Di sekolah, Amara duduk di bangkunya sambil menatap buku pelajaran dengan tatapan frustasi.
Besok ada ulangan mendadak, dan dia sama sekali belum siap!
"Duh, kenapa sih harus ada ulangan?! Ini kan penyiksaan!" gerutunya sambil membolak-balik halaman buku yang penuh dengan tulisan rumus yang membuat kepalanya pusing.
Ayana, sahabatnya, menoleh dan menghela napas. "Amara, lo harusnya udah biasa. Ini sekolah, bukan taman bermain."
"Gue tahu, tapi kenapa harus ada ulangan sih?! Kayak nggak ada kerjaan lain aja!"
"Ya ampun, bocil. Lo belajar aja dulu, siapa tahu bisa jawab besok."
Amara mendengus dan menyandarkan kepalanya di meja. "Belajar itu bukan gaya gue, Yan…"
Tapi dalam hati, dia tahu kalau nilainya terus jeblok, Mamanya pasti bakal ngomel habis-habisan.
Dan lebih parahnya lagi… dia bisa kena sindiran dari Rendi!
Tidak! Dia tidak boleh kalah!
---
Malamnya…
Amara duduk di meja belajarnya, menatap buku dengan ekspresi serius. Dia berusaha memahami setiap kalimat yang tertulis di sana, tapi…
"Argh! Pusing banget!"
Dia melemparkan pensilnya ke atas meja. "Kenapa pelajaran itu ribet banget?!"
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.
"Masuk!" serunya dengan malas.
Rendi muncul dari balik pintu, bersandar santai dengan tangan di saku celana. "Tumben banget lo serius gini. Bocil bar-bar yang biasanya santai malah belajar?"
Amara mendengus. "Gue juga manusia, tahu! Gue nggak mau nilai gue jeblok terus!"
Rendi tersenyum miring dan berjalan mendekat. "Oke, biar gue liat. Lo lagi belajar apa?"
Amara menyerahkan bukunya dengan malas. "Nih, lo pasti nggak ngerti juga kan?"
Rendi melirik bukunya sebentar, lalu tertawa kecil. "Ah, ini doang? Gampang banget."
Amara mendelik. "Gampang pala lo! Gue baca dari tadi malah makin pusing!"
"Ya jelas, karena lo nggak ngerti cara belajarnya." Rendi duduk di sebelahnya dan mulai menjelaskan dengan sabar.
Awalnya, Amara malas mendengar ocehan cowok itu. Tapi semakin lama, dia mulai paham. Cara Rendi menjelaskan ternyata lebih mudah dimengerti dibanding gurunya di sekolah.
"Oh… jadi gini caranya?"
"Nah, akhirnya ngerti juga." Rendi menyeringai.
Amara menatapnya dengan mata berbinar. "Ternyata lo pinter juga ya, Ren!"
"Baru tahu?"
"Ih, ngeselin!"
Tapi dalam hati, Amara harus mengakui kalau malam ini dia bersyukur punya Rendi.
Karena berkat cowok itu, besok dia mungkin bisa menghadapi ulangan dengan lebih percaya diri.
Amara masih sibuk mencatat rumus yang diajarkan Rendi. Dia menelungkup di lantai, bertumpu pada siku, dengan buku terbuka di depannya.
"Oh… jadi kalau begini, jawabannya harus pakai rumus yang ini, kan?" gumamnya sambil mencoret-coret kertas.
Rendi yang duduk di belakangnya mengangguk sambil melihat catatannya. "Iya, tuh. Akhirnya ngerti juga bocil bar-bar ini."
Amara yang fokus tidak menyadari kalau Rendi mulai mendekat. Cowok itu merunduk sedikit, melihat tulisan Amara lebih jelas.
Karena terlalu serius, Amara tiba-tiba menarik buku lebih dekat, membuat tubuhnya bergerak mundur sedikit—tanpa sadar mengenai kaki Rendi.
"Eh, hati-ha—WOAH!"
Semuanya terjadi begitu cepat.
Karena posisinya yang tidak seimbang, Rendi kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke depan.
BRUK!
"AWWW!"
Mata mereka membelalak. Rendi sekarang berada di atas Amara, dengan kedua tangannya bertumpu di lantai di samping kepala bocil itu.
Sementara Amara membeku, wajahnya nyaris tertempel di lantai.
Jantungnya langsung berdebar kencang. "ASTAGA! RENDI, TURUN!"
Rendi yang juga terkejut butuh beberapa detik untuk mencerna situasi ini. Lalu, sudut bibirnya terangkat, membentuk smirk khasnya.
"Heh, lo nyuruh gue ngajarin, tapi malah bikin gue jatuh begini? Lo sengaja, ya?" godanya.
"SENGAJA PALAMU! BURUAN TURUN, BERAT, BEGO!"
Amara berusaha meronta, tapi dengan posisi seperti ini, dia sama sekali tak bisa bergerak.
Rendi malah makin keasyikan menggoda. Dia mencondongkan wajahnya lebih dekat ke telinga Amara.
"Bocil, ini pertama kalinya gue lihat lo fokus belajar sampai nggak sadar keadaan sekitar. Sampai bikin gue jatuh gini."
"RENDI!!!" Amara berteriak panik.
"Oke-oke, gue turun." Rendi akhirnya bangkit sambil menahan tawa. "Tapi lo harus hati-hati, jangan bikin gue kejebak situasi kayak gini lagi."
Amara langsung bangkit dengan wajah merah padam. "SIALAN! LO YANG JATUH SENDIRI, NYALAHIN GUE!"
Rendi hanya terkekeh, sementara Amara sibuk menggerutu dengan pipi yang masih panas.
Malam itu, mereka kembali belajar… tapi satu hal pasti, Amara tidak akan pernah melupakan kejadian memalukan ini!
Amara masih duduk bersila di lantai dengan wajah merona. Rendi yang sudah kembali duduk dengan santai hanya tersenyum jahil sambil menopang dagunya.
"Kenapa lo diem aja? Masih kepikiran kejadian barusan?" godanya.
Amara melotot tajam. "DIAM LO!"
Rendi tertawa kecil, lalu mengacak-acak rambut bocil itu. "Yaudah, ayo lanjut belajar. Lo kan yang minta gue ngajarin."
Amara mendengus, tapi akhirnya kembali fokus ke bukunya. Meski begitu, rasa malu masih menggelayut di hatinya.
"Oke, sekarang coba kerjain soal ini," kata Rendi sambil menunjuk bagian buku. "Gue mau lihat lo udah paham atau belum."
Amara mengambil pensilnya dan mulai menulis jawaban. Rendi memperhatikan dari samping, sesekali mengangguk puas melihat bocil itu tidak terlalu kesulitan.
Namun, saat Amara hampir selesai…
"Aduh…"
Amara berhenti menulis dan menggoyang-goyangkan tangannya.
Rendi menoleh. "Kenapa?"
"Tangan gue pegel, nulis terus…" Amara mengeluh sambil merentangkan jari-jarinya. "Gue nggak biasa belajar lama-lama gini!"
Rendi menghela napas. "Ck, dasar bocil manja."
Tanpa banyak bicara, Rendi meraih tangan Amara dan mulai memijatnya perlahan.
Amara langsung membeku. "Eh…?"
"Diam aja. Lo yang ngeluh, kan?" ucap Rendi tanpa melihat ke arahnya.
Jari-jarinya menekan dengan lembut di sekitar pergelangan tangan Amara, kemudian ke jemarinya. Amara bisa merasakan kehangatan dari sentuhan cowok itu.
Jantungnya mulai berdebar. "U-uh… ini nggak perlu sampe begini juga sih…" gumamnya dengan suara kecil.
"Gue nggak mau besok lo alasan tangan lo pegel terus nggak bisa nulis pas ulangan," sahut Rendi santai. "Udah, rileks aja."
Amara menelan ludah. Ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan wajahnya yang kembali memanas.
Tapi sialnya, jantungnya masih berdegup kencang.
Apa-apaan ini? Kenapa dia tiba-tiba so sweet?!
Amara tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk pertama kalinya, dia diam tanpa perlawanan saat Rendi memperlakukannya dengan lembut.
Dan di dalam hatinya, ia merasa aneh… tapi juga sedikit senang.
Amara masih terdiam, membiarkan Rendi memijat jemarinya. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.
"Udah mendingan?" tanya Rendi tanpa melihat ke arahnya.
"Uhm… iya." Amara mengangguk kecil, lalu buru-buru menarik tangannya dari genggaman Rendi.
Cowok itu terkekeh. "Tuh kan, bocil manja. Baru segitu doang udah nggak tahan?"
Amara mendelik, "Lo tuh yang tiba-tiba megang tangan gue! Kaget lah, bego!"
Rendi hanya mengangkat bahu. "Biar lo nggak ada alasan besok. Lo harus dapet nilai bagus, bocil."
Amara mendengus. "Iya-iya."
Tapi sebenarnya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kenapa dia malah senang saat Rendi memperlakukannya dengan lembut tadi?
Gila, Amara! Lo nggak boleh jadi lembek begini!
Ia buru-buru mengalihkan perhatian ke bukunya.
"Oke, sekarang gue coba kerjain soal ini sendiri!" ujarnya tegas, berusaha mengembalikan semangatnya.
Rendi tersenyum tipis, membiarkan bocil itu fokus kembali.
Namun, baru beberapa menit berlalu…
"Aduh… ngantuk."
Amara menguap lebar, kepalanya mulai terasa berat. Ia menopang dagu dengan tangan, matanya setengah tertutup.
Rendi menggeleng pelan. "Tuh kan, baru juga belajar sebentar."
"Nggak bisa tahan…" Amara menggumam pelan. "Udah malem, nih…"
Tiba-tiba… KLEK.
Kepala Amara jatuh ke pundak Rendi.
Cowok itu membeku. "Eh?"
Rendi melirik ke samping dan melihat Amara yang sudah terlelap dengan napas teratur. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibanding biasanya.
Dia menghela napas. "Dasar bocil."
Perlahan, ia meraih buku dari pangkuan Amara dan meletakkannya di meja. Lalu, dengan hati-hati, ia menyesuaikan posisi duduk agar bocil itu bisa tidur lebih nyaman di pundaknya.
"Cuma belajar aja bisa bikin lo ketiduran. Gue nggak ngerti ini bocil bar-bar atau bocil pemalas."
Meski berkata begitu, entah kenapa senyum tipis terukir di wajahnya.
Rendi menatap Amara yang tertidur nyenyak.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rendi membiarkan bocil bar-bar itu bersandar padanya… tanpa berniat mengganggunya.