Amara berdiri di depan cermin, memutar tubuhnya ke kanan dan kiri, memeriksa penampilannya dari berbagai sudut. Ia mengenakan dress putih dengan pita kecil di bagian pinggang, rambutnya dikuncir setengah, dan sedikit lip tint merah muda di bibirnya.
"Hmmm… udah pas belum ya?" gumamnya sambil merapikan rambutnya sekali lagi.
Hari ini, ia dan Rendi akan pergi ke acara nonton bareng film romansa di alun-alun kota. Ini bukan kencan—setidaknya, itu yang Amara coba yakinkan pada dirinya sendiri.
Dengan semangat, ia berjalan keluar kamar dan menemukan Rendi yang sudah menunggu di ruang tamu. Cowok itu mengenakan hoodie hitam dengan celana jeans santai, tampak cuek seperti biasa.
"Rendi!" panggil Amara sambil berputar sekali di depan cowok itu. "Ayank suka nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.
Rendi menatapnya sekilas, lalu mengangkat alis. "Suka apanya dulu?"
Amara menahan napas, menunggu pujian.
Tapi Rendi malah menjawab santai, "Suka popcorn."
Amara berkedip. "Hah?!"
Rendi menyeringai. "Atau ice cream?"
Amara langsung cemberut. "Dasar nggak peka!" Ia melipat tangan di dada, merasa kesal karena Rendi tidak memberikan reaksi yang ia harapkan.
Melihat ekspresi bocil itu yang mulai manyun, Rendi akhirnya tertawa kecil. Ia berdiri, berjalan mendekat, lalu menatap Amara dari atas ke bawah dengan lebih serius.
"Lo cantik, kok," katanya akhirnya.
Amara terdiam. Pipinya langsung memanas. "Hah? B-beneran?"
Rendi mengangkat bahu. "Ya, lumayanlah. Nggak malu-maluin kalo diajak jalan."
"HEH?! DASAR AYANK NYEBELIN!!" Amara mendengus kesal, tapi jantungnya tetap berdebar karena pujian tadi.
Rendi hanya terkekeh dan menepuk kepala bocil itu. "Udah, ayo pergi sebelum kita kehabisan tempat."
Dengan masih kesal tapi juga berbunga-bunga, Amara akhirnya berjalan di samping Rendi, siap untuk menikmati malam romantis di alun-alun.
Di sepanjang perjalanan menuju alun-alun, Amara masih merajuk. Sesekali, ia melirik ke arah Rendi yang berjalan santai di sebelahnya.
"Huh, tadi aku udah dandan cantik, eh, malah dibilang ‘lumayan’ doang. Dasar cowok nggak peka," gerutunya pelan.
Rendi, yang mendengar gumaman bocil bar-bar itu, hanya tersenyum miring. "Gue denger, loh."
Amara langsung cemberut. "Biarin!"
Saat mereka tiba di alun-alun, suasananya sudah ramai. Layar besar terpampang di tengah lapangan dengan banyak orang duduk di tikar atau bangku yang disediakan. Lampu-lampu hias menggantung di sekitar taman, menciptakan suasana romantis yang sempurna.
"Kita duduk di mana?" tanya Amara sambil melihat sekeliling.
Rendi menunjuk salah satu bangku kosong di dekat taman bunga. "Di situ aja, biar enak nontonnya."
Mereka pun duduk bersebelahan. Amara langsung membuka bungkus popcorn yang tadi mereka beli.
"Ayank mau popcorn?" Amara menyodorkan wadah popcorn ke arah Rendi.
"Mau." Rendi mengambil segenggam popcorn dan memasukkannya ke mulut.
Amara tersenyum puas, lalu kembali menikmati film. Namun, baru beberapa menit, ia kembali menoleh ke Rendi.
"Ayank suka nggak?" tanyanya lagi.
Rendi menatapnya bingung. "Suka apanya?"
"Ya filmnya, suasananya, atau…" Amara menggigit bibirnya sebentar sebelum melanjutkan, "sama aku?"
Rendi terdiam sesaat. Lalu, dengan santai, ia mengunyah popcornnya pelan-pelan sebelum menjawab, "Suka ice cream."
"ARRRGH! DASAR!!" Amara langsung menjitak lengan Rendi dengan kesal.
Rendi tertawa kecil. Tapi kali ini, ia tidak membiarkan bocil itu manyun terlalu lama. Dengan gerakan santai, ia mengangkat tangan dan menepuk kepala Amara pelan.
"Gue suka filmnya. Suasananya juga oke. Dan lo…"
Amara menahan napas, menunggu kalimat selanjutnya.
"Ya… lo juga lumayanlah buat diajak nonton."
"RENDI!!"
Suara Amara menggema di tengah alun-alun, membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Rendi hanya terkekeh puas, sementara Amara masih mengembungkan pipinya kesal.
Meskipun begitu, di dalam hatinya, ia merasa sangat bahagia malam ini.
Amara masih cemberut setelah mendengar jawaban Rendi. Tapi, di dalam hatinya, ia sebenarnya senang bisa menghabiskan waktu bersama cowok itu.
Film terus berlanjut, tapi perhatian Amara justru lebih sering tertuju ke Rendi. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah cowok itu yang tampak serius menonton.
"Gue heran," kata Rendi tiba-tiba, tanpa menoleh ke Amara. "Lo yang ngajak nonton, tapi malah lebih sering liatin gue daripada filmnya."
Amara tersentak. "Hah?! Nggak kok! Gue nonton!" Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke layar, tapi pipinya sudah memerah.
Rendi tersenyum kecil, lalu tanpa peringatan, ia meraih kepala Amara dan mengacak-ngacak rambutnya. "Dasar bocil bar-bar."
"Hei! Jangan acak-acak rambutku! Udah susah-susah nyisir, tahu!" Amara berusaha menepis tangan Rendi, tapi cowok itu malah tertawa.
Beberapa orang di sekitar mereka melirik karena kehebohan mereka sendiri. Amara pun akhirnya menghela napas panjang dan memutuskan untuk diam.
Tapi tiba-tiba, ada sesuatu yang membuatnya membeku.
Rendi menggenggam tangannya.
Tidak terlalu erat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar keras.
Amara menoleh pelan, menatap tangan mereka yang kini saling bertautan di atas bangku.
"Ayank…" suaranya hampir berbisik.
Rendi tetap menatap layar, seolah tidak ada yang terjadi. Tapi kemudian, tanpa menoleh ke arahnya, ia berkata pelan, "Suka nggak?"
Amara menelan ludah. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
Suka.
Tentu saja dia suka.
Tapi gengsi bocil bar-bar membuatnya berkata sebaliknya. "Enggak tuh."
Rendi menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. "Oh gitu."
Tanpa peringatan, cowok itu melepas genggamannya.
Dan saat itu juga, Amara merasa kehilangan sesuatu.
"EHHH?!" Ia langsung meraih tangan Rendi lagi. "Eh… tadi maksudnya… ya suka dikitlah…"
Rendi menahan tawa. "Dikit doang?"
Amara cemberut. "Ya udah, suka banyak."
Rendi tersenyum puas, lalu kembali menonton film sambil tetap menggenggam tangan Amara.
Dan kali ini, bocil bar-bar itu hanya bisa tersenyum malu, menikmati genggaman tangan cowok yang diam-diam mulai mengisi hatinya.
Amara masih diam dengan wajah yang merah merona. Tangannya tetap dalam genggaman Rendi, tapi gengsinya membuatnya enggan mengakui kalau dia menikmati momen itu.
"Tangan lo dingin, Amara." Rendi meliriknya sebentar. "Lo gugup?"
"SIAPA YANG GUGUP?!" Amara langsung menarik tangannya dengan cepat dan memeluk popcornnya erat-erat.
Rendi terkekeh kecil. "Ya udah kalau nggak, berarti biasa aja dong."
Amara pura-pura sibuk makan popcorn, menghindari tatapan cowok itu. Tapi dalam hati, ia berteriak. "Rendi menyebalkan! Kenapa dia suka bikin deg-degan begini?!"
Film di layar sudah hampir mencapai klimaks, tapi perhatian Amara masih tertuju pada cowok di sebelahnya. Rendi tampak tenang, dengan ekspresi serius menonton, seolah tadi tidak terjadi apa-apa.
Amara menggigit bibirnya. Ia merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya.
"Kenapa gue yang jadi mikirin dia?"
Tanpa sadar, Amara mulai mengayunkan kakinya pelan. Sebenarnya, dia masih ingin menggenggam tangan Rendi lagi, tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta.
Tiba-tiba, Rendi mengangkat tangan dan menarik kepala Amara, menyandarkannya ke bahunya.
"R-Rendi?!"
"Nonton aja diem, jangan banyak gerak," kata Rendi santai. "Kepala lo nyenggol gue terus dari tadi."
Amara ingin protes, tapi begitu merasakan bahu Rendi yang hangat, dia malah diam.
Duduk seperti ini, bersandar pada cowok itu, membuatnya merasa nyaman.
"Huh… dasar nyebelin," gumamnya pelan, tapi bibirnya tanpa sadar membentuk senyuman kecil.
Malam itu, Amara tidak begitu ingat alur filmnya. Yang ia ingat hanya satu hal betapa hangatnya bahu Rendi, dan betapa nyamannya berada di dekatnya.