Timpa-timpa'an

Malam semakin larut. Hujan gerimis turun di luar, membuat suasana rumah semakin sepi.

Amara baru saja keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum di dapur ketika mendengar suara mencurigakan dari loteng.

"Ceklek… ceklek…"

Bulu kuduknya langsung berdiri.

"Astaga… suara apaan tuh? Jangan-jangan hantu…?"

Dia menelan ludah. Rumah ini memang tidak seram, tapi di malam hari, semua suara kecil bisa terdengar menakutkan.

Amara mencoba mengabaikan dan berjalan cepat ke dapur. Tapi kemudian…

"Ciit… ciit… ciit…"

Matanya membesar. Itu bukan suara hantu… tapi lebih buruk lagi.

"TIKUS?!"

Dengan panik, dia berbalik dan berlari menuju tangga, berniat kembali ke kamarnya. Tapi karena terlalu terburu-buru, dia tidak melihat ada seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi.

BRUK!

Amara menabrak sosok itu dengan keras.

"Woy! Hati-hati dong!"

Terlambat. Keseimbangan mereka hilang, dan dalam hitungan detik .. ... ..

BRUK! BRUK! BRUK!

Mereka berdua jatuh di tangga.

Amara mendarat tepat di atas Rendi. Posisi mereka… terlalu dekat.

Jantung Amara berdebar kencang.

Tangannya menekan dada Rendi, sementara wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Nafas hangat Rendi menyentuh pipinya.

Rendi terdiam, menatap Amara dengan ekspresi shock sekaligus bingung.

Amara juga membeku. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Rendi di bawahnya.

Dalam keheningan yang canggung itu, hanya ada suara hujan di luar dan detak jantung mereka yang terasa semakin cepat.

"Uhm… Amara?" suara Rendi terdengar serak.

Amara menelan ludah. "A-apa?"

"Lo… nggak mau bangun?"

Wajah Amara memerah seketika. "ASTAGA!"

Dengan panik, dia mencoba bangun, tapi justru terpeleset dan semakin menekan tubuh Rendi.

Rendi mengerang. "Aduh! Sakit, bodoh!"

"Eh, maaf, maaf!" Amara buru-buru berusaha berdiri, tapi lututnya gemetar.

Akhirnya, Rendi menghela napas panjang sebelum menarik Amara mendekat… dan dalam satu gerakan cepat, dia membalikkan posisi mereka.

Kini, Amara yang ada di bawah, sedangkan Rendi menatapnya dari atas.

Mata mereka kembali bertemu.

"Lo panik banget kenapa sih? Takut tikus?" tanya Rendi dengan suara rendah.

Amara menoleh ke samping, wajahnya semakin panas. "I-ih, nggak!"

Rendi mendengus, lalu menatapnya lama. "Lo… lebih takut tikus daripada gue?"

Amara masih menghindari tatapan Rendi, tapi hatinya semakin tidak karuan.

"Tentu aja gue takut tikus! Itu lebih mengerikan daripada elo!"

Rendi mengangkat alis. "Maksudnya gue nggak mengerikan?"

Amara menggigit bibir, lalu berbisik pelan. "Maksudnya… gue nggak takut sama lo…"

Suasana kembali hening.

Mata Rendi sedikit menyipit. "Gitu ya?"

Tiba-tiba, dia menunduk lebih dekat ke wajah Amara, membuat gadis itu refleks menahan napas.

"Kalau gitu…" suara Rendi terdengar lembut namun dalam. "Lo nggak bakal kaget kalau gue kayak gini?"

Lalu, dengan cepat, dia menyentuhkan ujung hidungnya ke hidung Amara.

Amara membeku.

Jantungnya seperti mau meledak.

Rendi tersenyum tipis, lalu akhirnya berdiri. "Udah, jangan drama. Bangun sana, bocil."

Amara masih diam di tempat, otaknya mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Baru setelah Rendi pergi ke kamarnya, Amara duduk sambil memegang dadanya.

"Apa-apaan itu barusan?! Aku beneran mulai suka sama dia, nggak sih?!"

Amara masih terduduk di tangga, jantungnya berdegup kencang. Dadanya naik turun tidak karuan.

Apa-apaan itu barusan?!

Dia memegang hidungnya sendiri, masih bisa merasakan sentuhan ringan dari Rendi. Sekarang wajahnya terasa panas, seperti habis terkena sinar matahari seharian.

Kenapa gue malah grogi?!

Amara menggigit bibirnya. Biasanya, dia selalu bisa membalas setiap gangguan dari Rendi, tapi tadi... dia malah membeku seperti patung.

Tiba-tiba, suara dari kamar Rendi terdengar.

"Udah jangan bengong di tangga. Masuk kamar sana!"

Amara tersentak. "Bukan urusan lo!" balasnya kesal, tapi buru-buru berdiri dan masuk ke kamarnya.

Begitu pintu tertutup, dia langsung merebahkan diri ke kasur dan menutup wajahnya dengan bantal.

"Argh! Apa ini?! Kenapa gue begini?!"

Selama ini, dia hanya menganggap Rendi sebagai cowok menyebalkan yang terpaksa jadi suaminya karena perjodohan. Tapi kenapa sekarang... dia malah merasakan sesuatu yang aneh setiap kali berdekatan dengannya?

Amara menggeleng keras. Nggak, nggak mungkin!

Dia harus melupakan kejadian tadi. Itu semua hanya insiden. Dia takut tikus, panik, lalu nabrak Rendi. Itu aja.

Iya, cuma kebetulan!

Tapi kenapa hatinya masih berdebar?!

Amara memeluk bantal lebih erat.

Sementara itu, di dalam kamar Rendi...

Cowok itu sedang duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan ekspresi berpikir.

Dia tidak menyangka reaksi Amara bakal seperti tadi.

Biasanya, bocil itu akan langsung berisik, membentak, atau memukulnya. Tapi tadi... dia cuma diam dan wajahnya merah banget.

Rendi menyeringai kecil.

"Jangan-jangan bocil itu mulai ada rasa sama gue?" gumamnya sambil mengacak rambut.

Memikirkan hal itu entah kenapa membuat dadanya terasa hangat. Tapi kemudian dia buru-buru menggeleng.

"Nggak mungkin. Dia bocil bar-bar, mana mungkin dia bisa jatuh cinta sama gue?"

Tapi kalau benar...

Rendi tersenyum kecil.

Mungkin... akan menarik untuk mengetesnya lebih jauh.

Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa canggung.

Biasanya, Amara akan cerewet seperti biasa, entah mengeluh soal sekolah atau meminta sesuatu pada Tante Mirna. Tapi pagi ini, dia hanya diam, fokus mengaduk-aduk buburnya tanpa niat memakannya.

Rendi yang duduk di seberangnya menatapnya sambil menahan senyum. Dia tahu pasti apa penyebab bocil itu jadi aneh.

Pasti masih kepikiran kejadian semalam.

Tante Mirna menyadari keanehan itu. "Amara, kenapa kamu diem aja? Biasanya bawel banget pagi-pagi."

Amara tersentak. "H-hah? Enggak kok, Ma! Lagi nggak laper aja."

"Oh? Biasanya kalau nggak laper itu lagi sakit atau..." Tante Mirna menyipitkan mata. "...lagi jatuh cinta?"

"Pffft—!" Rendi hampir tersedak air minumnya.

Amara membelalak. "MAMA! NGGAK MUNGKIN LAH!"

"Hehehe, bercanda. Tapi beneran deh, kamu keliatan aneh hari ini."

Amara buru-buru menunduk, wajahnya merah padam.

Rendi tertawa kecil, lalu sengaja menyenggol kaki Amara di bawah meja.

Gadis itu refleks menendang balik, tapi Rendi dengan cepat menghindar dan memasang ekspresi tak bersalah.

Tante Mirna hanya menghela napas. "Kalian ini, kapan sih bisa akur?"

Amara mendengus. "Gue nggak mungkin akur sama manusia menyebalkan kayak dia!"

Rendi mengangkat bahu. "Gue juga nggak mungkin akur sama bocil bar-bar kayak lo."

Mereka saling tatap dengan aura perang dingin.

Tapi di balik itu, Rendi justru semakin tertarik.

"Gimana kalau gue terus gangguin dia? Mau sampai kapan dia tahan?" pikirnya.

Senyum kecil muncul di wajahnya. Sepertinya, mulai hari ini dia punya hobi baru—membuat bocil itu semakin salah tingkah.

Sepulang sekolah, suasana di rumah masih terasa aneh. Amara terus menghindari Rendi. Kalau biasanya dia akan dengan percaya diri merecoki cowok itu, sekarang dia justru seperti menghindari kontak mata.

Rendi yang menyadari perubahan itu malah makin tertarik untuk menjahilinya.

Saat Amara hendak naik ke lantai dua, Rendi sengaja berjalan lebih dulu dan berhenti di tangga, menghalangi jalannya.

"Minggir." Amara melipat tangan di dada, memasang wajah kesal.

"Kenapa? Gue berdiri di rumah sendiri, masa nggak boleh?" Rendi menyeringai.

Amara mendengus, lalu mencoba melangkah ke kanan. Tapi Rendi dengan cepat menghalangi. Dia berbelok ke kiri, tapi cowok itu juga ikut bergerak ke arah yang sama.

"Rendi!" Amara mulai gemas.

"Kenapa? Gugup?" goda Rendi.

"Siapa yang gugup?!" Amara merona, tapi tetap memasang wajah garang.

Tiba-tiba, Rendi mencondongkan tubuhnya lebih dekat, membuat Amara refleks mundur. Tapi tangga di belakangnya membatasi gerakannya.

"Dari tadi lo aneh, bocil. Masih kepikiran kejadian semalam, ya?" bisik Rendi dengan nada menggoda.

Wajah Amara seketika semakin merah. Dia menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa.

"H-halah! Males banget!" Amara buru-buru mendorong Rendi dan melewatinya dengan wajah panas.

Begitu sampai di kamarnya, dia langsung menutup pintu dan merebahkan diri di kasur.

"Kenapa dia harus sedekat itu?!"

Dia menepuk pipinya sendiri yang terasa panas.

Di luar kamar, Rendi menyeringai puas.

"Seru juga ngebuat bocil ini salah tingkah. Kita lihat sampai kapan dia bisa bertahan."