Panik Tanpa Alasan
Keesokan paginya, Amara bangun lebih awal dari biasanya.
Bukan karena semangat buat sekolah.
Tapi karena dia ingin menghindari Rendi.
Semalam, setelah berjam-jam gelisah di kasur, dia sampai pada satu kesimpulan:
Dia gak siap menghadapi Rendi.
Dia masih gak mau mengakui perasaannya, apalagi didepan orangnya langsung.
Itu terlalu menyeramkan.
Jadi, sebelum Rendi keluar dari kamarnya, Amara langsung kabur kesekolah lebih dulu.
Tapi ternyata, ketika dia sampai di gerbang sekolah…
Rendi sudah ada di sana.
Berdiri santai sambil menyender dimotornya, seolah sudah tahu Amara bakal mencoba kabur.
DEG!
Amara langsung berhenti di tempat.
"Lo ngapain di sini?!" tanyanya panik.
Rendi menaikkan alis. "Sekolah!"
Amara mendecak. "Maksud gue, lo kenapa udah di sini? Biasanya kan kita berangkat bareng!"
Rendi menyeringai tipis. "Biasanya."
Sial. Kenapa nadanya terdengar penuh arti begitu?!
Amara pura-pura merapikan rambutnya. "Ya udah, gue duluan!"
Dia berusaha melewatinya, tapi baru beberapa langkah…
"Amara," panggil Rendi.
Langkahnya langsung terhenti.
"Apa?" tanyanya, tidak berani menoleh.
Rendi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kenapa lo menghindari gue?"
DEG!
Amara merasa tertusuk.
Dia ingin bilang kalau itu gak benar.
Tapi masalahnya…
Rendi benar.
Dia memang sengaja menghindari cowok itu.
Tapi, tentu saja Amara tidak mau mengakuinya.
Dia menoleh dengan ekspresi seolah tidak peduli. "Hah? Ngapain juga gue menghindari lo? Ngarang banget sih!"
Rendi menatapnya dalam-dalam. "Bener?"
Amara tersenyum kaku. "Jelas! Udah, gue masuk dulu!"
Dan tanpa menunggu jawaban, dia langsung kabur kedalam sekolah.
Jantungnya berdebar kencang.
Kenapa sih Rendi harus sepintar itu?!
Kenapa dia harus tahu segalanya?!
Gawat.
Kalau begini terus, dia gak akan bisa pura-pura selamanya.
Lisa yang Kepo Berat
Amara langsung menuju kelasnya dan duduk di bangku dengan wajah frustasi.
Tidak butuh waktu lama sebelum Lisa duduk di sebelahnya.
"Ada apa lagi sekarang?" tanya Lisa dengan nada menggoda.
Amara mendengus. "Lo tuh kenapa sih selalu tahu ada sesuatu yang salah?"
Lisa menyeringai. "Itulah hebatnya sahabat! Gue bisa baca muka lo, Mar. Lo kayak orang yang habis dikejar cinta tapi gak mau ngaku."
Amara hampir tersedak udara.
"B-bukan! Lo salah!" serunya cepat.
Lisa mendekat. "Hmm… Jadi lo masih menghindari Bang Rendi?"
Amara menghela napas panjang. "Bukan menghindar… Cuma…"
"Cuma lo takut jujur?" potong Lisa sambil menaikkan alis.
Amara langsung membuang muka.
Sial. Kenapa semua orang bisa baca pikirannya sih?!
Lisa tertawa kecil. "Udah, Mar. Jujur aja. Lo suka sama Bang Rendi, kan?"
Amara mengerang. "Ughhh… Gue gak tahu!"
Lisa menepuk pundaknya. "Lo tahu, lo cuma gak mau ngaku."
Amara menunduk, menggigit bibirnya sendiri.
Ya.
Dia memang tahu.
Dia memang suka sama Rendi.
Tapi untuk mengatakan itu dengan lantang…
Dia belum siap.
Rendi yang Tidak Mau Kalah
Sepulang sekolah, Amara berusaha kabur lagi.
Dia sengaja jalan kaki pulang agar tidak perlu naik motor bareng Rendi.
Tapi belum jauh melangkah, sebuah motor berhenti disampingnya.
Dan tentu saja, itu Rendi.
"Gue tebakan, lo mau pura-pura gak lihat gue?" tanyanya santai.
Amara berdecak. "Bisa gak sih lo berhenti muncul tiba-tiba?!"
Rendi terkekeh. "Bukan salah gue kalau lo yang terus-terusan ngindar."
Amara ingin membantah.
Tapi dia tidak bisa.
Karena Rendi benar lagi.
Cowok itu menatapnya dalam-dalam. "Jujur, Mar. Lo kenapa?"
Amara terdiam.
Dan kali ini, dia benar-benar kehabisan alasan.
Jebakan Rendi
Amara menunduk, berpura-pura sibuk mengikat tali sepatunya.
Bukan karena longgar.
Tapi karena dia gak tahu harus jawab apa.
Kenapa Rendi selalu kepo?!
Kenapa cowok itu gak bisa biarin dia kabur dengan tenang?!
Rendi masih menatapnya. "Lo gak jawab, berarti gue bener?"
Amara mendelik tajam. "Bener apanya?!"
"Lo ngindar dari gue karena ada sesuatu yang lo pendam."
DEG!
Amara meremas ujung roknya.
Kenapa sih Rendi terlalu pintar membaca ekspresinya?
Amara mencari cara buat ngeles.
"Gue gak ngindar, oke? Gue cuma… pengen jalan kaki aja. Gak ada hubungannya sama lo!"
"Kalau gitu, naik motor aja. Gue bonceng," kata Rendi santai.
Sial.
Dia memang selalu kalah dalam perdebatan.
Amara menghela napas panjang. "Gak usah repot-repot."
"Tapi gue mau repot."
DUARR.
Kalimat itu langsung bikin Amara panik.
"Gak ada orang yang mau repot buat orang lain kecuali ada maunya!" serunya cepat.
Rendi menyeringai. "Mungkin gue punya maunya."
DEG!
Amara langsung mundur selangkah.
"Lo mau apa?!" tanyanya curiga.
Rendi tersenyum misterius. "Lo."
JEDERR!
Amara merasa kepalanya nyaris meledak.
"A-APA?!"
Rendi terkekeh. "Liat tuh, muka lo merah."
Amara buru-buru menutupi pipinya. "GAK MERAH!"
"Cuma kepanasan?" goda Rendi.
"RENDI!!!"
Rendi tertawa puas.
Tapi di balik itu semua, dia sudah mendapatkan apa yang dia mau.
Yaitu reaksi Amara.
Amara tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya.
Perasaan yang Tidak Bisa Dipendam Lagi
Sepanjang perjalanan pulang, Amara memilih diam.
Bukan karena dia marah.
Tapi karena dia bingung.
Rendi itu apa sih sebenarnya?!
Dulu, dia cuma nganggep cowok itu sebagai sepupu yang nyebelin.
Tapi sekarang…
Kenapa dia jadi satu-satunya orang yang bisa bikin Amara gugup?
Kenapa tiap kali Rendi ngomong sesuatu yang manis, jantungnya selalu bereaksi?!
"Mar."
Rendi tiba-tiba memanggilnya.
Amara menoleh. "Apa?"
Cowok itu tidak langsung menjawab.
Dia hanya menatap Amara sejenak sebelum akhirnya berkata, "Lo tahu, kan? Gue gak sebodoh itu buat gak sadar."
Amara langsung menegang.
"Apa maksud lo?" tanyanya, pura-pura gak ngerti.
Rendi menyeringai tipis. "Lo yang harusnya jawab, Mar. Lo suka gue, kan?"
DUARR!
Kali ini, Amara benar-benar panik.
Gimana ini?!
Gimana caranya dia ngeles?!
Karena kali ini, dia benar-benar kejebak!
Deny Itu Susah
Amara merasa jantungnya nyaris copot.
Rendi nanya apa barusan?!
Cowok itu bener-bener frontal!
Gak ada basa-basi. Gak ada kode-kode halus.
Langsung ke inti.
Dan itu bikin Amara makin panik.
"Suka lo?!" Amara tergagap. "Gila ya lo? Dari mana lo dapet kesimpulan aneh itu?!"
Rendi menatapnya santai. "Dari lo."
DEG!
Amara langsung terdiam.
"Lo gak sadar, Mar?" lanjut Rendi. "Dari cara lo ngeliatin gue, dari cara lo gelisah tiap gue deket, dari cara lo tiba-tiba sering diem… semuanya jelas banget."
Amara makin keringat dingin.
Cowok ini kenapa peka banget sih?!
"Lo salah," katanya buru-buru.
Rendi menaikkan alis. "Oh ya?"
Amara mengangguk cepat. "Gue gak suka lo! Gue cuma… ya, biasa aja!"
Rendi tersenyum miring. "Oke."
Tunggu. Kok dia gampang banget nerima jawaban gue?!
Amara langsung curiga.
"Kenapa lo diem aja?" tanyanya tajam.
Rendi menyandarkan diri ke motornya. "Gue cuma nunggu waktu."
"Nunggu waktu buat apa?"
Rendi tersenyum penuh arti.
"Buat lo jujur."
DUARR!
Gila.
Cowok ini benar-benar bikin Amara hilang akal!
Gugup yang Tak Tertolong
Sepanjang perjalanan pulang, Amara memilih diam.
Bukan karena dia gak mau ngomong.
Tapi karena dia takut kalau buka mulut, dia malah keceplosan.
Dan Rendi?
Cowok itu tetap santai, seakan gak ada yang terjadi.
Seolah dia udah tahu jawaban Amara, tapi sengaja nunggu Amara ngaku sendiri.
Dan itu bikin Amara makin frustasi!
Setibanya dirumah, Amara langsung turun dari motor dan kabur kekamarnya.
Dia butuh waktu buat nenangin diri.
Tapi baru beberapa langkah…
"Mar," panggil Rendi.
Amara berhenti.
Pelan-pelan dia menoleh. "Apa lagi?"
Rendi menatapnya. Kali ini lebih serius.
"Apa pun jawaban lo nanti," katanya pelan, "gue gak akan maksa lo buat ngaku sekarang."
Amara menelan ludah.
"Tapi satu hal yang harus lo tahu," lanjut Rendi.
Amara menahan napas.
"Gue juga gak akan pergi," kata Rendi.
DEG!
Dan kali ini, Amara benar-benar kehabisan kata-kata.