Hari ini, suasana sekolah terasa lebih ramai dari biasanya. Amara berjalan santai di koridor sekolah, sesekali memainkan ujung dasinya. Pikirannya masih terbayang kejadian semalam saat ia bersandar di bahu Rendi di bioskop.
"Kenapa gue mikirin itu terus sih?!" Amara menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sesuatu di depan kantin.
Seorang cewek dari kelas sebelah sedang berbicara dengan Rendi.
Bukan sekadar bicara biasa cewek itu terlihat tertawa kecil, memainkan rambutnya, dan sesekali menepuk lengan Rendi dengan manja.
"Siapa tuh?" Amara menyipitkan mata.
Rendi, seperti biasa, hanya memasang ekspresi santai. Cowok itu memang ramah, tapi tidak terlalu banyak bicara. Namun, entah kenapa, kali ini Amara merasa ada yang mengganggu hatinya.
Cewek itu terus mendekat, lalu tiba-tiba menarik tangan Rendi dengan gaya manja.
Dan saat itu juga, sesuatu di dalam diri Amara mendidih.
Tanpa pikir panjang, bocil bar-bar itu langsung menghampiri mereka.
"Eh, ayank!" suara Amara terdengar manja—tapi dengan nada penuh ancaman.
Rendi menoleh dengan alis terangkat. "Hah?"
Cewek yang sedang bersama Rendi juga tampak kaget. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada sinis.
Amara tersenyum manis—senyum yang justru terasa berbahaya. Dengan santai, ia meraih tangan Rendi dan menggenggamnya erat.
"Aku? Aku ISTRINYA."
Rendi nyaris tersedak udara. "Amara…?"
Cewek di depannya tampak tercengang. "Hah? Istri?"
Amara mengangguk mantap. "Iya dong, udah sah. Kita bahkan udah nonton bareng semalam, mesra banget."
Rendi hanya bisa menatap bocil bar-bar itu dengan ekspresi campuran antara pasrah dan geli.
Cewek itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mendengus kesal dan pergi begitu saja.
Begitu cewek itu menghilang, Amara langsung melepaskan genggaman tangannya dengan wajah cemberut.
"Huh! Nyebelin banget!"
Rendi menyandarkan satu tangan di pinggang, menatap Amara dengan ekspresi jahil. "Jadi lo cemburu?"
Amara mendengus dan melipat tangan di dada. "Cemburu? SIAPA YANG CEMBURU?!"
Rendi tersenyum miring. "Lo tadi ngaku jadi istri gue, loh."
"ITU CUMA TAKTIK BIAR CEWEK ITU MENJAUH!" seru Amara, wajahnya mulai merah.
Rendi terkekeh pelan. "Oh ya? Kalau gitu, gue juga bisa nih pake taktik itu."
Tiba-tiba, cowok itu mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
"A-apa yang lo lakuin?" Amara mundur selangkah, tapi Rendi malah semakin mendekat.
"Bilang aja lo cemburu," bisik Rendi pelan, suaranya terdengar menggoda.
Amara langsung panik dan mendorong dada cowok itu. "H-HUHH! DASAR MENYEBALKAN!"
Dengan wajah merah padam, bocil bar-bar itu langsung berlari pergi, sementara Rendi hanya terkekeh puas melihat reaksinya.
"Dasar bocil cemburuan," gumam Rendi sambil tersenyum kecil.
Amara berlari ke kelas dengan wajah masih merah padam. Ia mengumpat dalam hati. "Kenapa gue malah jadi malu sendiri?! HARUSNYA DIA YANG MALU!"
Begitu sampai di kelas, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di meja. Sahabatnya, Sinta, yang duduk di sebelahnya langsung curiga.
"Eh, bocil barbar kok tumben lemes gini? Lo habis kalah perang sama siapa?" tanya Sinta sambil menyenggol bahu Amara.
Amara mendengus pelan. "Gue barusan... adu mulut sama Rendi."
"LAGI?!" Sinta membelalakkan mata. "Gila, lo tuh tiap hari ribut sama dia, lama-lama malah beneran jatuh cinta tuh!"
Amara langsung bangkit dari meja. "SIAPA YANG JATUH CINTA?! Jangan asal ngomong lo!"
Sinta hanya terkekeh jahil. "Ya udah, cerita-cerita dikit lah. Kali ini lo ribut karena apa?"
Amara menghela napas panjang sebelum menceritakan bagaimana Rendi berbicara dengan cewek lain, bagaimana ia tiba-tiba menyusup dan mengaku sebagai istri Rendi, dan bagaimana Rendi malah balik menggoda dirinya.
Sinta mendengarkan dengan serius, lalu setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berseru: "LO CEMBURU!"
"ENGGAK!" Amara membantah dengan cepat.
Sinta menyilangkan tangan di dada. "Aduh, bocil satu ini nggak mau ngaku aja. Nih, dengerin gue ya... kalau lo nggak cemburu, lo nggak bakal repot-repot nyamperin Rendi, apalagi sampai ngaku-ngaku jadi istrinya."
Amara mengerutkan bibirnya. Ia tahu Sinta ada benarnya. Tapi kalau ia mengakuinya, berarti ia menerima kenyataan bahwa ia benar-benar cemburu. Dan itu tidak boleh terjadi!
"Gue cuma... cuma kesel aja. Cewek itu sok akrab banget!" bantah Amara setengah hati.
Sinta menghela napas panjang sambil menggeleng-geleng. "Ya ampun, Amara. Lo ini udah jelas-jelas masuk kategori bocil cemburuan."
Amara mendengus kesal. "Gue nggak cemburu. Titik!"
Tapi jauh di dalam hatinya, ia mulai merasa ragu. Apakah benar ia tidak cemburu? Atau justru selama ini ia hanya menutup-nutupi perasaannya?
Seharian Amara merasa kesal sendiri. Bahkan saat jam istirahat tiba, dia malas keluar kelas. Biasanya, dia bakal semangat nyari jajanan di kantin, tapi kali ini tidak. Dia hanya menopang dagu dan menatap kosong ke jendela.
Sinta yang memperhatikan sikap aneh sahabatnya pun mendekat sambil menyenggol bahunya. "Lo serius nggak mau makan? Jangan karena kesel sama Rendi, lo malah kelaparan sendiri."
Amara mendengus. "Gue nggak laper."
Sinta mendecak. "Oke, kalau lo nggak laper, tapi kenapa lo dari tadi diem aja? Lo bukan Amara yang gue kenal. Biasanya lo kalau marah langsung ngomel ke semua orang."
Amara memutar bola matanya malas. "Gue nggak ngomel, karena nggak ada yang perlu diomelin."
Sinta menghela napas panjang. "Oke deh, gue ngerti. Lo nggak mau ngaku kalau lo cemburu."
Amara menatap tajam. "Sinta! Gue bilang gue nggak cemburu!"
Sinta hanya terkikik, lalu menarik tangan Amara. "Udah, ayo kita ke kantin. Siapa tahu lo ketemu Rendi di sana, terus bisa nyindir dia lagi."
Amara sempat ingin menolak, tapi perutnya mulai berbunyi pelan. Dengan enggan, dia akhirnya mengikuti Sinta ke kantin.
Saat tiba di kantin, matanya langsung menangkap sosok Rendi yang sedang duduk bersama teman-temannya. Bukan hanya itu, cewek yang tadi pagi berbicara dengan Rendi juga ada di sana!
Dan lebih parahnya lagi… cewek itu menyentuh lengan Rendi sambil tertawa manja.
DUG!
Amara merasakan sesuatu bergejolak di dadanya. Dia bahkan tak sadar kalau dirinya sudah mengepalkan tangan erat-erat.
"Udah, ngaku aja. Lo cemburu." Bisikan Sinta di telinganya hampir membuatnya tersentak.
Amara menggigit bibirnya, lalu mendengus. "Lihat aja, gue bakal kasih pelajaran ke bocah itu!"
Tanpa pikir panjang, dia langsung berjalan menuju meja Rendi.
"AYANGGGG~!" serunya tiba-tiba, membuat semua orang di kantin menoleh.
Rendi yang sedang minum langsung tersedak. "U-uhuk! Amara?!"
Cewek di sebelahnya juga terkejut. "Eh, ayang? Maksudnya?"
Amara dengan percaya diri mendekat, lalu langsung duduk di samping Rendi dan menggandeng lengannya erat.
"Iya dong! Dia itu ayang aku! Nggak boleh ada cewek lain yang pegang-pegang dia!" katanya sambil melotot ke cewek itu.
Rendi yang masih syok hanya bisa diam. Tapi di dalam hatinya, dia menahan tawa. Bocil bar-bar ini benar-benar keterlaluan.
Cewek itu terlihat canggung, lalu akhirnya tersenyum kaku. "Oh… maaf, aku nggak tahu kalian pacaran."
"Bukan pacaran," potong Amara cepat. "Dia SUAMIKU!"
Satu kantin langsung heboh. Rendi mengerjap bingung, sementara Sinta menepuk dahinya sambil menahan tawa.
"Udah fix, bocil ini cemburu parah," gumam Sinta sambil geleng-geleng kepala.