Setelah melewati malam-malam belajar yang penuh perjuangan, akhirnya hari yang ditunggu tiba hari pembagian hasil ulangan. Amara duduk dengan perasaan campur aduk di kursinya, menggigiti ujung pulpen sambil sesekali melirik ke depan kelas, tempat wali kelas mereka mulai membagikan kertas ulangan.
Saat akhirnya kertasnya sampai di mejanya, Amara menahan napas sebelum melihat nilainya. Begitu angka itu terpampang jelas di hadapannya, matanya membulat.
"WAAAH! AKU LULUS! BUKAN CUMA LULUS, INI NILAI TERTINGGI YANG PERNAH AKU DAPET!" serunya kegirangan.
Sinta yang duduk di sebelahnya ikut melongok dan terkekeh. "Gila, Mar. Lo dapet 90?! Tumben banget! Biasanya lo susah dapet di atas 70."
Amara menyeringai bangga. "Hasil belajar keras semalam, dong!"
Setelah bel pulang berbunyi, Amara langsung melesat mencari Rendi. Begitu menemukannya di parkiran, dia menghampiri dengan langkah percaya diri, lalu berdiri di depannya dengan kedua tangan disilang di dada.
"Rendiiii~" suaranya dibuat manja.
Rendi yang sedang mengancingkan helmnya menoleh. "Hah? Kenapa?"
Amara menyeringai lebar dan menyodorkan kertas ulangannya tepat di depan wajah Rendi. "LIHAT NIH! NILAI ULANGANKU! 90! LU BANGGA NGGAK PUNYA ISTRI CERDAS GINI?"
Rendi mengambil kertas itu, menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Wah, bagus banget. Tumben kamu pinter?" godanya.
Amara memanyunkan bibir. "TUMBEN APANYA?! Aku kan emang bisa pinter kalau serius!"
Rendi mengangguk-angguk. "Iya, iya. Baguslah, berarti belajar semalam nggak sia-sia."
Amara menatapnya dengan ekspresi menggoda. "Jadi gimana? Aku bisa memuaskan, kan?"
Rendi yang sedang memasukkan kertas ke tasnya langsung kaku. "Hah? Apa?"
Amara menyeringai. "Nilai ulangan aku memuaskan, dan aku juga bukan bocil… Aku bisa memuaskan kamu, loh~" suaranya dibuat menggoda sambil menatap Rendi penuh arti.
Rendi membatu di tempat. Matanya membelalak, sementara telinganya mulai memerah. "A-Amara… DARI MANA KAMU PAHAM HAL BEGITUAN?!"
Amara tertawa keras melihat reaksi Rendi yang super gugup. "HAHAHA! Lihat tuh, abang malu!"
Rendi buru-buru menggeleng sambil berdeham, mencoba menutupi kegugupannya. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, bocil! Naik motor sekarang juga!"
Amara masih tertawa puas, lalu naik ke belakang motor Rendi dengan hati riang. Sementara itu, Rendi hanya bisa menghela napas panjang sambil mengendarai motornya.
"Bocil ini makin bar-bar aja… Gue harus lebih hati-hati mulai sekarang," batinnya sambil tetap fokus ke jalan, sementara di belakangnya, Amara terus tersenyum penuh kemenangan.
Di perjalanan pulang, Amara masih saja cekikikan di jok belakang. Sesekali dia menggoyangkan tubuhnya maju-mundur, membuat Rendi harus menahan keseimbangan di motor.
"Bocil, diem! Nanti kita jatuh!" tegur Rendi sambil melirik ke spion.
Amara malah tertawa makin keras. "Hahaha! Abang masih kepikiran omonganku tadi, ya?" godanya sambil mencubit pinggang Rendi pelan.
Rendi menghela napas panjang. "Bukannya kepikiran, tapi itu emang aneh banget buat didenger!"
Amara memanyunkan bibirnya. "Apanya yang aneh? Aku kan cuma bilang kalau aku bisa memuaskan abang!"
Rendi tersedak angin. "AMARA!"
"Ya ampun, abang mikirnya kejauhan banget! Maksud aku tuh, aku bisa bikin abang bangga, bisa jadi istri yang baik, bisa nemenin abang belajar, bisa nemenin abang kerja, bisa—"
"Iya-iya, cukup!" Rendi buru-buru memotong sebelum bocil bar-bar ini makin ngawur.
Amara mendengus dan melipat tangan di dadanya. "Ih, abang nggak asik! Aku kan cuma mau kasih tahu kalau aku nggak bocil lagi."
Rendi menggeleng sambil tersenyum kecil. "Yaudah, kalau kamu udah gede, jangan kelakuan kayak bocil lagi."
Amara langsung memukul punggung Rendi pelan. "Huh! Abang tuh emang ngeselin!"
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah. Begitu motor berhenti di garasi, Amara langsung meloncat turun.
"Mama belum pulang, ya?" tanya Amara sambil melihat-lihat sekeliling.
Rendi melirik ke dalam rumah yang masih gelap. "Kayaknya belum."
Tiba-tiba, Amara menepuk tangannya. "Kalau gitu, kita bisa nonton film dulu! Abang mau nonton film romantis bareng aku?"
Rendi menghela napas panjang. "Film romantis lagi? Nggak ada genre lain, apa?"
Amara memanyunkan bibirnya. "Ayolah! Nanti aku bikinin popcorn!"
Rendi akhirnya mengalah. "Yaudah, tapi jangan yang terlalu lebay."
Amara langsung bersorak kecil. "Yeay! Abang masuk duluan, aku mau ganti baju biar nyaman."
Rendi masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Sementara itu, Amara naik ke kamarnya untuk mengganti baju.
Beberapa menit kemudian, Amara turun dengan kaos longgar dan celana pendek. Dia membawa semangkuk besar popcorn dan duduk di sebelah Rendi di sofa.
"Udah siap? Aku udah pilih filmnya!" katanya sambil menyalakan TV.
Rendi melirik judul film yang muncul di layar. "Serius ini? Film tentang pasangan yang nikah kontrak?"
Amara terkikik. "Mirip kita, kan?"
Rendi hanya bisa menggeleng pasrah.
Saat film mulai, Amara semakin mendekat ke Rendi, bersandar nyaman di bahunya.
"Abang tahu nggak? Kadang aku mikir… kalau kita beneran kayak di film ini, gimana ya?" bisik Amara tiba-tiba.
Rendi menoleh sedikit. "Maksudnya?"
Amara memainkan ujung rambutnya. "Ya… kalau kita beneran jadi pasangan yang bukan sekadar perjodohan doang."
Rendi terdiam sejenak. Tatapannya menelusuri wajah Amara yang serius menonton film, lalu beralih ke layar TV.
"Kita lihat aja nanti, bocil," jawabnya akhirnya.
Amara tersenyum kecil. "Kalau gitu, aku harus bikin abang jatuh cinta sama aku dulu, ya?"
Rendi hanya tersenyum tipis. Tanpa mereka sadari, kebersamaan kecil ini membuat mereka semakin dekat, sedikit demi sedikit.
Film di layar TV terus berjalan, menampilkan adegan romantis antara pemeran utama pria dan wanita yang awalnya menikah kontrak tapi perlahan jatuh cinta. Amara yang sejak tadi bersandar di bahu Rendi, kini menatapnya dari samping.
"Abang beneran nggak suka film kayak gini?" tanyanya dengan nada manja.
Rendi menghela napas. "Bukan nggak suka, tapi aku lebih suka film yang nggak terlalu drama."
Amara tertawa kecil. "Tapi kita kan juga drama? Lihat aja hubungan kita. Dari perjodohan, terus aku suka gangguin abang, trus siapa tahu nanti abang beneran jatuh cinta sama aku!"
Rendi menoleh dan menatap Amara lama. "Bocil, kamu terlalu banyak nonton film. Realita nggak segampang itu."
Amara memanyunkan bibirnya. "Tapi aku serius. Aku beneran mau jadi istri abang yang baik, yang bisa bikin abang bahagia."
Rendi terdiam sejenak. Dia tahu Amara masih kekanak-kanakan, tapi di balik sikap bar-bar dan manjanya, ada ketulusan yang nggak bisa dia abaikan begitu saja.
"Kita lihat aja nanti, oke?" jawabnya akhirnya.
Amara tersenyum lebar. "Berarti ada kemungkinan dong?"
Rendi hanya mengacak pelan rambut bocil bar-bar ini. "Udah nonton aja, jangan banyak bacot."
Mereka kembali fokus ke film, tapi diam-diam, hati Rendi mulai merasa aneh. Ada sesuatu tentang Amara yang mulai mengusik pikirannya. Apa mungkin bocil ini benar-benar bisa membuatnya jatuh cinta?