Dibayangi Perasaan Sendiri
Sejak malam itu, Amara semakin sulit bersikap biasa.
Dia masih belum siap mengakui perasaannya pada Rendi,bahkan pada dirinya sendiri. Tapi semakin dia mencoba mengabaikannya, semakin dia sadar kalau dia gak bisa.
Dan itu sangat mengganggu.
Pagi ini, dia duduk di meja makan, berusaha fokus pada sarapannya.
Tapi mata Tante Mirna menatapnya penuh selidik.
"Kamu kenapa lagi, Mar? Masih diem-dieman sama Rendi?" tanyanya sambil melirik kearah Rendi yang duduk diseberang Amara.
Amara refleks tersedak. "UHUK! Gak kok,Ma! Aku baik-baik aja!"
Tante Mirna makin curiga. "Masa sih?"
Rendi, yang sedari tadi terlihat santai, tiba-tiba menatap Amara dan bertanya, "Amara, kamu yakin baik-baik aja?"
DEG!
Nada suaranya terdengar penuh makna.
Seolah… dia tahu sesuatu.
Amara buru-buru meneguk air. "Jelas! Gue sehat, fit, gak ada masalah!"
Rendi hanya tersenyum tipis.
Tapi senyumnya itu…
Bikin Amara makin gak tenang.
Dikejar Lisa
Di sekolah, Lisa lagi-lagi menyergap Amara di depan kelas.
"Jujur, lo masih kepikiran soal Bang Rendi, kan?"
Amara mendesis. "Bisa gak lo gak mulai pagi-pagi gini?"
Lisa melipat tangan di dada. "Oh, jadi bener? Lo masih denial?"
Amara menghela napas panjang. "Gue gak denial…"
Lisa menaikkan alis. "Oh ya? Jadi lo mau ngaku kalau lo beneran suka Bang Rendi?"
Amara terdiam.
Dan di situlah Lisa tahu jawabannya.
Lisa menyeringai lebar. "HAHAHA! Bener kan?!"
Amara langsung membekap mulut Lisa. "Ssttt! Jangan teriak-teriak, nanti ada yang denger!"
Lisa terkikik. "Udah, Mar… lo gak usah malu ngakuin."
Amara memutar bola matanya. "Gue gak malu…"
Lisa mendekat dan berbisik, "Kalau gak malu, bilang aja ke Bang Rendi."
Amara langsung membeku.
"…Apa?"
Lisa mengangguk. "Iya, bilang aja. Kalau lo suka dia."
Itu terdengar seperti ide paling mengerikan di dunia.
Amara langsung menggeleng keras. "NO! Gue gak mungkin ngomong gitu ke dia!"
Lisa terkekeh. "Kenapa? Takut?"
Amara terdiam.
Takut?
Iya.
Dia takut.
Takut kalau setelah dia mengakui perasaannya, hubungan mereka bakal berubah.
Takut kalau Rendi tidak merasakan hal yang sama.
Dan yang paling menakutkan…
Takut kalau dia bakal kehilangan Rendi setelah semuanya terungkap.
Ketika Hati Gak Bisa Diam
Sepulang sekolah, Amara berusaha menghindari Rendi.
Tapi sekeras apapun dia mencoba, tetap saja mereka pasti bertemu.
Dan kali ini, Rendi sepertinya sadar kalau ada yang aneh dengan Amara.
Saat mereka sampai di rumah, Rendi menahan langkahnya di depan pintu.
"Amara," panggilnya pelan.
Amara, yang tadinya mau masuk duluan, langsung mendadak kaku.
"Apa?" jawabnya dengan suara yang sengaja dibuat cuek.
Rendi menatapnya beberapa saat, lalu tersenyum samar.
"Kamu aneh," katanya santai.
Amara tersentak. "Apa maksud lo?"
Rendi memasukkan tangannya ke dalam saku. "Kamu… bukan Amara yang biasanya."
DEG!
Dia menyadarinya.
Rendi melanjutkan, "Biasanya kamu selalu cari gara-gara, selalu berisik, selalu nyebelin… Tapi sekarang, kamu malah sibuk menghindar."
Amara menggigit bibirnya. "Gak ada yang berubah," sangkalnya cepat.
Rendi menyipitkan mata, seolah menilai sesuatu.
Lalu tiba-tiba, dia melangkah lebih dekat.
Jarak mereka sekarang hanya beberapa senti.
Dan sebelum Amara sempat mundur, Rendi membungkukkan tubuhnya sedikit, hingga wajahnya sejajar dengan Amara.
"Kalau gak ada yang berubah," bisiknya pelan, "kenapa kamu kelihatan gugup?"
DEG! DEG! DEG!
Jantung Amara nyaris meledak.
Dia buru-buru mundur dan menunduk. "Gak usah sotoy, deh!"
Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia langsung kabur ke kamarnya.
Dia tidak bisa.
Dia belum siap menghadapi ini.
Karena kalau dia tetap disana lebih lama, dia takut dia benar-benar akan jujur.
Dan saat ini, itu adalah hal yang paling tidak ingin dia lakukan.
Benci Tapi Rindu
Amara mengunci dirinya di kamar selama berjam-jam.
Bukan karena takut, tapi lebih ke… bingung.
Kenapa Rendi bisa tahu kalau dia aneh?
Kenapa cowok itu bisa langsung membaca pikirannya?
Apa dia sadar kalau Amara mulai suka padanya?
"Aduh, ini semua gara-gara Lisa! Kenapa gue harus mikirin perasaan sendiri?" gerutu Amara sambil mengguling-gulingkan badannya di kasur.
Tapi semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan Rendi dikepalanya.
Senyumnya, suaranya, tatapan matanya…
Amara benci mengakuinya.
Tapi dia… rindu.
Gila. Ini beneran gila.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi.
Pesan dari Rendi.
~Rendi: Udah puas ngurung diri?
Amara memelototi layar. ini orang kenapa selalu tau?!
> Amara: Gak urusan lo!
> Rendi: Aku gak bilang ini urusan aku. Aku cuma nanya.
Amara menggeram pelan.
Sebel banget, kenapa Rendi selalu punya cara buat bikin dia makin jengkel?!
Tapi sebelum dia sempat membalas lagi, ada pesan lain yang masuk.
> Rendi: Makan malem bareng Tante, jangan ngurung diri terus.
> Rendi: Aku tunggu dimeja makan.
Amara menggigit bibirnya.
Dia benci mengakui ini…
Tapi pesan singkat itu berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Makan Malam yang Canggung
Saat Amara akhirnya turun untuk makan malam, dia berusaha bersikap biasa.
Tapi masalahnya, Rendi duduk di seberang, menatapnya dengan tatapan penuh arti.
Dan itu bikin Amara makin salah tingkah.
Tante Mirna yang melihat keduanya hanya tersenyum tipis. "Hmm… ada apa sih sama kalian berdua? Biasanya ribut, kok sekarang diem-dieman?"
Rendi tersenyum santai. "Amara lagi sibuk mikirin sesuatu, Tan."
Amara langsung tersedak.
"UHUK! UHUK!"
Tante Mirna panik. "Aduh, Amara! Pelan-pelan makannya!"
Rendi malah nyengir tipis sambil menyodorkan air.
"Nih, minum dulu," katanya.
Amara menerima gelas itu tanpa sadar.
Dan baru setelah dia meminumnya, dia sadar betapa canggungnya situasi ini.
Apa Rendi sengaja?
Apa dia tahu Amara sedang gelisah?
Dan kalau dia tahu… kenapa dia malah menikmati ini?!
Kebenaran yang Mulai Terungkap
Malam itu, Amara duduk di balkon kamarnya, merenungi semuanya.
Dia gak bisa terus begini.
Dia gak bisa terus pura-pura gak peduli, padahal hatinya berdebar tiap lihat Rendi.
Tapi…
Kalau dia mengaku, apakah Rendi akan menjauh?
Atau…
Apakah Rendi juga menyimpan perasaan yang sama?
Dan pertanyaan itulah yang membuatnya semakin takut.
Amara masih duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Tapi pikirannya sama sekali tidak tenang.
Sejak kejadian makan malam tadi, Rendi semakin terasa berbeda di matanya.
Atau lebih tepatnya…
Amara semakin sadar kalau dia tidak bisa lagi menganggap Rendi hanya sebagai sepupunya.
Dan itu mengganggu.
"Kenapa sih gue harus ngerasa kayak gini?" gumamnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Seharusnya dia bisa bersikap biasa.
Seharusnya dia bisa tetap jadi Amara yang selalu nyebelin dan cuek ke Rendi.
Tapi kenapa sekarang dia malah gugup setiap kali berada di dekatnya?!
Sial.
Ini benar-benar menyebalkan.
Rendi yang Terlalu Tenang
Di sisi lain, Rendi duduk di kamarnya sambil menatap layar ponselnya.
Pesan dari Amara tadi siang masih ada di sana.
> Amara: Gak urusan lo!
Cowok itu menghela napas sambil tersenyum tipis.
Dia tahu ada sesuatu yang berubah dari Amara.
Biasanya, gadis itu selalu menyebalkan dan gak pernah kehabisan kata-kata buat berdebat dengannya.
Tapi sejak kejadian dikantin…
Amara jadi lebih pendiam.
Dan tadi saat makan malam, dia bisa melihat betapa gugupnya gadis itu setiap kali mereka bertatapan.
Rendi bukan orang yang suka sok tahu soal perasaan orang lain.
Tapi dalam kasus ini…
Dia punya firasat kuat kalau Amara mulai merasakan sesuatu.
Dan anehnya…
Dia tidak keberatan.
Ketika Hati Mulai Berbisik
Amara akhirnya masuk ke dalam kamar dan merebahkan dirinya dikasur.
Dia mencoba tidur, tapi pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Rendi.
Tatapan cowok itu, caranya tersenyum, suara rendahnya saat berbicara…
Kenapa semua itu sekarang terasa berbeda?
Dan yang lebih parah…
Kenapa dia merindukan Rendi meskipun mereka tinggal dirumah yang sama?!
"Gue gila," gumam Amara sambil menarik selimutnya dengan kesal.
Tapi meskipun dia menutup mata dan berusaha keras melupakan semuanya…
Hatinya tetap tidak bisa berbohong.
Dia benar-benar mulai jatuh cinta.