Siang itu, sepulang sekolah, Rendi tiba-tiba mengajak Amara ke sebuah tempat yang sudah lama tidak dia datangi.
"Kita mau ke mana, Bang?" tanya Amara penasaran, duduk di belakang Rendi di atas motor.
"Ke rumah lama," jawab Rendi singkat.
Mata Amara berbinar. "Wah! Rumah lama? Maksudnya rumah abang sebelum tinggal di rumah Mama?"
Rendi mengangguk. "Iya, aku cuma mau lihat-lihat. Udah lama nggak ke sana. Sekalian mau ambil sesuatu."
Perjalanan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit dari rumah Tante Mirna. Begitu mereka tiba, Amara langsung menatap rumah besar yang tampak sepi dan sedikit terbengkalai. Halamannya luas, ditumbuhi rumput liar, tapi masih terasa megah.
"Rumah ini gede banget!" seru Amara kagum. "Tapi kok kosong gini?"
Rendi diam sejenak sebelum menjawab, "Sejak Ayah dan Ibu meninggal, nggak ada yang tinggal di sini lagi. Aku pindah ke rumah Tante, dan rumah ini dibiarkan kosong."
Amara menunduk, merasakan kesedihan Rendi. Namun, dia tidak ingin suasana menjadi terlalu muram, jadi dia segera mengganti topik.
"Oh iya! Tadi abang bilang mau ambil sesuatu?"
Rendi tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, ayo ikut."
Mereka berjalan ke belakang rumah, dan di sana terdapat sebuah pohon pisang yang tinggi dengan buah yang menggantung besar dan matang sempurna.
"Wah! Pisangnya gede banget!" seru Amara antusias.
"Dulu aku yang nanam pohon ini sama Ayah," kata Rendi sambil menatap pohon itu penuh kenangan. "Aku pikir udah mati, ternyata masih subur."
Amara melompat-lompat kecil, mencoba meraih salah satu pisang yang tergantung rendah. "Bang, aku mau yang itu!"
Rendi tertawa. "Sabar, Bocil. Aku ambilin."
Dia pun naik ke batang pohon yang tidak terlalu tinggi dan memetik beberapa pisang. Amara bertepuk tangan senang saat Rendi turun dan menyerahkan buah itu padanya.
"Ini buat kamu."
"Waaah! Makasih, Bang! Ini pasti enak banget!"
Rendi tersenyum melihat Amara begitu bahagia hanya karena pisang. Sejenak, dia merasa rumah ini kembali hidup dengan kehadiran bocil bar-bar ini.
Namun, di balik semua itu, ada rasa haru di hati Rendi. Ini rumah masa kecilnya. Dan kini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia tidak merasa sendirian.
Amara menggenggam pisang yang baru dipetik dengan mata berbinar. "Wah, ini bakal aku makan sendiri! Enak banget kayaknya!"
Rendi tertawa kecil melihat tingkahnya. "Ya udah, makan aja. Tapi jangan lupa bagi satu buat aku."
"Nggak mau! Ini punyaku!" Amara menjulurkan lidah, lalu berlari kecil ke teras rumah yang berdebu. "Bang, boleh masuk nggak?"
Rendi menghela napas sebentar. Rumah itu penuh kenangan, tapi sudah lama dia tinggalkan. "Boleh. Tapi mungkin agak berantakan."
Mereka masuk ke dalam. Rumah besar itu masih kokoh, tapi jelas terlihat tidak terawat. Beberapa perabotan ditutupi kain putih berdebu. Ada aroma khas rumah lama yang membawa Rendi kembali ke masa kecilnya.
Amara berjalan ke tengah ruang tamu dan menyentuh salah satu kursi tua. "Dulu abang sering duduk di sini, ya?"
"Iya, ini tempat favorit Ayah kalau lagi baca koran," jawab Rendi sambil tersenyum tipis. "Aku suka duduk di sebelahnya sambil dengerin cerita."
Amara memperhatikan ekspresi Rendi. Dia jarang melihat cowok itu begitu melankolis. Tanpa sadar, dia melangkah mendekat dan menarik tangan Rendi.
"Bang, kalau abang mau, kita bisa sering ke sini lagi. Biar nggak terasa sepi."
Rendi terdiam. Tawaran sederhana itu entah kenapa menghangatkan hatinya. Dia menatap Amara, yang tampak serius meski masih dengan wajah bocilnya.
"Iya... mungkin aku bakal sering ke sini lagi," katanya akhirnya.
Amara tersenyum puas. "Bagus deh! Aku juga mau ikut! Rumah ini keren banget! Tapi..." Dia melirik ke atas. "Kayaknya lotengnya serem."
Rendi terkekeh. "Dulu aku juga takut sama lotengnya. Waktu kecil, aku kira ada hantu di sana."
Amara membelalak. "YA AMPUN, JANGAN BILANG ADA BENERAN?! Ayo kita pulang sekarang aja!"
Rendi semakin tertawa melihat wajah panik Amara. "Bercanda, Bocil. Udah, ayo pulang sebelum Mama nyariin kita."
Saat mereka keluar, Amara masih memeluk erat pisangnya. "Bang, kalau kita ke sini lagi, aku mau bawa makanan! Kita piknik di rumah lama abang!"
Rendi menatap rumah itu sekali lagi sebelum mengunci pintunya. Kali ini, dia merasa lebih ringan.
"Boleh. Tapi syaratnya, pisangnya harus bagi dua."
Amara mendengus. "Ya ampun, Bang. Pisang doang kok pelit!"
Mereka pun pulang dengan tawa, meninggalkan rumah lama yang kini terasa sedikit lebih hangat daripada sebelumnya.
Setelah mengunci pintu rumah lama, Rendi dan Amara berjalan keluar menuju motornya. Langit mulai berwarna jingga, menandakan sore telah tiba.
"Abang nggak kangen tinggal di sini?" tanya Amara, masih menggenggam pisang yang ia petik tadi.
Rendi menghela napas pelan. "Kangen sih, tapi kalau sendirian, rasanya aneh. Terlalu banyak kenangan di sini."
Amara menatapnya dengan tatapan penuh pemikiran. "Kalau gitu, kita datang bareng aja! Aku temenin abang."
Rendi tersenyum kecil. "Liat nanti, Bocil. Jangan tiba-tiba jadi rajin gini, aku curiga."
Amara langsung manyun. "Yah, abang curigaan banget. Aku kan baik!"
Rendi tertawa kecil, lalu mengusap kepala Amara dengan lembut. "Iya-iya, makasih ya udah mau nemenin."
Amara merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Dia buru-buru berbalik dan naik ke motor Rendi. "Udah ah, ayo pulang! Nanti keburu magrib!"
Rendi ikut naik dan menyalakan mesin motornya. "Pegangan yang bener, jangan sampai jatuh."
"Siap, Bang Ojol!" Amara tertawa kecil sambil memeluk pinggang Rendi erat.
Sepanjang perjalanan pulang, Amara diam-diam tersenyum sendiri. Hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu di hati kecilnya yang semakin tumbuh, meskipun ia sendiri belum tahu apa itu.
Di sisi lain, Rendi juga merasa lebih ringan. Rumah lamanya yang dulu terasa penuh kesedihan, kini mulai memiliki kenangan baru. Semua berkat satu bocil bar-bar yang entah kenapa semakin sulit dia lepaskan dari hidupnya.
Sepanjang perjalanan pulang, angin sore berhembus sejuk. Amara masih memeluk pinggang Rendi erat, merasa nyaman berada di belakangnya.
"Bang, kita mampir dulu beli es krim, yuk!" tiba-tiba Amara berteriak dekat telinga Rendi.
Rendi menghela napas. "Nanti keburu magrib, Bocil. Makan es krimnya di rumah aja."
"Tapi kan aku mau makan di luar biar berasa kayak kencan," rengek Amara.
Rendi menepikan motornya sejenak, lalu menoleh ke belakang dengan ekspresi datar. "Sejak kapan kita kencan?"
"Dari kapan-kapan!" jawab Amara cepat, nyengir lebar.
Rendi menatapnya heran. "Bocil, kamu makin hari makin aneh deh."
Amara cemberut. "Yah, abang nggak ngerti perasaan aku sih."
Rendi terdiam sesaat sebelum mengacak rambut Amara. "Oke, kita beli es krim dulu. Tapi abis itu langsung pulang."
Mata Amara berbinar. "Siap, Bang Ojol Kesayangan!"
Mereka mampir di warung kecil pinggir jalan. Amara memilih es krim stroberi, sementara Rendi hanya membeli air mineral.
Saat duduk di bangku kayu di depan warung, Amara melirik Rendi. "Kenapa nggak beli es krim juga?"
Rendi membuka botol airnya dan meneguk sedikit. "Nggak mood makan yang manis-manis."
Amara mendekat, lalu tiba-tiba mengoleskan es krim stroberinya ke pipi Rendi.
"Nah, sekarang abang ngerasain manisnya juga!"
Rendi terkejut dan langsung menatap Amara tajam. "Amara…"
Amara tertawa keras, merasa menang. "Hahaha! Pipi abang jadi stroberi!"
Rendi menghela napas, lalu dengan cepat menyentil dahi Amara. "Dasar bocil nakal."
Amara meringis. "Aww! Abang jahat!"
"Salah sendiri cari perkara," balas Rendi dengan senyum tipis.
Mereka berdua akhirnya menghabiskan es krim dengan obrolan ringan, sebelum kembali pulang.
Saat sampai di rumah, Tante Mirna sudah berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang.
"Kalian dari mana saja?!" suaranya terdengar tegas.
Amara langsung bersembunyi di belakang Rendi. "Kami cuma main sebentar kok, Ma."
Tante Mirna menatap mereka curiga, lalu melihat noda es krim di pipi Rendi. "Main di mana sampai belepotan begitu?"
Rendi buru-buru mengusap pipinya. "Ehm… kebetulan ada yang jahil, Tante."
Tante Mirna melipat tangan di dada. "Hati-hati ya kalian berdua. Jangan keluyuran sampai lupa waktu."
Amara mengangguk cepat. "Siap, Ma!"
Setelah masuk ke dalam rumah, Amara mencubit lengan Rendi pelan.
"Gara-gara abang, aku kena ceramah!"
Rendi menatapnya bingung. "Lho, yang ngajak beli es krim siapa?"
Amara hanya menjulurkan lidahnya sebelum kabur ke kamarnya.
Rendi menghela napas dan tersenyum kecil. Hidupnya yang dulu terasa sepi kini semakin berwarna, berkat satu bocil bar-bar yang selalu punya cara untuk membuatnya kesal sekaligus bahagia.