Keesokan paginya, Amara masih malas-malasan di tempat tidur. Matanya setengah terbuka, tetapi tubuhnya enggan beranjak dari kasur.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. "Bocil, bangun! Udah pagi." Suara Rendi terdengar dari balik pintu.
Amara hanya menggeliat dan menarik selimutnya lebih erat. "Males. Lima menit lagi…" gumamnya manja.
Tak ada jawaban dari Rendi. Tapi beberapa detik kemudian...
"Amara, kebakaran!"
Mata Amara langsung membelalak dan dia hampir melompat dari tempat tidur. "Hah?! Di mana?!"
Saat dia membuka pintu dengan wajah panik, yang dia lihat justru Rendi berdiri santai sambil menyender ke dinding, menyilangkan tangan di dada.
"Kebakaran di otakmu yang lemot itu," ujar Rendi datar.
"Astagaaa! Abang jahat!" Amara merajuk sambil melempar bantal ke arah Rendi, tapi Rendi dengan mudah menangkapnya.
"Cepat mandi. Kita berangkat sebentar lagi," ucapnya sebelum berbalik pergi.
Amara mengerucutkan bibirnya sebelum kembali ke dalam kamar untuk bersiap.
---
Di perjalanan menuju sekolah, Amara duduk di boncengan motor dengan tangan melingkari pinggang Rendi.
"Bang, nanti pulang sekolah kita jajan seblak yuk!" usulnya dengan semangat.
"Nggak bisa. Abang mau kerja."
Amara mendengus. "Kerja, kerja, kerja! Abang tuh cowok kaya, ngapain masih kerja jadi ojol?"
"Bocil, hidup itu nggak selamanya enak. Abang nggak mau cuma mengandalkan harta orang tua yang udah nggak ada. Abang harus mandiri."
Amara terdiam sejenak sebelum kembali bersuara, "Tapi abang kan punya aku sekarang…" suaranya lirih.
Rendi tersenyum kecil. "Justru karena punya kamu, abang harus lebih tanggung jawab."
Amara makin mendekap pinggang Rendi erat.
"Pokoknya abang harus sempatin waktunya buat aku juga. Kalau enggak, aku ngamuk!"
Rendi hanya tertawa pelan. "Dasar bocil manja."
Di belakang, Amara tersenyum senang. Ia mungkin memang bocil bar-bar, tapi bersama Rendi, ia ingin menjadi bocil yang selalu diperhatikan.
Setelah sampai di sekolah, Amara langsung melompat turun dari motor Rendi. Namun, sebelum dia bisa melangkah pergi, Rendi menarik tasnya dari belakang.
"Hei, bocil. Jangan lupa sesuatu," ujar Rendi dengan senyum menggoda.
Amara menoleh dengan bingung. "Apa?"
Rendi mengulurkan tangannya. "Uang jajanmu."
Mata Amara berbinar. "Wah, abang baik banget hari ini!" Dia langsung mengambil uang itu, tetapi begitu melihat nominalnya, ekspresinya berubah. "Lho, cuma segini?! Ini mah cukup buat beli cilok doang!"
Rendi terkekeh. "Biarin. Biar nggak kebanyakan jajan. Nanti gendut."
"Huuuh! Dasar abang pelit!" Amara cemberut, tapi tetap menyimpan uang itu.
Tepat saat itu, seorang siswi kelas 12 bernama Sinta melintas. Ia melirik Rendi sambil tersenyum. "Eh, Rendi! Pagi! Nanti jangan lupa ya, kita latihan buat acara pensi."
"Oh, iya. Siap," jawab Rendi santai.
Mata Amara langsung menyipit curiga. "Latihan apa, Bang?" tanyanya ketus.
"Ya latihan band buat acara sekolah. Kan abang main gitar."
"Hah? Sejak kapan abang ikutan acara begituan?!" Amara mendekat dengan ekspresi tidak terima.
Rendi mengacak rambut Amara pelan. "Udah lama. Bocil aja yang nggak tau."
Amara makin merajuk. "Pokoknya abang nggak boleh deket-deket cewek lain!"
Rendi menatapnya dengan tawa tertahan. "Halah, bocil cemburu?"
"Siapa yang cemburu?! Aku cuma… cuma nggak suka aja kalau abang sibuk sama orang lain!"
"Hehe, iya-iya. Nanti abang traktir es krim, deh."
Baru mendengar kata traktir, wajah Amara langsung berbinar lagi. "Benar ya?! Jangan bohong!"
"Iya, iya. Udah, masuk kelas sana."
Amara akhirnya beranjak pergi, tapi dia masih menoleh beberapa kali ke arah Rendi dengan tatapan curiga. Dalam hatinya, dia bertekad untuk mengawasi setiap gerak-gerik abang ojol kesayangannya itu!
Setelah masuk kelas, Amara masih kesal. Dia menaruh tasnya dengan kasar di meja, membuat teman sebangkunya, Dina, melirik heran.
"Kenapa, Mar? Berantem sama Bang Rendi lagi?"
Amara merajuk. "Bukan berantem, cuma... Bang Rendi mulai sibuk sama cewek lain!"
Dina tertawa. "Halah, abang kamu itu baik ke semua orang. Jangan baper."
"Siapa yang baper?!" Amara bersikeras menyangkal, tapi mukanya sudah merona.
Tiba-tiba, HP Amara bergetar. Ada pesan dari Rendi:
Rendi: Bocil, jangan cemberut terus. Nanti cantiknya hilang.
Amara menggigit bibir, berusaha menahan senyum. Tapi begitu Dina mengintip layarnya, dia langsung melempar tatapan membunuh.
"Ehem, siapa yang baper tadi?" goda Dina.
"Huh, diem lo!" Amara melempar penghapus ke arah Dina, yang hanya tertawa geli.
Saat istirahat tiba, Amara dengan sengaja berjalan ke arah lapangan, mencari Rendi. Benar saja, di sana sudah ada Sinta dan beberapa anak lain yang sedang bersiap latihan band.
Mata Amara menyipit melihat Sinta yang berdiri dekat dengan Rendi. Gadis itu sesekali tertawa saat Rendi berbicara.
"Huh! Aku harus mengganggu mereka!" Amara berbisik ke dirinya sendiri.
Dia langsung berjalan ke arah mereka dan dengan santai menarik lengan Rendi.
"Bang, aku haus. Belikan aku es teh, ya?" Amara merengek dengan suara manja.
Rendi melirik ke arah latihan bandnya yang belum dimulai, lalu menatap Amara. "Tanggung, Mar. Sebentar lagi mulai."
Tapi Amara tidak mau kalah. "Kalau abang nggak mau, aku beli sendiri aja... Sendirian... Mungkin nanti aku diculik orang..." katanya dengan suara dibuat sedih.
Rendi mendesah, lalu akhirnya mengalah. "Yaudah, ayo beli dulu."
Sinta melirik Amara dengan ekspresi sedikit kesal, tapi tidak berkata apa-apa.
Saat Rendi berjalan menjauh bersamanya, Amara menyeringai puas. Dalam hati, dia berteriak: "Hah! Bocil bar-bar menang lagi!"
Di kantin, Amara menggenggam es tehnya dengan bangga. Dia berhasil menarik Rendi dari latihan band dan menjauhkan dia dari Sinta.
"Awas aja kalau Bang Rendi deket-deket cewek lain lagi," gumamnya pelan.
Rendi, yang duduk di seberangnya, hanya menggeleng sambil menyeruput es teh. "Kamu tuh kenapa sih? Cuma latihan band doang."
"Cuma latihan band?!" Amara langsung memasang wajah cemberut. "Terus kenapa si Sinta ketawa-ketawa mulu di dekat abang? Kenapa dia berdiri mepet banget?!"
Rendi tertawa kecil. "Kamu cemburu, ya?"
"HAH?! SIAPA YANG CEMBURU?!" Amara reflek menaikkan suaranya, membuat beberapa siswa di kantin melirik mereka.
Rendi mengangkat bahunya santai. "Ya udah, kalau nggak cemburu kenapa ribut?"
Amara terdiam. Dia ingin membantah, tapi lidahnya terasa kelu. Kesal, dia menyeruput es tehnya dengan kencang, seolah ingin melampiaskan amarahnya pada sedotan.
Saat itulah, seorang siswa dari kelas lain menghampiri mereka.
"Rendi, ayo balik ke lapangan. Kak Sinta nanyain kamu."
Amara langsung melotot. "KAK Sinta?" ulangnya dengan tekanan pada kata Kak.
Siswa itu mengangguk. "Iya, kan dia kelas 12. Wajar dong dipanggil kakak?"
Amara menggigit bibirnya, merasa makin jengkel. Dia melirik Rendi dengan tatapan penuh tuduhan.
"Kenapa abang nggak bilang kalau dia kakak kelas?!"
Rendi tertawa. "Emang kenapa?"
"Ya jelas beda! Kalau dia kakak kelas, itu artinya dia lebih dewasa. Lebih cantik. Lebih... lebih segalanya dari aku!" Amara memukul meja dengan kesal.
Rendi terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Bocil bar-bar, kamu itu lucu banget sih."
"Siapa yang bocil?!"
Tapi sebelum Amara bisa memprotes lebih jauh, Rendi menjulurkan tangan dan mengacak rambutnya.
"Udah, jangan banyak drama. Abang cuma bantuin mereka latihan, bukan mau nikah sama Kak Sinta."
Amara masih cemberut, tapi pipinya mulai merona.
"Hmph! Pokoknya abang nggak boleh deket-deket dia lagi!"
Rendi hanya terkekeh dan berdiri. "Yaudah, ayo ikut ke lapangan. Biar nggak suudzon mulu."
Mau tak mau, Amara akhirnya mengikuti Rendi. Tapi dalam hati, dia bersumpah kalau Kak Sinta sampai macam-macam, dia nggak bakal tinggal diam. Bocil bar-bar harus mempertahankan teritorinya!