Perubahan Setelah 2 Minggu

Sudah dua minggu sejak Amara menerima tantangan dari Rendi untuk berubah menjadi lebih dewasa. Awalnya, dia hanya ingin membuktikan kalau dirinya bukan bocil manja yang bar-bar, tapi tanpa sadar, perubahan itu benar-benar mulai terasa.

Di sekolah, teman-temannya mulai menyadari sesuatu yang berbeda dari Amara.

"Eh, Amara sekarang udah jarang teriak-teriak, ya?" bisik salah satu temannya.

"Iya, biasanya kalau dia ngambek pasti mukulin Rendi. Sekarang malah diem terus."

Di kantin, Amara duduk dengan tenang, tidak lagi mengunyah makanan sambil ngomel-ngomel seperti dulu. Dia juga mulai mengontrol emosinya setiap kali melihat Rendi berbicara dengan cewek lain.

Rendi, yang duduk di depannya, memperhatikan perubahan itu dengan alis terangkat. "Kamu kenapa sih? Biasanya kalau aku ngobrol sama cewek lain, kamu langsung manyun."

Amara hanya tersenyum tipis dan mengambil sendoknya dengan elegan. "Aku kan lagi dalam proses perubahan, Bang. Bocil bar-bar sudah berevolusi."

Rendi melipat tangannya di depan dada, menatapnya dengan tatapan skeptis. "Beneran nih?"

"Benerlah!" jawab Amara mantap.

Tapi dalam hati, dia berusaha keras menahan keinginan untuk mengomel karena tadi dia melihat seorang kakak kelas perempuan menepuk bahu Rendi dengan akrab.

Saat di rumah pun, Tante Mirna mulai terkejut melihat perubahan anaknya.

"Lho, Amara? Kamu kok tiba-tiba nyapu rumah tanpa disuruh?"

"Kan aku harus jadi istri yang baik," jawab Amara polos.

Tante Mirna langsung melotot. "Eh, istri siapa?!"

Amara tersenyum misterius. "Rahasia."

Di malam hari, Rendi sedang duduk di teras saat Amara datang membawa dua gelas teh hangat. Dia menyerahkan satu gelas ke Rendi dengan lembut, berbeda dengan biasanya yang selalu asal naruh atau bahkan nyuruh Rendi ambil sendiri.

Rendi menerima gelas itu dengan alis berkerut. "Kamu nggak sakit, kan?"

"Ih, apaan sih!" Amara mendelik, tapi tetap mempertahankan nada bicaranya yang lebih lembut.

"Aku cuma pengen nunjukin kalau aku bisa berubah. Aku bisa jadi lebih baik, lebih kalem, lebih dewasa..."

Rendi menatapnya lama, lalu tiba-tiba terkekeh. "Tapi..."

"Tapi apa?" Amara langsung waspada.

Rendi menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum jahil. "Aku lebih suka bocil bar-bar yang dulu. Yang selalu nyebelin tapi lucu."

Amara membeku sejenak. "Hah?! Abang ini gimana sih?! Aku susah payah berubah, malah dibilang lebih suka yang lama!"

Rendi tertawa. "Ya kan aku nggak pernah nyuruh kamu berubah. Aku suka Amara yang asli, bukan yang pura-pura kalem begini."

Amara terdiam. Dia baru sadar kalau selama ini, dia ingin berubah bukan untuk dirinya sendiri, tapi karena takut Rendi tidak menyukainya.

Perlahan, dia mengembuskan napas panjang dan menatap Rendi dengan senyum yang lebih lepas. "Jadi... aku boleh tetap jadi bocil bar-bar?"

"Tentu aja."

Amara terkekeh. "Baiklah kalau begitu, aku batal berubah!"

Dan malam itu, bocil bar-bar resmi kembali. Tapi kali ini, dengan sedikit sentuhan dewasa yang lebih lembut.

Keesokan harinya, Amara kembali ke sekolah dengan sedikit perubahan. Meski tetap jadi dirinya yang bar-bar, dia kini lebih sabar dan berpikir sebelum bertindak. Namun, perubahan ini tetap membuat orang-orang di sekitarnya terkejut.

Di kelas, teman-temannya menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Amara? Kok tumben nggak ada drama hari ini?" goda salah satu teman sekelasnya.

Amara mendengus sambil melipat tangan. "Emang aku dulu tukang bikin drama?"

"Ya iyalah! Biasanya kalau ada yang nyenggol dikit, kamu udah heboh."

Amara hanya tersenyum misterius. "Sekarang aku lebih anggun dan strategis."

Tapi semua teori kedewasaannya langsung runtuh begitu dia melihat Rendi di kantin sedang ngobrol akrab dengan seorang cewek kelas 12.

Dengan langkah cepat, Amara mendekati mereka dan langsung berdiri di samping Rendi. "Bang, ini siapa?"

Rendi mengangkat alis, lalu menoleh santai. "Oh, ini Kak Cinta, temen sekelas. Kita lagi ngobrol soal tugas akhir sekolah."

Amara menatap Kak Cinta dengan waspada. "Oh, gitu ya? Tapi jangan macem-macem sama abang gue, ya!"

Kak Cinta terkekeh. "Santai, aku nggak bakal ambil abangmu kok."

Amara menyipitkan mata. "Aku bukan adiknya! Aku istrinya Rendi!"

Rendi langsung tersedak minumannya. Sementara Kak Cinta hanya tersenyum geli.

"Wah, seru juga. Aku doain langgeng deh," kata Kak Cinta sebelum pamit pergi.

Begitu cewek itu pergi, Rendi menatap Amara dengan tangan di pinggang. "Ngaku-ngaku istri seenaknya, bocil."

Amara cemberut. "Tapi kan kita memang tunangan…"

Rendi mengacak rambut Amara dengan gemas. "Iya, iya. Tapi coba dikurangi bar-bar-nya dikit, gimana?"

"Nggak bisa! Aku tetap bocil bar-bar, tapi sekarang lebih strategis!" seru Amara sambil tertawa.

Rendi menghela napas panjang. "Strategis gimana?"

"Strategis ngedeketin abang tiap saat biar nggak direbut orang lain!"

Rendi hanya bisa geleng-geleng kepala, tapi senyumnya tetap ada. Karena meskipun Amara masih bocil bar-bar, kini dia lebih tahu bagaimana menjaga perasaannya sendiri dan perasaan orang yang dia sayang.

Dan mungkin, itu adalah perubahan yang paling berharga.

Sudah sesuai dengan Rendi kelas 12? Mau lanjut ke bab berikutnya?

Setelah kejadian di kantin, Amara terus menempel pada Rendi seperti perangko. Saat istirahat, saat pulang sekolah, bahkan saat di rumah, dia memastikan Rendi tidak terlalu lama jauh darinya.

Di rumah, Tante Mirna mulai menyadari perubahan itu. Saat melihat Amara mondar-mandir di sekitar Rendi, dia mengernyit heran.

"Kamu kenapa sih, Mar? Biasanya cuek aja, sekarang kayak satpam jagain Rendi terus."

Amara langsung bersandar di bahu Rendi dengan ekspresi polos. "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma melindungi abang dari gangguan cewek lain."

Tante Mirna menatap mereka berdua dengan ekspresi geli. "Halah, bocil satu ini. Rendi aja nggak merasa terganggu, tuh?"

Rendi hanya bisa tersenyum kecut. "Terganggu sih enggak, tapi berasa diawasi terus."

Amara mendengus. "Ya biar abang tetap fokus ke aku aja!"

Tante Mirna tertawa dan menggeleng. "Duh, bocil ini makin lengket kayak lem."

Malam harinya, Amara bahkan sengaja duduk dekat Rendi saat mereka belajar bersama. Dia sesekali melirik Rendi dengan penuh selidik, memastikan cowok itu tetap fokus dan nggak memikirkan cewek lain.

"Kenapa dari tadi liatin abang terus?" tanya Rendi heran.

Amara tersenyum penuh arti. "Aku cuma memastikan abang tetap milikku."

Rendi menghela napas panjang. "Bocil bar-bar berevolusi jadi bocil posesif, ya?"

Amara terkikik. "Anggap aja aku upgrade versi terbaru!"

Rendi hanya bisa pasrah. Amara memang tetap bocil bar-bar, tapi sekarang dia lebih strategis dalam menjaga hatinya sendiri.

Dan Rendi? Sejujurnya, dia nggak keberatan sama sekali.

Sejak dua minggu terakhir, perubahan Amara makin terlihat jelas. Dia bukan lagi bocil yang sekadar manja, tapi juga semakin strategis dalam menempel pada Rendi.

Di sekolah, Amara sudah seperti satelit pribadi Rendi. Saat istirahat, dia akan selalu mencari alasan untuk ada di dekat cowok itu. Kalau ada cewek yang berani mendekat, Amara langsung menyela dengan berbagai cara, entah pura-pura minta tolong, bertanya soal pelajaran, atau sekadar nyelonong dan berdiri di antara mereka.

Hari itu, di kantin, Rendi sedang duduk bersama teman-temannya ketika Melia, siswi kelas 12 yang dikenal cukup populer, datang menghampiri.

"Rendi, kamu nanti pulang jam berapa? Aku ada titipan buku buat kamu," kata Melia sambil tersenyum ramah.

Sebelum Rendi sempat menjawab, Amara tiba-tiba sudah muncul entah dari mana dan langsung duduk di sebelah Rendi.

"Pulangnya bareng aku, Kak. Ada urusan?" tanya Amara dengan ekspresi polos tapi penuh makna.

Melia melirik Amara dan mengernyit. "Oh… Kamu adiknya Rendi, kan?"

Amara tersenyum lebar. "Salah. Aku istrinya."

Rendi hampir tersedak mendengar jawaban itu. Sedangkan Melia tampak kaget sesaat sebelum akhirnya tertawa kecil.

"Bercanda aja kamu ini. Ya udah deh, nanti aku titip bukunya ke kamu aja, Rendi."

Setelah Melia pergi, Rendi menoleh ke Amara dengan tatapan menyelidik.

"Kenapa sih, Mar? Kayaknya akhir-akhir ini makin sering nempel sama abang."

Amara memasang wajah polos. "Aku cuma memastikan abang tetap aman dari gangguan cewek-cewek lain."

Rendi mendengus pelan. "Dari dulu juga abang aman-aman aja."

Amara cemberut. "Iya, tapi sekarang aku merasa harus memastikan abang tetap fokus… ke aku."

Rendi menatap Amara beberapa detik sebelum akhirnya tertawa kecil. "Dasar bocil bar-bar."

---

Di Rumah...

Setelah pulang sekolah, Amara kembali menempel pada Rendi seperti bayangan. Saat mereka duduk di ruang tamu, Tante Mirna yang sedang membaca majalah akhirnya tidak tahan lagi.

"Kamu kenapa sih, Mar? Biasanya cuek aja, sekarang kayak satpam jagain Rendi terus."

Amara dengan santai bersandar di bahu Rendi. "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma melindungi abang dari gangguan cewek lain."

Tante Mirna menatap mereka dengan ekspresi geli. "Halah, bocil satu ini. Rendi aja nggak merasa terganggu, tuh?"

Rendi hanya bisa tersenyum kecut. "Terganggu sih enggak, tapi berasa diawasi terus."

Amara mendengus. "Ya biar abang tetap fokus ke aku aja!"

Tante Mirna tertawa dan menggeleng. "Duh, bocil ini makin lengket kayak lem."

Malam harinya, Amara bahkan sengaja duduk lebih dekat dari biasanya saat mereka belajar bersama. Dia sesekali melirik Rendi dengan penuh selidik, memastikan cowok itu tetap fokus dan nggak memikirkan cewek lain.

"Kenapa dari tadi liatin abang terus?" tanya Rendi heran.

Amara tersenyum penuh arti. "Aku cuma memastikan abang tetap milikku."

Rendi menghela napas panjang. "Bocil bar-bar berevolusi jadi bocil posesif, ya?"

Amara terkikik. "Anggap aja aku upgrade versi terbaru!"

Rendi hanya bisa pasrah. Amara memang tetap bocil bar-bar, tapi sekarang dia lebih strategis dalam menjaga hatinya sendiri.

Dan Rendi? Sejujurnya dia nggak keberatan sama sekali.