Aku melihat Guncangan...

Suasana kantin siang itu terasa ramai seperti biasa. Amara duduk di sudut meja dengan wajah ditekuk. Sejak tadi, matanya tidak lepas dari Rendi yang sedang berbicara dengan seorang gadis di kejauhan.

Melia.

Gadis yang selalu terlihat dekat dengan Rendi, meskipun Rendi sendiri sering bersikap biasa saja. Tapi hari ini berbeda. Amara bisa melihat ekspresi serius di wajah Melia, seakan sedang menegur Rendi tentang sesuatu.

Hati Amara mulai berguncang.

"Kenapa sih, aku ngerasa nggak nyaman gini?" gumamnya dalam hati.

Dari kejauhan, dia bisa melihat Melia menatapnya dengan tajam. Tak lama kemudian, Melia berjalan mendekat.

"Amara!" suara Melia terdengar cukup tajam.

Amara sedikit terkejut, tapi dia tetap berusaha mempertahankan ekspresinya yang cuek.

"Apa?" jawab Amara malas.

Melia melipat tangan di depan dada. "Kamu sadar nggak kalau kamu itu kayak benalu buat Rendi?"

Mata Amara membulat. "Hah? Maksud kamu?"

"Kamu tuh manja banget sama dia. Sampai kapan mau terus-terusan bergantung sama Rendi?" Melia menatapnya dengan tajam. "Apa kamu nggak sadar kalau kamu itu cuma jadi beban buat dia?"

Hati Amara mencelos. Kata-kata itu terasa menusuk.

"Aku beban buat Rendi?"

Untuk pertama kalinya, dia merasa kecil. Dia memang sering merengek, sering ngambek, dan selalu ingin diperhatikan oleh Rendi. Tapi… apakah Rendi benar-benar merasa terbebani olehnya?

Amara mengepalkan tangannya, menahan air mata yang hampir jatuh.

Saat itulah, tiba-tiba ada suara lain yang masuk di antara mereka.

"Melia, cukup."

Amara dan Melia menoleh ke sumber suara itu.

Rendi.

Laki-laki itu kini berdiri di samping Amara dengan ekspresi dingin. Tatapannya menusuk langsung ke arah Melia.

"Kamu nggak punya hak buat ngomong gitu ke Amara."

Melia tampak terkejut. "Tapi, Ren—"

"Aku yang tahu seberapa besar arti Amara buat aku. Bukan kamu."

Amara terperangah. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat.

Melia menggigit bibirnya, tampak ingin membantah, tapi akhirnya dia hanya mendengus kesal dan pergi meninggalkan mereka.

Begitu Melia pergi, Amara masih terdiam. Dia menatap Rendi dengan mata berkaca-kaca.

"Abang…" suaranya hampir bergetar.

Tanpa menunggu jawaban, tubuhnya melangkah maju dan langsung memeluk Rendi erat.

Rendi sempat terkejut, tapi detik berikutnya dia hanya bisa menghela napas dan membalas pelukan Amara.

"Udah, bocil bar-bar nggak usah nangis," gumam Rendi sambil mengusap punggungnya.

Amara semakin mengeratkan pelukannya. Dalam hati, dia merasa lega… dan bahagia.

Karena hari ini, untuk pertama kalinya, dia menyadari sesuatu.

Bahwa dia bukan sekadar adik bagi Rendi.

Pelukan Amara masih erat di dada Rendi, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Hatinya masih berdebar kencang. Rendi bisa merasakan tubuh Amara yang sedikit gemetar.

"Udah, bocil. Jangan nangis gitu," bisik Rendi pelan.

Amara mengangkat kepalanya, menatap Rendi dengan mata berkaca-kaca. "Aku bukan bocil!" protesnya sambil memukul pelan dada Rendi.

Rendi menghela napas panjang. "Lalu kamu mau disebut apa?" tanyanya, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.

Amara mendengus, lalu tiba-tiba wajahnya berubah merah. Dia menggigit bibirnya, terlihat ragu-ragu. Kemudian, dengan suara nyaris berbisik, dia berkata, "Istrimu."

Rendi terdiam.

Sekilas, ia melihat ke sekitar. Beberapa teman sekelasnya sudah mulai memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran.

"Bocil, jangan sembarangan ngomong," kata Rendi sambil menegakkan tubuhnya, mencoba menghindari tatapan orang-orang.

Amara mendelik. "Kan emang bener!"

Rendi memijat pelipisnya. "Iya, iya, tapi nggak usah diumbar di sekolah gini juga, napa?"

Amara cemberut, lalu menyeka sisa air mata di pipinya. "Pokoknya abang jangan deket-deket cewek lain ya!" katanya dengan nada mengancam.

Rendi tertawa kecil. "Iya, iya. Sekarang ayo makan, nanti malah kelaperan pas pelajaran," katanya, menggandeng tangan Amara menuju kantin.

Sementara itu, dari kejauhan, Melia masih memperhatikan mereka dengan tatapan kesal.

"Aku nggak akan tinggal diam, Amara," gumamnya pelan. "Kita lihat saja siapa yang lebih pantas untuk Rendi."

Dan tanpa mereka sadari, drama baru akan segera dimulai.

Setelah kejadian di kelas tadi, Amara masih terlihat kesal. Rendi berusaha mengajaknya bercanda di kantin, tapi bocil bar-bar itu malah ngambek dan memilih diam sambil mengaduk-aduk es teh manisnya dengan sedotan.

"Bocil, jangan ngambek gitu dong," kata Rendi sambil menyeruput es teh miliknya. "Melia cuma salah paham, aku juga nggak ada maksud ngebelain dia kok."

Amara mendelik. "Tapi abang tetap ngebelain dia! Lagian, kenapa harus dia yang marah-marah sama aku? Aku nggak salah apa-apa!"

Rendi menghela napas. "Iya, iya, abang tahu kamu nggak salah. Tapi kalau kamu marah terus, nanti malah nggak enak makan."

"Emang udah nggak enak!" gerutu Amara sambil menyendok nasi gorengnya dengan kasar.

Rendi mengelus kepala Amara pelan, membuat bocil itu langsung terdiam. "Udah, makan yang bener. Biar bisa fokus di kelas nanti."

Amara diam beberapa detik sebelum akhirnya menyerah. "Hmph, dasar abang menyebalkan," katanya, tapi tetap melanjutkan makannya.

Sementara itu, di sisi lain kantin, Melia masih memperhatikan mereka dengan tatapan tajam. Tangannya mengepal di bawah meja.

"Kenapa Rendi selalu memperlakukan Amara dengan begitu lembut?" pikirnya kesal. "Dia cuma adiknya, kan? Kenapa aku nggak pernah diperlakukan seperti itu?"

Tak jauh dari sana, teman-teman sekelas mereka juga mulai berbisik-bisik.

"Gila, Amara cemburu banget tadi."

"Ya iyalah, cewek mana yang nggak bakal cemburu kalau cowoknya tiba-tiba ngebelain cewek lain?"

"Tapi bukannya Amara itu adiknya?"

"Katanya mereka dijodohin, loh. Jadi sebenernya Amara itu adik tiri atau calon istri?"

Bisikan-bisikan itu mulai menyebar, membuat Rendi hanya bisa mengusap wajahnya dengan pasrah.

Amara yang mendengar bisikan itu langsung mendongak dan menatap sekeliling. Dengan suara lantang, dia berkata, "Denger ya semuanya! Aku ini bukan adik Rendi! Aku istrinya! Titik!"

Seluruh kantin langsung hening. Rendi hampir tersedak es tehnya.

"Bocil! Ngomong apa kamu?!"

Amara hanya cengengesan sambil menjulurkan lidah. "Biar semua orang tahu, biar nggak ada yang macem-macem sama abang!" katanya puas.

Rendi mengacak rambutnya frustrasi. "Ya ampun, bocil ini… gimana aku jelasin ke Tante Mirna nanti?!"

Di sisi lain, Melia makin geram. "Ini nggak bisa dibiarkan," gumamnya. "Aku harus cari cara supaya Amara menjauh dari Rendi."

Tanpa mereka sadari, masalah baru akan segera datang.

Setelah pengakuan Amara di kantin tadi, suasana jadi canggung. Rendi hanya bisa menutupi wajahnya dengan tangan, sementara Amara malah cengengesan puas.

"Bocil! Kamu ngomong apa sih?!" bisik Rendi panik. "Sekarang satu sekolah pasti bakal ribut gara-gara omonganmu!"

Amara mengedipkan matanya polos. "Terus kenapa? Memangnya abang malu punya istri imut kayak aku?" katanya sambil menepuk dadanya sendiri bangga.

Rendi mendengus. "Bocil, kita ini masih SMA, jangan aneh-aneh!"

Namun, Amara tidak peduli. Dia malah menyedekapkan tangan di dada dan menatap Melia yang masih duduk di meja seberang. Tatapannya jelas menantang.

Melia yang merasa diledek langsung berdiri dengan wajah merah padam. "Amara! Jangan sotoy deh! Rendi itu bukan siapa-siapa kamu!"

"Lho, kok kamu yang sewot?" Amara mendongak dengan gaya sombong. "Tadi kan aku udah bilang, aku ini istrinya. Mau bukti?"

Tiba-tiba Amara menarik tangan Rendi dan menempelkan pipinya ke bahu cowok itu. Rendi membeku di tempat, sementara kantin langsung gempar.

"Woi, seriusan mereka pacaran?!"

"Katanya mereka dijodohin, tapi kok Amara sesumbar gitu?"

"Melia kayaknya makin kesel, lihat tuh mukanya merah banget!"

Melia mengepalkan tangan. "Kamu ini ya, Amara! Jangan main-main sama Rendi! Aku nggak akan tinggal diam!"

Amara malah tersenyum manis. "Kenapa? Kamu mau ngerebut abangku?"

"Dia bukan abangmu!"

"Oke, oke, kalau gitu aku panggilnya ayang aja. Gimana, Yank?" Amara menoleh ke Rendi dengan mata berbinar.

Rendi hampir menjatuhkan es tehnya. "Bocil, jangan macem-macem!"

Namun, Amara malah tertawa puas. Melia semakin geram dan tanpa pikir panjang, dia berbalik lalu pergi meninggalkan kantin.

Rendi menghela napas panjang. "Bocil, kamu cari masalah banget sih..."

Amara hanya tertawa kecil sambil menggandeng lengan Rendi erat. "Biarin aja, biar semua orang tahu aku ini calon istrimu."

Tanpa mereka sadari, sejak saat itu banyak yang mulai memperhatikan hubungan mereka. Apalagi setelah Melia bersumpah tidak akan tinggal diam.

Masalah baru telah dimulai.