Amara dan Rendi masih asyik duduk di sofa, menonton film romantis yang tayang di TV.
Amara bersandar manja di bahu Rendi, tangannya memegang semangkuk pop corn yang hampir habis. Sesekali, dia cekikikan sendiri melihat adegan di layar, sementara Rendi hanya geleng-geleng kepala.
"Bocil, kamu serius suka film kayak gini?" tanya Rendi sambil melirik Amara yang matanya berbinar-binar menonton.
"Iya dong! Kan seru. Coba deh abang bayangin, kita juga bisa kayak mereka."
Rendi mengernyit. "Kayak gimana maksudnya?"
Amara menoleh dengan senyum penuh arti. "Ya, kayak pasangan di film ini. Abang jadi cowok cool, aku jadi cewek imut yang akhirnya abang jatuh cinta sama aku!" katanya dengan suara penuh antusias.
Rendi memutar bola matanya. "Bocil, dunia nyata nggak segampang film."
Amara mendengus. "Siapa tahu nanti abang beneran jatuh cinta sama aku."
Belum sempat Rendi membalas, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah dapur.
"Rendi... Amara... lagi ngapain kalian berdua?"
Seketika mereka berdua membeku. Suara itu milik Tante Mirna.
Dengan gerakan cepat, Amara langsung duduk tegak, menjauh dari Rendi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Rendi sendiri berusaha terlihat santai, padahal dalam hati panik setengah mati.
Tante Mirna berdiri di depan sofa dengan tangan di pinggang, matanya menyipit curiga melihat posisi mereka berdua yang tadi terlalu akrab.
"Kalian nonton film apa?" tanyanya sambil mendekat.
Amara langsung mengambil remote dan memencet tombol stop, tapi terlambat. Di layar TV, masih terlihat adegan pemeran utama pria sedang menatap mesra pemeran utama wanita sebelum menciumnya.
Tante Mirna menghela napas panjang. "Ya ampun... kalian nonton film romantis berdua begini di ruang tamu?"
Amara langsung meraih lengan mamanya dan menggoyang-goyangkannya manja. "Ih, mama kok datang tiba-tiba sih? Nggak ada yang aneh kok!"
Rendi berdehem, mencoba mengendalikan situasi. "Iya, Tante. Kita cuma iseng nonton aja, kebetulan filmnya ini yang tayang."
Tante Mirna memandang mereka berdua bergantian sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Aku nggak melarang kalian dekat, tapi inget, Amara itu masih bocil. Jangan sampai kelewatan, ya."
Amara merengut. "Mama! Aku udah SMA, bukan bocil!"
Tante Mirna terkekeh. "Iya, iya. Tapi tetap aja kamu itu anak mama. Udah ah, mending kalian tidur, jangan nonton film kayak gini terus nanti kebawa mimpi."
Rendi hanya bisa mengangguk patuh, sementara Amara menghela napas panjang.
Setelah Tante Mirna pergi, Amara menoleh ke arah Rendi dengan tatapan penuh arti.
"Tuh kan, ketahuan. Lain kali kita nonton di kamar aja."
Rendi langsung menepuk jidat. "Bocil, tobat lah!"
Setelah Tante Mirna pergi ke kamarnya, suasana ruang tamu kembali sunyi. Amara masih manyun sambil melipat tangannya di dada.
"Duh, mama kok selalu muncul di saat yang nggak tepat sih?" gerutunya.
Rendi menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah bocil bar-bar di sampingnya. "Lagian, siapa suruh kamu nempel terus kayak perangko?"
Amara mendengus. "Aku kan nyaman, terus kenapa? Lagian aku bukan bocil, udah SMA!"
Rendi terkekeh. "SMA tapi masih suka ngambek kalau mama ganggu momen nonton? Bocil tetap bocil."
Amara langsung melempar bantal sofa ke arah Rendi. "Ih, abang nyebelin!"
Rendi dengan mudah menangkap bantal itu sambil tersenyum jahil. "Udah, sana tidur. Nanti kalau kebanyakan nonton film romantis, kamu jadi halu sendiri."
Amara mendengus kesal. Tapi bukannya pergi, dia malah kembali bersandar di bahu Rendi. "Nggak mau. Aku belum ngantuk."
"Jadi maksud kamu?" Rendi menaikkan alis.
"Mau lanjut nonton dong." Amara mengambil remote dan bersiap menyalakan film lagi.
Tapi tiba-tiba, suara Tante Mirna terdengar lagi dari dalam kamar. "AMARA! RENDI! KALIAN UDAH TIDUR BELUM?"
Amara dan Rendi langsung saling pandang dengan ekspresi panik. Amara buru-buru menjawab, "Udah ma! Ini udah mau matiin TV!"
Tante Mirna tidak menjawab, tapi mereka bisa mendengar suara langkah kakinya mendekat lagi. Dengan gerakan cepat, Amara langsung mematikan TV, lalu melompat ke ujung sofa, menjauh dari Rendi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tante Mirna muncul dari balik pintu dengan tatapan penuh selidik. "Kok masih di sini? Udah jam segini lho. Amara, masuk kamar. Rendi juga, jangan begadang."
Amara cemberut, tapi dia tahu kalau mamanya nggak akan membiarkan dia ngotot. "Iya, iya. Aku masuk kamar sekarang."
Setelah memastikan Amara pergi, Tante Mirna menatap Rendi dengan tatapan penuh arti. "Rendi, kamu jaga diri baik-baik, ya. Amara itu masih anak-anak, jangan sampai kalian kebablasan."
Rendi mengangguk sopan. "Iya, Tante. Saya paham."
Tante Mirna menghela napas dan tersenyum tipis. "Aku percaya sama kamu. Udah, tidur sana."
Rendi mengangguk lagi, lalu segera menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, Rendi merebahkan diri di kasur dan menatap langit-langit. Tiba-tiba, dia teringat kata-kata Amara tadi.
"Aku beneran mau jadi istri abang yang baik, yang bisa bikin abang bahagia."
Rendi tersenyum kecil. "Bocil bar-bar ini beneran nggak ada habisnya."
Tapi jauh di lubuk hatinya, dia mulai bertanya-tanya… apa mungkin suatu hari nanti dia benar-benar melihat Amara bukan sebagai bocil bar-bar, tapi sebagai seseorang yang lebih dari itu?
Setelah masuk ke kamarnya, Amara menghempaskan diri ke kasur sambil menggerutu. "Ih, mama selalu ganggu momen seru!"
Dia memeluk bantal, wajahnya merona saat mengingat betapa nyamannya bersandar di bahu Rendi tadi. "Kenapa rasanya nyaman banget, sih?" gumamnya pelan.
Di sisi lain, Rendi juga duduk di kasurnya sambil berpikir. Dia melirik jam di ponselnya, lalu menghela napas. "Bocil bar-bar itu makin aneh akhir-akhir ini."
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, notifikasi chat dari Amara masuk.
Amara: Abang, udah tidur?
Rendi: Baru mau tidur. Kenapa?
Amara: Tadi mama curiga nggak?
Rendi: Kayaknya sih curiga, tapi aku jelasin baik-baik.
Amara: Huuu, jadi males nonton lagi.
Rendi: Ya iyalah, udah malem juga. Sana tidur.
Amara: Bentar lagi. Aku masih kepikiran film tadi.
Rendi: Kenapa? Baper?
Amara: Dikit.
Rendi menahan tawa. "Bocil satu ini baperan juga."
Tiba-tiba, Amara mengirim pesan lagi.
Amara: Aku tidur sekarang ya. Tapi kalau aku mimpi buruk, abang harus tanggung jawab.
Rendi: Hah? Kok aku?
Amara: Pokoknya harus.
Rendi hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Dasar bocil bar-bar."
Di dalam hatinya, dia mulai menyadari sesuatu. Amara memang sering bertingkah kekanak-kanakan, tapi ada saat-saat di mana dia benar-benar terlihat… berbeda. Entah sejak kapan, Rendi mulai merasakan sesuatu yang sulit dia jelaskan.
Namun, dia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya malam ini.
"Masih panjang perjalanan, lihat saja nanti," pikirnya sebelum akhirnya memejamkan mata.
Sementara itu, di kamar sebelah, Amara tersenyum kecil sebelum tertidur.
Meskipun ketahuan mama, malam ini tetap terasa menyenangkan baginya.