa tanpa basa-basi.

Amara mengernyit. "Kenapa apaan?"

Lisa menyilangkan tangan di dada. "Lo keliatan bukan Amara yang biasanya."

Amara mendesah. "Maksud lo?"

Lisa mendekat dan berbisik, "Biasanya lo tuh bocil bar-bar yang berisik dan suka ngomel-ngomel. Tapi sekarang, lo diem kayak patung. Itu bukan lo!"

Amara terdiam.

Apa dia sejelas itu berubah?

Lisa menatapnya penuh selidik. "Ini gara-gara Bang Rendi, kan?"

Amara tersentak. "Hah?!"

Lisa menyeringai. "HAHAHA! BENERAN NIH! LO JATUH CINTA BENERAN SAMA DIA!"

Amara buru-buru membekap mulut Lisa. "Ssttt! Jangan keras-keras!"

Lisa tertawa sambil menarik tangan Amara menjauh. "Udah, ayo cerita! Lo gak bisa ngelak lagi!"

Amara menghela napas panjang. "Gue gak tahu, Lis… Gue beneran gak ngerti sama perasaan gue sendiri."

Lisa tersenyum penuh arti. "Gak usah dipikirin, Mar. Kalau lo mulai mikirin perasaan lo, berarti emang ada sesuatu yang beda. Itu tandanya lo udah lebih dari sekadar peduli sama dia."

Amara menggigit bibirnya. Benarkah begitu?

Sebuah Insiden di Kantin

Saat jam istirahat, Amara dan Lisa pergi ke kantin seperti biasa.

Namun, begitu sampai di sana, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Amara melihat seorang cewek dari kelas 12 duduk sangat dekat dengan Rendi.

Bukan hanya duduk dekat, tapi cewek itu juga berani menyentuh lengan Rendi!

DEG!

Amara tidak tahu kenapa, tapi dadanya langsung terasa panas.

Kenapa dia tiba-tiba kesal?

Kenapa rasanya ada sesuatu yang menusuk hatinya?

"Aduh, kayaknya ada saingan, nih," bisik Lisa di sebelahnya.

Amara berusaha mengabaikan perasaannya. "Bodo amat. Urusan dia."

Tapi tetap saja…

Saat melihat cewek itu tertawa manja di depan Rendi, Amara tidak bisa menahan emosinya.

Tanpa sadar, dia melangkah mendekat.

Lisa yang melihat itu langsung terkejut. "Eh, lo mau ngapain?"

Amara tidak menjawab.

Dia hanya terus berjalan sampai akhirnya berdiri di depan Rendi dan cewek itu.

Cewek itu menatap Amara dengan bingung. "Eh? Kenapa, Amara?"

Amara menatap Rendi dengan tatapan tajam.

"Rendi, gue haus," katanya ketus.

Rendi mengernyit. "Terus?"

Amara melipat tangan di dada. "Belikan minum. Sekarang."

Rendi terkejut beberapa detik, tapi lalu tersenyum tipis. "Oh? Bocil bar-bar mulai ngambek, ya?"

Amara mengerucutkan bibir. "Gak usah banyak bacot. Gue nunggu."

Rendi masih menatapnya beberapa saat, lalu bangkit dari kursinya tanpa berkata apa-apa.

Dia pergi ke arah penjual minuman, meninggalkan Amara dan cewek itu dalam keheningan.

Cewek itu menatap Amara dengan tatapan penuh tanya. "Kamu sama Rendi… ada hubungan apa?"

Amara menoleh ke arahnya dan menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

"Dia tunangan gue," katanya santai.

Cewek itu langsung terkejut. "Hah?! Serius?"

Amara tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, lalu berjalan pergi sebelum Rendi kembali.

Lisa menyusulnya dengan ekspresi setengah syok, setengah kagum.

"Gila, Mar! Lo barusan ngeklaim Rendi depan orang lain!"

Amara baru sadar apa yang dia lakukan.

Dan saat itu juga, dia tahu…

Tidak ada jalan untuk mundur.

Akhirnya, Dia Mengakui

Sepulang sekolah, Amara duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang perlahan berubah jingga.

Pikirannya masih penuh dengan kejadian di kantin tadi.

Kenapa dia begitu marah saat melihat Rendi bersama cewek lain?

Kenapa dia refleks mengatakan hal itu?

Dan yang lebih penting…

Kenapa hatinya terasa lega setelah dia mengatakannya?

Amara menghela napas panjang.

Lalu akhirnya…

Untuk pertama kalinya, dia berani mengakui perasaannya sendiri.

Dia suka Rendi.

Bukan sekadar benci-tapi-butuh.

Bukan sekadar kebiasaan bertengkar.

Bukan sekadar tunangan yang dijodohkan.

Tapi perasaan yang nyata.

Dan sekarang, dia harus menghadapi kenyataan itu.

Kebingungan yang Tak Bisa Ditutupi

Amara masih duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang perlahan berubah jingga.

Jantungnya masih berdebar sejak kejadian dikantin tadi siang.

Dia benar-benar mengklaim Rendi didepan cewek lain.

Dan yang lebih mengejutkan dari itu…

Dia tidak menyesal.

Justru, dia merasa lega.

Tapi masalahnya, sekarang dia harus menghadapi kenyataan bahwa perasaannya pada Rendi bukan lagi sekadar iseng atau kebiasaan bertengkar.

Ini sungguhan.

Dan itu sangat menyebalkan.

Amara mengacak rambutnya frustasi.

"Aduh! Kenapa sih gue jadi begini?!" gerutunya.

Sayangnya, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya.

Rendi yang Terlalu Tenang

Saat makan malam, Amara berusaha bersikap biasa saja.

Tapi Rendi…

Cowok itu malah makin menyebalkan.

Dia duduk di seberang Amara dengan ekspresi santai seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi.

Bahkan setelah apa yang Amara lakukan di kantin tadi siang, Rendi tidak mengungkitnya sama sekali.

Dia gak ngomong apa-apa!

Ini yang bikin Amara tambah kesal.

Kenapa dia bisa santai?

Kenapa dia gak bereaksi sama sekali?!

"Amara," suara Tante Mirna menyadarkan pikirannya.

Amara tersentak. "Eh? Apa, Ma?"

"Kamu kok diem aja?" Tante Mirna menatapnya curiga. "Biasanya kalau makan malem bareng Bang Rendi, kamu pasti banyak ngomel. Sekarang malah diem."

Rendi tersenyum tipis. "Mungkin dia lagi sibuk mikirin sesuatu, Tan."

DEG!

Amara langsung melotot ke arah Rendi.

Cowok ini pasti sengaja!

"Aku gak mikirin apa-apa!" Amara buru-buru menyangkal.

Rendi terkekeh pelan. "Oh, gitu?"

Amara ingin melempar sendok ke wajahnya.

Tapi dia menahan diri.

Karena kalau dia bereaksi lebih jauh, dia pasti bakal ketahuan.

Hati yang Tak Bisa Bohong

Malam itu, Amara tidak bisa tidur.

Dia bolak-balik di tempat tidurnya, mencoba mengabaikan perasaan yang terus mengganggu pikirannya.

Tapi semakin dia mencoba, semakin dia sadar…

Dia benar-benar jatuh cinta sama Rendi.

Dulu, dia selalu berpikir bahwa Rendi itu menyebalkan, terlalu serius, dan tidak cocok untuknya.

Tapi sekarang, setiap kali dia melihat Rendi, dadanya selalu terasa aneh.

Setiap kali Rendi tersenyum tipis, jantungnya berdetak lebih cepat.

Setiap kali cowok itu berbicara padanya, Amara ingin mendengarnya lebih lama.

Ini semua menyebalkan.

Karena sekarang, dia tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa dia benar-benar menyukai tunangannya sendiri.

Dan itu menakutkan.

Karena dia tidak tahu…

Apakah Rendi juga merasakan hal yang sama?